Keadilan
untuk Pertumbuhan
Arief Anshory Yusuf ; Director Center for Economics and Development Studies
(CEDS) Universitas Padjadjaran, Penggagas keberpihakan.org
|
KOMPAS,
25 Maret 2014
ROBERT
LUCAS —ekonom peraih Nobel dari University
of Chicago—dalam sebuah artikelnya, ”The
Making of Miracle” (1993), menemukan bahwa kondisi perekonomian Korea
(Selatan) dan Filipina pada tahun 1960 memiliki banyak kemiripan. Struktur
ekonomi, pendapatan per kapita, jumlah penduduk, tingkat urbanisasi, serta
tingkat pendidikan penduduknya hampir serupa. Akan tetapi, pada periode
1960-1988, perekonomian Korea tumbuh tiga kali lebih cepat daripada Filipina.
Walhasil, Korea berhasil menyejajarkan diri dengan negara-negara maju,
sementara Filipina malah mengalami stagnasi peningkatan kesejahteraan.
Artikel Robert Lucas meninggalkan ”teka-teki” yang tidak terungkap dengan
tuntas.
Roland
Bénabou, ekonom dari Princeton
University, pada 1996 menelusuri lagi kemiripan kedua negara tersebut dan
menemukan kelemahan dalam observasi Robert Lucas. Ternyata distribusi
pendapatan di Korea dan Filipina di tahun 1960 sangat berbeda. Koefisien gini
di Filipina 17 persen lebih besar dan rasio pendapatan 20 persen tertinggi
terhadap 20 persen terendah di Filipina dua kali lebih tinggi. Demikian juga
dengan ketimpangan kepemilikan lahan. Faktor inilah yang, menurut Roland
Bénabou, mungkin bisa menjelaskan mengapa hasil akhir dari pembangunan
ekonomi kedua negara bisa sangat berbeda.
Isu ketimpangan
Di
Indonesia, ketimpangan jadi isu yang sentral belakangan ini karena trennya
yang meningkat pesat selama 10 tahun terakhir dan telah mencapai angka yang
mengkhawatirkan. Saat ini, koefisien gini Indonesia mencapai angka 0.41,
tertinggi yang pernah tercatat dalam sejarah.
Selain
itu, karena angka gini kita dihitung dengan konsumsi, bukan pendapatan,
realitas ketimpangan kita sebenarnya lebih parah. Beberapa perhitungan
menunjukkan, jika pendapatan yang jadi ukuran, koefisien gini kita bisa
menyentuh 0.46, lebih tinggi daripada Filipina saat ini.
Banyak
yang beranggapan, meningkatnya ketimpangan adalah hal yang wajar untuk negara
yang sedang berkembang. Ini terjadi karena pertumbuhan ekonomi memerlukan
kapital yang pembentukannya memerlukan tabungan masyarakat. Tumbuhnya
golongan kaya memungkinkan akumulasi kapital terjadi lebih cepat. Tetapi,
relevansi hipotesis ini menjadi berkurang dengan munculnya ”teori pertumbuhan
baru” yang mengedepankan peran aset manusia (human capital) dalam pertumbuhan.
Studi-studi
empiris membuktikan, sumber pertumbuhan utama bukanlah akumulasi kapital,
tetapi inovasi. Pertumbuhan ekonomi negara-negara yang tergabung dalam
Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD; Organisation for Economic Co-operation and
Development) di tahun 1950-an dan 1960-an, misalnya, 40 persen-60 persen
disumbang oleh inovasi. Inovasi itu didorong oleh kualitas SDM-nya.
Ketimpangan dalam akumulasi human capital tidak sehat untuk pertumbuhan
ekonomi karena jika akumulasi human capital hanya terjadi di segelintir
orang, kesempatan negara membangun talent pool yang besar menjadi hilang dan
inovasi akan berjalan lebih pelan.
Premis
bahwa ketimpangan diperlukan untuk memulai pertumbuhan ekonomi sudah jadi
cerita lama. Makin banyak studi empiris baru yang membuktikan ketimpangan
justru dapat mengganggu proses pertumbuhan ekonomi.
Giovanni
Cornia, ahli ekonomi pembangunan dari Italia, menunjukkan, jika angka gini
sudah menyentuh 0.45, ketimpangan justru akan membuat pertumbuhan ekonomi
jadi lebih pelan. Jika koefisien gini Indonesia dihitung dengan menggunakan
pendapatan, angkanya bisa mencapai 0.46. Ini sudah melebihi ambang batas
psikologis itu.
Kita
menyadari bahwa mekanisme pasar memang menjanjikan efisiensi, tetapi tidak
menawarkan keadilan. Kita merespons dengan mencantumkan prinsip ”efisiensi
berkeadilan” dalam amendemen UUD 1945. Paradigma ini juga dikenal sebagai
”pertumbuhan berkeadilan”. Akan tetapi, walau sudah lama dikumandangkan,
paradigma ini tak akan mampu menyelesaikan akar permasalahan dari
meningkatnya ketimpangan. Ini terjadi karena filosofinya yang masih
mengedepankan pertumbuhan, menomorduakan keadilan.
Prinsip
”tumbuh dulu redistribusi kemudian” sudah terlalu lama jadi paradigma
pembangunan ekonomi dan terbukti tidak termanifestasikan menjadi keadilan
hakiki. Paradigma ini juga sudah tak sesuai teori-teori dan bukti-bukti
empiris baru dalam literatur ekonomi pembangunan yang makin menunjukkan
keadilan justru adalah prasyarat pertumbuhan ekonomi.
Kalau
inovasi adalah penyumbang utama pertumbuhan ekonomi, maka akumulasi human capital menjadi
sentral dalam proses pertumbuhan. Inovasi tentunya berbanding terbalik dengan
ketimpangan dalam akumulasi human capital. Semakin merata akumulasi human
capital, akan makin banyak potensi inovasi. Sebaliknya, makin timpang
akumulasi human capital, akan semakin sedikit potensi inovasi. Dalam
literatur empiris tentang pertumbuhan ekonomi, proses kemajuan teknologi
dipengaruhi oleh size effect. Semakin tersebar potensi-potensi inovasi,
semakin cepat kemajuan teknologi.
Akumulasi
human capital dicapai melalui proses pendidikan dan peningkatan kualitas
kesehatan. John Heckman, ekonom peraih Nobel di tahun 2000, dalam salah satu
artikel terbarunya menyimpulkan, pemberian gizi yang baik di masa pra-sekolah
adalah investasi yang return-nya
paling tinggi dibandingkan dengan berbagai investasi alternatif lain. Ini
terjadi karena investasi tersebut terjadi di masa di mana pertumbuhan otak
anak memerlukan nutrisi yang cukup. World
Economic Forum, lembaga yang tiap tahun meranking daya saing antarnegara,
juga mencatat, peningkatan daya saing Indonesia terkendala oleh permasalahan
kualitas kesehatan.
Ketika
di Indonesia akses terhadap gizi yang esensial untuk perkembangan otak anak,
seperti protein dan susu, masih hanya terbatas pada kalangan atas, dampak
negatifnya terhadap efisiensi dan pertumbuhan ekonomi tidak terbayangkan.
Pemerataan akses terhadap pendidikan dari dasar sampai perguruan tinggi,
serta peningkatan kualitas kesehatan anak, adalah hal dasar yang harus
dicapai bukan atas nama keadilan atau belas kasihan, melainkan justru dalam
konteks peningkatan daya saing, efisiensi, dan pertumbuhan ekonomi. Jika kita
menginginkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, ketimpangan harus
diminimalkan.
Ubah paradigma
Sampai
sejauh mana pembangunan harus merata? Bukankah pemerataan kurang sejalan
dengan prinsip meritokrasi? Jawabannya sangat beragam dan juga bergantung
pada spektrum ideologi politik.
Untuk
ini John Roemer, seorang filsuf dan matematikawan dari Yale University, mempunyai jawaban. Ketimpangan pendapatan,
menurut dia, bisa didekomposisi berdasarkan dua sumbernya: ketimpangan dalam
usaha (effort) dan ketimpangan
dalam prakondisi (circumstances) di
luar kendali individu.
Ketimpangan
pada tingkatan tertentu yang disebabkan perbedaan effort individu tidak dapat
dihindari. Akan tetapi, karena
individu tidak bisa memilih di mana harus dilahirkan, negara perlu menjamin
tidak terjadi ketimpangan dalam prakondisi dengan memberikan pemerataan
kesempatan, terutama dalam akses terhadap kebutuhan dasar dalam rangka
akumulasi human capital.
Mungkin
inilah saatnya paradigma dalam mengelola pembangunan ekonomi Indonesia harus
diubah. Keadilan jangan diletakkan setelah pertumbuhan. Pemerataan kesempatan
jangan diartikan sebagai bentuk belas kasihan. Pemerataan kesempatan justru
adalah pemenuhan prasyarat untuk pertumbuhan. Paradigma pertumbuhan berkeadilan harus segera ditinggalkan dan digantikan
dengan paradigma keadilan untuk pertumbuhan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar