Menebar
Harapan Palsu?
Moh
Ilham Hamudy ; Bekerja
di BPP Kementerian Dalam Negeri
|
REPUBLIKA,
01 Maret 2014
Sejak era reformasi 1998 bergulir,
sepertinya parpol justru lebih banyak melahirkan petaka sosial-politik di
masyarakat, ketimbang memperjuangkan aspirasi mereka. Parpol, setidaknya,
telah membawa rakyat semakin terbiasa terlibat dalam intrik-intrik politik
yang kurang baik.
Para kader dan calon anggota legislatif
(caleg) yang diusung parpol pun acap mempertontonkan langkah politis jalan
pintas yang benar-benar tidak mendidik. Akhirnya, rakyat menjadi tidak percaya
dan antipati terhadap eksistensi parpol. Padahal, harusnya parpol mampu
menumbuhkan rasa percaya rakyat, bukan menebarkan harapan palsu semata.
Perjuangan yang selalu menjadi jargon
dalam politik menjadi rusak ketika parpol menerjemahkan dan mempraktikkannya
sebagai pragmatisme untuk kepentingan kekuasaan dan penggelembungan kapital
semata. Ada apatisme massal di masyarakat terhadap parpol.
Ditambah lagi, menjelang pemilu kali
ini, kegaduhan politik yang kerap terjadi dinilai masyarakat hanya menguntungkan
elite dan politisi, sementara rakyat dijadikan objek untuk mendulang suara.
Publik menilai elite seakan-akan memiliki
dua wajah, yaitu wajah publik dengan berkata-kata baik di ruang publik dan
wajah komunal di mana elite tidak dapat menyembunyikan kepentingan pribadi,
sehingga berperilaku hanya mementingkan diri sendiri atau kelompok. Berdasarkan
pandangan seperti itu, rakyat apatis menilai parpol dan para caleg dengan
berbagai kriteria yang seharusnya secara sehat dikembangkan. Akhirnya, di
tengah gaduhnya panggung politik tersebut, kepercayaan publik terhadap parpol
justru berada di titik nadir.
Melebarkan
jarak
Survei yang dirilis Cirus Surveyors
Group pada awal tahun ini setidaknya meneguhkan hal itu. Hasil survei menunjukkan,
hanya 9,4 persen responden yang masih percaya kepada parpol. Senyatanya,
rakyat tidak merasakan keberadaan parpol dalam penegakan demokrasi,
penyerapan aspirasi rakyat, dan menjadi mesin pencetak kepemimpinan nasional.
Parpol dianggap gagal menyampaikan dan merealisasikan visi, misi, dan program
kerjanya. Sebelumnya, medio tahun lalu, Lembaga Survei Nasional juga
memublikasikan hasil yang lebih kurang sama.
Kalau dicermati secara seksama, setidaknya
ada empat alasan yang membuat rakyat tidak memercayai parpol. Pertama,
rakyat menilai banyak parpol di parlemen yang terlibat kasus korupsi. Kedua,
parpol kurang memedulikan masalah rakyat. Ketiga, para pengurus parpol
dipersepsikan cenderung berperilaku pragmatis dalam menghadapi berbagai isu
nasional. Keempat, banyak kasus immoral yang melibatkan kader-kader parpol.
Tidak mengherankan jika masyarakat semakin
melebarkan jarak dari parpol dan bujuk rayu pemilu. Rakyat mulai
mengalkulasi, betapa tidak pentingnya ada atau tidak ada parpol, ikut atau tidak
ikut memilih, tidak akan berdampak pada diri mereka. Seseorang akan tetap
mencari nafkah atau tetap melanjutkan tidurnya ketika hari pemilu.
Rakyat berpaling karena menilai kehadiran
parpol selama ini hanya dilihat sebagai angka untuk pemenangan kursi
kekuasaan elite politik. Klaim bahwa demokrasi akan menjadikan suara rakyat
sebagai panglima hanyalah utopia. Demokrasi hanya ditafsir sebatas menghitung
jumlah kepala, tanpa memperhitungkan isi kepala (aspirasi) rakyat. Rakyat
hanya jadi objek politik parpol dan para politisi, yang menebar uang dan
pesona ke para konstituen.
Jika politisi itu terpilih menjadi
anggota DPR/DPRD, kemudian rakyat ditinggalkan dan merasa tidak berguna.
Akibatnya, tahun politik 2014 ini menyimpan potensi tingginya golongan putih
dan apatisme rakyat yang kecewa.
Harus dikoreksi
Sebagai soko guru politik, sekaligus
instrumen demokrasi, kondisi itu tidak bisa dibiarkan berlarut. Tren
penurunan kepercayaan rakyat terhadap parpol harus segera dibalikkan agar
terjadi koreksi guna mengembalikan fungsi parpol sebagai pilar demokrasi.
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana caranya?
Ada empat hal yang bisa dilakukan
parpol untuk menjawab hal itu. Pertama, memperbaiki pola rekrutmen kader dan
penempatan caleg. Parpol harus belajar dari pengalaman sebelumnya atau
pengalaman parpol lain bahwa praktik korupsi akan sangat mengecewakan rakyat.
Untuk itu, parpol harus bisa menempatkan caleg yang berintegritas tinggi.
Kedua, konsolidasi internal parpol
harus dilakukan secara transparan dan mengakomodasi kepentingan seluruh
kader. Parpol juga wajib memberikan ruang bagi kader yang kredibel dan berintegritas
dalam berbagai tempat kompetisi maupun penugasan. Insentifnya, dengan cara
itu, otomatis akan mendatangkan citra positif bagi parpol.
Ketiga, parpol harus merumuskan pel
bagai program strategis dan membumi, sehingga menyentuh langsung emosi
rakyat. Patut dikedepankan juga soal isu penegakan supremasi hukum, dan hak
asasi manusia, serta upaya mengatasi konflik sosial. Partai politik jangan
sampai membuat program yang muluk- muluk, tetapi tidak bisa diimplementasikan.
Keempat, membangun pola komunikasi
publik yang baik. Parpol wajib terbuka terhadap saran dan kritik yang
dilontarkan rakyat. Parpol jangan hanya nongol dan bergerak saat menjelang
pemilu, tetapi harus hadir dalam setiap pergerakan rakyat dan dinamika
negara. Misalnya, dengan terus menyuarakan aspirasi rakyat sembari tetap
mawas diri agar tidak terjebak dalam perilaku immoral yang dicela rakyat.
Dengan begitu, insya Allah, parpol akan berjalan on the track seraya mampu memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan
dan keadilan sosial dalam ruang kehidupan bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar