Kesiapan
Implementasi K13
Adi Prasetyo ; Ketua PGRI
Kabupaten Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 21 Maret 2014
Untuk
kali ke sekian, Kemdikbud menyempurnakan kurikulum. Terkini, tahun 2003
menyempurnakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menjadi Kurikulum
2013, yang oleh kalangan pendidikan sering disebut K13. Kurikulum itu
ditetapkan mulai tahun pelajaran 2013/2014 untuk semua jenjang, terutama
kelas rendah.
Hal ini
diperkuat dengan juknis pengelolaan dana alokasi khusus (DAK) yang menetapkan
peruntukan dana itu diprioritaskan bagi pengadaan buku Kurikulum 2013. Adapun
guru, kepala sekolah, dan pengawas akan mendapatkan pelatihan mengenai
kurikulum baru tersebut pada masa liburan.
Sekolah
yang jadi percontohan disebut sekolah sasaran. Di Jateng, sekolah sasaran
terdiri atas 347 SD dari total 19.226, 206 SMP dari total 2.974, 148 SMA dari
total 847, dan 177 SMK dari total 1.429. Penetapan sekolah sasaran tidak
melibatkan kabupaten/kota dan provinsi mengingat semuanya dilakukan
Kemdikbud.
Akibatnya,
ada sekolah yang berdasarkan jumlah siswa, standar sarana dan prasarana, serta standar tenaga pendidik, tidak
memenuhi syarat tapi justru ditetapkan sebagai sekolah sasaran. Padahal ada
sekolah lain yang lebih layak sehingga hal itu menimbulkan disharmonisasi
antarsekolah.
Ketidaktepatan
menentukan sekolah sasaran ditambah keterlambatan distribusi buku dan
penyelenggaraan diklat yang tidak mampu mengeksplorasi dan mengubah mindset guru,
menjadi penyebab tidak optimalnya piloting kurikulum baru. Pemerintah juga
menyiapkan model diklat dengan
menetapkan instruktur nasional (innas) dari sekolah sasaran. Instruktur
dipilih Dinas Pendidikan kabupaten/kota dari guru mapel yang memenuhi persyaratan. Instruktur itu menjalani diklat pola 72 jam
yang diselenggarakan Kemdikbud, dan setelah lulus diminta melatih 40 guru.
Pada tiap satuan pendidikan, diklat innas ditangani lembaga berbeda-beda.
Keterlambatan
distribusi buku diantisipasi dengan menyerahkan pengadaannya kepada sekolah
dan Dinas Pendidikan kabupaten/kota. Untuk buku semester I, dilakukan oleh
sekolah dengan dana 5% dari BOS. Untuk buku semester II, dilakukan oleh Dinas
Pendidikan kabupaten/kota, dengan anggaran DAK.
Pola Pendampingan
Monitoring
dan evaluasi implementasi K13 dilakukan melalui pendampingan bersistem
klaster, dan tiap klaster terdiri minimal 5 sekolah. Lewat program
pendampingan, masalah dan keterbatasan yang dialami oleh sekolah dapat
diketahui dan dicarikan solusi dalam klaster itu. Meski terlihat semua risiko
sudah diantisipasi, rasanya tetap perlu mengkaji lagi implementasi kurikulum
baru secara serentak pada semua satuan pendidikan, SD kelas I,II, IV, dan V;
SMP kelas VII dan VIII; serta SMA/SMK kelas X dan XI. Hal itu mengingat
piloting implementasi kurikulum pada tahun pelajaran 2013/2014 dilakukan
secara terbatas. Bagi sekolah piloting, mereka tinggal melanjutkan
implementasi.
Namun
bagi sekolah non-piloting, hal itu menyulitkan dan bisa menimbulkan masalah.
Pasalnya, sekolah tersebut harus mengimlementasikan K13 untuk kelas II dan V
SD, kelas VIII SMP, dan kelas XI SMA/SMK. Padahal tahun sebelumnya siswa
kelas tersebut masih memakai KTSP. Ketika naik kelas, di kelas baru, siswa
’’berhadapan’’ dengan Kurikulum 2013. Padahal ada perbedaan siginifikan
antara KTSP dan kurikulum baru.
Perbedaan
itu menyangkut struktur kurikulum, pendekatan pembelajaran, dan proses
penilaian. Belum lagi ada penambahan
atau penghapusan mapel tertentu. Bila Kemdikbud memaksakan kebijakan itu,
tentu akan ada yang hilang dan ada yang dirugikan. Pemerintah perlu lebih
arif untuk mengkaji ulang kebijakan tersebut, terlebih masih ada waktu.
Dengan penyempurnaan yang telah dan akan dilakukan Kemdikbud,
pengimplementasian secara serentak K13 dapat memenuhi harapan kita semua. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar