Militansi
Presiden 2014
Siti Marwiyah ; Dekan Fakultas
Hukum Universitas dr Soetomo Surabaya,
Alumnus UII
|
JAWA
POS, 24 Maret 2014
Di
berbagai media, baik cetak maupun elektronik, berbagai partai politik sedang
berlomba mengampanyekan dirinya maupun kandidat presidennya. Berbagai bentuk
janji sudah diucapkan. Di antara sekian banyak dan ragam janji itu, secara
umum bertajuk ''akan memberikan yang terbaik kepada negeri ini''.
Logis
jika calon presiden berjanji akan memberikan yang terbaik kepada negeri ini.
Masalahnya, ketika nanti terpilih menjadi presiden, beranikah menunjukkan
kekuatan moral, intelektual, skill, dan spiritualnya untuk ''Perang Bubat''
terhadap penyakit yang menghegemoni negeri ini?
Mahatma
Gandi pernah berpesan, ''You may never
know what results come of your action, but if you do nothing there will be no,
atau Anda mungkin tidak pernah tahu
hasil dari usaha-usaha yang Anda lakukan, tetapi jika Anda tidak melakukan
sesuatu, Anda tidak mungkin mendapatkan hasil,'' yang sebenarnya
mengingatkan kepada setiap orang supaya dalam hidup ini manusia tidak suka
menyerah dalam menjawab tantangan dan sebaliknya berusaha menunjukkan
kemampuan dirinya untuk melahirkan sejarah, baik bagi diri maupun masyarakat
dan bangsanya.
Salah
satu tema kampanye moral perlawanan habis-habisan terhadap koruptor. Beberapa
elite strategis bangsa yang harus dituntut itu adalah para calon presiden,
yang pada (2014) ini pasti ada di antara mereka yang terpilih menjadi
presiden.
Tuntutan
kepada presiden mendatang itu sangat beralasan. Pasalnya, korupsi di negeri
ini benar-benar membumi sehingga totalitas perang untuk mengalahkan itu pun
wajib, khususnya dari presiden. Kalau presiden giat menggalakkan perang
terhadap koruptor, bibit-bibit koruptor atau penyalahgunaan kekuasaan tidak
akan berani unjuk gigi.
Setiap
calon presiden boleh saja mengaktifkan diri dalam diskursus secara teoretis
tentang makna penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) atau penyelingkuhan
jabatan dan unsur-unsurnya, serta sifat-sifat korupsi dalam kampanyenya. Akan
tetapi, ranah das sollen berbentuk penguatan ide-ide cerdas itu saja belum
cukup untuk membabat menjamurnya dan membudayanya korupsi.
Yang
diperlukan adalah ranah das sein yang berisi perang berkelanjutan dan membara
untuk memusuhi korupsi, yang dinakhodai secara langsung oleh presiden.
Ketika presiden gencar mengampanyekan pentingnya moral profetis dan mendukung
independensi lembaga pemberantas korupsi misalnya, menjamurnya bibit-bibit
koruptor bisa dicegah dan bahkan bisa mati dengan sendirinya.
Benarkah
presiden 2014 ini sungguh-sungguh menjadikan penyalahgunaan kekuasaan atau
malapraktik jabatan sebagai objek ''Perang Bubat''? Tidakkah nanti presiden
justru bersahabat dengan koruptor jika rakyat salah pilih?
Selama
ini peringkat ''prestasi'' korupsi kita masih tidak mau kalah dengan sejumlah
negara lain yang rapor korupsinya terbilang spektakuler. Meskipun, KPK dan
Presiden SBY menunjukkan political will dalam pemberantasan korupsi.
Saat ini
nyaris sedang terjadi pemerataan korupsi di lembaga-lembaga strategis negara.
Mereka yang dipercaya mengelola keuangan di lembaga-lembaga itu bukannya
mengamankan dan menyamankan (menormalisasikan) penggunaan keuangan negara,
tetapi justru menyalahalamatkan penggunaannya.
Memang,
ranah pengadaan barang menjadi sumber korupsi. Pasalnya, 70 persen kasus yang
ada di KPK berelasi dengan pengadaan barang dan jasa. Pelaku korupsi di
sektor pengadaan barang itu mulai orang kecil (pegawai rendahan) hingga
elitisnya (pejabat pemerintah). Besarnya angka korupsi tersebut tidak bisa
disangkal jika dikaitkan dengan besarnya anggaran negara untuk pengadaan
barang. Sebut, misalnya, Perusahaan Listrik Negara saja, nilai pengadaannya
minimal Rp 150 triliun. Sedangkan pada sektor migas, jumlahnya tidak kurang
dari USD 9 miliar-USD 12 miliar (Halim, 2013).
Dari
kasus itu, setidaknya bisa dipahami bahwa elemen strategis struktural menjadi
mudah tergoda melakukan penyimpangan anggaran (keuangan) negara akibat besar
kecilnya pengelolaan uang yang dipercayakan kepadanya dan rendahnya komitmen
moral dalam menjaga sakralitas jabatannya.
Saat
diberi kepercayaan mengelola uang dalam jumlah besar, bukannya amanat itu
dijadikan momentum untuk melawan kecenderungan menyalahgunakannya. Namun
sebaliknya, itu diperlakukan sebagai momentum berusaha secara maksimal guna
mengalirkan dana ke kantong pribadi, keluarga, dan kroni.
Itu
menunjukkan bahwa para penyelingkuh kekuasaan tersebut tidak pernah
kehilangan kelihaian dalam mengaplikasikan muslihat terkultur dan terstruktur
yang cukup ampuh dalam memproduksi ruang yang sangat longgar untuk menjarah
keuangan negara, baik yang bersumber dari APBN maupun APBD.
Konvergensi
kesadaran moral dan kecerdasan intelektualitas itu merupakan kunci utama yang
melapisi perang bubat setiap pejuang antikorupsi, khususnya presiden yang
terproduk dalam Pilpres 2014.
Pepatah
Tiongkok mengingatkan, ''bunuhlah satu
ekor ayam untuk menakut-nakuti seribu kera''. Pepatah itu dapat digunakan
sebagai modal setiap pejuang antikorupsi bahwa ''Perang Bubat'' kepada
koruptor akan membuat peluang para bibit-bibit koruptor semakin tertutup
untuk tumbuh berkembang''.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar