Senin, 03 Maret 2014

Mengenali Ideologi Hukum Para Hakim

Mengenali Ideologi Hukum Para Hakim

Abdul Hakim G Nusantara  ;   Advokat/Arbiter
KOMPAS,  03 Maret 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                      
SUMPAH para hakim RI menyatakan bahwa mereka akan memenuhi kewajiban dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya memegang teguh UUD 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut UUD 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa.

Sumpah ini melambangkan netralitas kekuasaan hakim. Rumusan kalimat itu menggambarkan suatu wilayah luas penuh beragam makna yang terbuka bagi penafsiran. Di situlah pandangan sosial, preferensi, kepercayaan yang acap disebut ideologi itu diduga berpengaruh pada cara hakim menilai hubungan saling memengaruhi antara fakta, hukum, dan situasi kasus. Inilah yang lalu dirumuskan sebagai ideologi hukum para hakim.

Di Amerika Serikat, banyak kajian dilakukan untuk mencermati sejauh mana perilaku para hakim tampak dimotivasi oleh preferensi atau kepercayaan yang bersifat ideologis. Misalnya para hakim yang putusannya berpihak pada pelestarian ekologi, atau pemerintah minimalis yang tak banyak mengatur. Putusan mereka digolongkan sebagai liberal.

Basis data perkara Mahkamah Agung AS yang disusun Profesor Harold Spaeth memberi kode ideologis pada setiap putusan kasus sebagai liberal atau konservatif. Misalnya, putusan perkara pidana yang membebaskan terdakwa diberi kode liberal; dalam hal terdakwa dihukum diberi kode konservatif. Dalam perkara ekonomi, ketika suatu peraturan ekonomi dibatalkan diberi kode konservatif; saat regulasi ekonomi lainnya dikuatkan oleh pengadilan dikode liberal.

Tentu saja, basis data Spaeth mengandung sejumlah kelemahan, antara lain kategori ideologis liberal atau konservatif itu sangat menyederhanakan dan menutupi fakta hukum yang rumit. Misalnya kasus yang berkaitan dengan hak-hak sipil bisa jauh lebih liberal atau konservatif dibandingkan kasus paten. Selain itu, banyak kasus yang mengandung lebih dari satu isu. Misalnya kasus lingkungan hidup, fakta di dalamnya bisa mengandung isu-isu pidana, perdata, dan HAM.

Kelemahan lain dari basis data Harold Spaeth, ia lebih didasarkan pada hasil putusan hakim atas suatu kasus dan tidak melihat pola bagaimana para hakim memberikan pendapat dan suaranya dalam proses pengambilan putusan. Yang juga diabaikan adalah bahwa ideologi hukum para hakim itu multidimensional. Sebab, seorang hakim bisa saja bersikap konservatif dalam satu kasus dan bersikap liberal dalam kasus lain. Karena itu, pendekatan Harold Spaeth tidak memastikan keterkaitan antara perilaku hakim dan motivasi ideologis yang dianutnya (Carolyn Shapiro, 2010: 91-92).

Ideologi multidimensional

Di Indonesia, setahu penulis, belum ada suatu kajian yang mencermati keterkaitan motivasi ideologis dengan perilaku para hakim yang tecermin dalam putusan-putusannya. Padahal, sejarah RI selama ini menunjukkan pengaruh ideologi hukum penguasa atas para hakim sangat kuat. Pada masa Demokrasi Terpimpin, para hakim harus menjalankan misi hukum sebagai alat revolusi. Kemudian pada masa Orde Baru, para hakim harus menjalankan misi hukum sebagai instrumen fasilitasi stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi.

Pada era Orde Baru, hampir semua perkara politik dan HAM para terdakwanya dihukum berat. Begitu pula perkara gugatan masyarakat atas perbuatan melawan hukum oleh pemerintah, misalnya dalam kasus pembangunan waduk, jalan raya, kawasan wisata, biasanya tanpa atau dengan berbagai penalaran hukum, hakim tidak mengabulkan tuntutan masyarakat. Walaupun barangkali ada sejumlah kecil hakim yang bersikap mandiri dan kritis, pada era ini para hakim umumnya penganut setia dan takzim ideologi hukum pembangunan Orde Baru.

Era reformasi dan demokratisasi, sejak 1998, membuka peluang bagi hakim untuk merumuskan ulang perannya. Amandemen UUD 1945 dan pembaruan UU Kekuasaan Kehakiman merupakan momen bagi para hakim untuk menegaskan jati diri mereka sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang mandiri dan merdeka dari berbagai pengaruh kekuasaan eksternal.

Sumpah hakim melambangkan komitmen mereka pada ”Ideologi Negara Hukum”, yakni UUD 1945, UU, serta berbakti pada nusa dan bangsa. Aktualisasi komitmen itu jelas tak terhindarkan, tergantung pada pandangan sosial, preferensi, kepercayaan, pengetahuan, pengalaman yang memengaruhi cara hakim menilai hubungan antara fakta, hukum, dan situasi kasus.

Dalam kasus pelanggaran berat HAM di masa Orde Baru, sikap para hakim konservatif, yakni impunitas, dengan membebaskan para terdakwa. Para hakim Mahkamah Agung (MA) tampak belum bisa lepas dari beban politis dan tekanan psikologis sisa kekuatan otoritarian Orde Baru. Namun, dalam kasus gugatan ganti rugi dan rehabilitasi oleh eks Tapol 1965, MA mengambil sikap progresif dengan mengabulkan gugatan tersebut. Sikap progresif MA juga ditunjukkan dengan memperberat hukuman para koruptor.

Dalam kasus-kasus uji pasal pidana mati dalam UU Narkoba dan uji pasal pidana penghinaan terhadap agama, para hakim Mahkamah Konstitusi (MK) bersikap konservatif, dengan menolak permohonan uji konstitusionalitas pasal pidana mati yang diajukan advokat dan konstitusionalitas pasal pidana penghinaan terhadap agama yang diajukan oleh LSM. Namun, dalam kasus-kasus lain, seperti gugatan konstitusionalitas atas UU yang mendasari pelarangan buku yang diajukan LSM dan konstitusionalitas pasal pidana penabur kebencian yang diajukan oleh advokat, MK bersikap liberal atau progresif, dengan mengabulkan gugatan tersebut. Dalam kasus uji sejumlah pasal UU Listrik dan UU Migas, MK konservatif, yakni mempertahankan konsep hak menguasai negara atas energi dan sumber daya alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang tidak boleh dialihkan kepada pihak swasta, kecuali melalui rezim hukum perizinan.

Putusan-putusan atas kasus-kasus tersebut di atas menunjukkan ideologi hukum para hakim di MA dan MK bersifat multidimensional, yakni untuk kasus yang berbeda hakim yang sama bisa menganut pandangan hukum yang berbeda. Menemukan secara persis keterkaitan antara motivasi ideologis dan perilaku hakim bukan pekerjaan mudah. Namun, usaha ke arah itu harus terus dilakukan dan terus diwacanakan. Usaha itu merupakan kontrol yang akan menguatkan kemandirian dan kemerdekaan para hakim. Itulah sumbangan penting bagi Negara Hukum Indonesia kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar