Minggu, 02 Maret 2014

Menebar Harapan Palsu?

Menebar Harapan Palsu?

Moh Ilham Hamudy  ;   Bekerja di BPP Kementerian Dalam Negeri
REPUBLIKA,  01 Maret 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                                                                                       
Sejak era reformasi 1998 bergulir, sepertinya parpol justru lebih banyak melahirkan petaka sosial-politik di masyarakat, ketimbang memperjuangkan aspirasi mereka. Parpol, setidaknya, telah membawa rakyat semakin terbiasa terlibat dalam intrik-intrik politik yang kurang baik.

Para kader dan calon anggota legislatif (caleg) yang diusung parpol pun acap mempertontonkan langkah politis jalan pintas yang benar-benar tidak mendidik. Akhirnya, rakyat menjadi tidak percaya dan antipati terhadap eksistensi parpol. Padahal, harusnya parpol mampu menumbuhkan rasa percaya rakyat, bukan menebarkan harapan palsu semata.

Perjuangan yang selalu menjadi jargon dalam politik menjadi rusak ketika parpol menerjemahkan dan mempraktikkannya sebagai pragmatisme untuk kepentingan kekuasaan dan penggelembungan kapital semata. Ada apatisme massal di masyarakat terhadap parpol.

Ditambah lagi, menjelang pemilu kali ini, kegaduhan politik yang kerap terjadi dinilai masyarakat hanya menguntungkan elite dan politisi, sementara rakyat dijadikan objek untuk mendulang suara.

Publik menilai elite seakan-akan memiliki dua wajah, yaitu wajah publik dengan berkata-kata baik di ruang publik dan wajah komunal di mana elite tidak dapat menyembunyikan kepentingan pribadi, sehingga berperilaku hanya mementingkan diri sendiri atau kelompok. Berdasarkan pandangan seperti itu, rakyat apatis menilai parpol dan para caleg dengan berbagai kriteria yang seharusnya secara sehat dikembangkan. Akhirnya, di tengah gaduhnya panggung politik tersebut, kepercayaan publik terhadap parpol justru berada di titik nadir.

Melebarkan jarak

Survei yang dirilis Cirus Surveyors Group pada awal tahun ini setidaknya meneguhkan hal itu. Hasil survei menunjukkan, hanya 9,4 persen responden yang masih percaya kepada parpol. Senyatanya, rakyat tidak merasakan keberadaan parpol dalam penegakan demokrasi, penyerapan aspirasi rakyat, dan menjadi mesin pencetak kepemimpinan nasional. Parpol dianggap gagal menyampaikan dan merealisasikan visi, misi, dan program kerjanya. Sebelumnya, medio tahun lalu, Lembaga Survei Nasional juga memublikasikan hasil yang lebih kurang sama.

Kalau dicermati secara seksama, setidaknya ada empat alasan yang membuat rakyat tidak memercayai parpol. Pertama, rakyat menilai banyak parpol di parlemen yang terlibat kasus korupsi. Kedua, parpol kurang memedulikan masalah rakyat. Ketiga, para pengurus parpol dipersepsikan cenderung berperilaku pragmatis dalam menghadapi berbagai isu nasional. Keempat, banyak kasus immoral yang melibatkan kader-kader parpol.

Tidak mengherankan jika masyarakat semakin melebarkan jarak dari parpol dan bujuk rayu pemilu. Rakyat mulai mengalkulasi, betapa tidak pentingnya ada atau tidak ada parpol, ikut atau tidak ikut memilih, tidak akan berdampak pada diri mereka. Seseorang akan tetap mencari nafkah atau tetap melanjutkan tidurnya ketika hari pemilu.

Rakyat berpaling karena menilai kehadiran parpol selama ini hanya dilihat sebagai angka untuk pemenangan kursi kekuasaan elite politik. Klaim bahwa demokrasi akan menjadikan suara rakyat sebagai panglima hanyalah utopia. Demokrasi hanya ditafsir sebatas menghitung jumlah kepala, tanpa memperhitungkan isi kepala (aspirasi) rakyat. Rakyat hanya jadi objek politik parpol dan para politisi, yang menebar uang dan pesona ke para konstituen.

Jika politisi itu terpilih menjadi anggota DPR/DPRD, kemudian rakyat ditinggalkan dan merasa tidak berguna. Akibatnya, tahun politik 2014 ini menyimpan potensi tingginya golongan putih dan apatisme rakyat yang kecewa.

Harus dikoreksi

Sebagai soko guru politik, sekaligus instrumen demokrasi, kondisi itu tidak bisa dibiarkan berlarut. Tren penurunan kepercayaan rakyat terhadap parpol harus segera dibalikkan agar terjadi koreksi guna mengembalikan fungsi parpol sebagai pilar demokrasi. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana caranya?

Ada empat hal yang bisa dilakukan parpol untuk menjawab hal itu. Pertama, memperbaiki pola rekrutmen kader dan penempatan caleg. Parpol harus belajar dari pengalaman sebelumnya atau pengalaman parpol lain bahwa praktik korupsi akan sangat mengecewakan rakyat. Untuk itu, parpol harus bisa menempatkan caleg yang berintegritas tinggi.

Kedua, konsolidasi internal parpol harus dilakukan secara transparan dan mengakomodasi kepentingan seluruh kader. Parpol juga wajib memberikan ruang bagi kader yang kredibel dan berintegritas dalam berbagai tempat kompetisi maupun penugasan. Insentifnya, dengan cara itu, otomatis akan mendatangkan citra positif bagi parpol.

Ketiga, parpol harus merumuskan pel bagai program strategis dan membumi, sehingga menyentuh langsung emosi rakyat. Patut dikedepankan juga soal isu penegakan supremasi hukum, dan hak asasi manusia, serta upaya mengatasi konflik sosial. Partai politik jangan sampai membuat program yang muluk- muluk, tetapi tidak bisa diimplementasikan.

Keempat, membangun pola komunikasi publik yang baik. Parpol wajib terbuka terhadap saran dan kritik yang dilontarkan rakyat. Parpol jangan hanya nongol dan bergerak saat menjelang pemilu, tetapi harus hadir dalam setiap pergerakan rakyat dan dinamika negara. Misalnya, dengan terus menyuarakan aspirasi rakyat sembari tetap mawas diri agar tidak terjebak dalam perilaku immoral yang dicela rakyat. 

Dengan begitu, insya Allah, parpol akan berjalan on the track seraya mampu memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial dalam ruang kehidupan bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar