Haji
Cuciwang
Sarlito Wirawan Sarwono ;
Guru
Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 02 Februari 2014
Semasa
kecil, pada tahun 1950-an, saya dan dua adik laki-laki saya suka bermain
”Tepuk Haji”, yaitu kalau kami sedang jalan bertiga (atau berdua), siapa yang
paling dulu melihat orang bertopi haji boleh memukul pantat yang lain,
sembari berseru, ”Haji!” Yang kena tepuk pantatnya tidak boleh marah walaupun
dalam hati mendongkol sekali.
Matanya
langsung melotot dan mencari orang bertopi haji (dulu identik dengan pak
haji) lain untuk membalas dendam. Yang jalan kaki, yang bersepeda, atau naik
delman, tetapi biasanya tidak ada lagi yang dicari itu karena memang haji
pada masa itu masih termasuk jenis manusia yang dilindungi (saking
langkanya). Apalagi di kota kecil seperti Tegal, Jawa Tengah. Memang, untuk
naik haji pada masa itu bukan hal yang gampang. Belum ada pesawat udara yang
mengangkut jamaah haji berkloter-kloter. Waktu itu, kalau mau haji, ya naik
kapal laut.
Singgah
dulu di Banda Aceh sebagai pelabuhan terakhir sebelum memasuki Samudera
Hindia untuk langsung ke Tanah Suci (karena itulah Aceh disebut Serambi
Mekkah). Waktunya lama sekali, sampai beberapa bulan, dan biayanya mahal.
Karena itu, hanya mereka yang ilmu agamanya sudah sangat tinggi, punya niat
yang sangat kuat, dan punya banyak tabungan sajalah yang akan mampu untuk
berangkat haji.
Dengan
begitu, akhirnya haji memang sangat dimuliakan dalam pandangan masyarakat
Indonesia. Haji adalah ulama (orang berilmu agama yang tinggi), sedangkan
hampir setiap haji selalu memakai topi haji (putih), akhirnya orang
mengasosiasikan bahwa topi haji identik dengan hajinya itu sendiri. Lain hal
dengan zaman sekarang, yang bisa saya namakan sebagai era inflasi haji (bukan
moneter saja yang bisa inflasi). Untuk naik haji, pemerintah mengupayakan
berbagai cara untuk memudahkan jamaah calon haji.
Selain
penerbanganpenerbangan kloter, disiapkan juga asrama haji, tabungan haji,
manasik haji (sehingga orang yang paling awam agama pun bisa berhaji), dan
sebagainya. ONH (ongkos naik haji) memang naik setiap tahun, tetapi masih
tetap terjangkau juga oleh masyarakat biasa. Apalagi sekarang ada Haji Abidin
(atas biaya dinas), Haji Bansos (bantuan sosial), Haji UBH (undian
berhadiah), bahkan Haji Cuciwang alias Haji Gratifikasi. Akibat itu, wajarlah
kalau sekarang banyak Haji Tomat (berangkat tobat, pulang kumat).
Karena
itu, sekarang permainan ”Tepuk Haji” sudah tidak bisa dimainkan lagi. Apalagi
sekarang topi haji dijual bebas di pelataran-pelataran masjid untuk dipakai
salat Jumat. Tetapi, yang lebih serius dari itu adalah kuota haji, walaupun
terus-menerus dinaikkan setiap tahun, tidak bisa mengejar demand masyarakat
untuk naik haji sehingga sekarang orang yang mau berhaji bisa mengantre
bertahun-tahun (masih untung kalau tiba gilirannya, yang bersangkutan masih
hidup).
Gejala
inflasi haji ini di satu sisi bisa dianggap baik karena merupakan refleksi
dari pemahaman agama masyarakat yang makin meningkat. Sayangnya, peningkatan
pemahaman akan agama ini (pada aras kognitif) tidak disertai dengan aplikasi
ajaran agama yang benar (pada aras perilaku). Dengan begitu, KKN (korupsi,
kolusi, dan nepotisme) di Indonesia bukan mereda, malah makin menjadi-jadi
dan menurut sebuah penelitian oleh George Washington University (2011),
Indonesia menjadi negara yang ke-140 yang mempraktikkan nilai-nilai Islam
(negara islami nomor satu: Selandia Baru).
Betapa
tidak. Seusai sebuah rapat akbar yang digelar oleh sebuah partai politik di
Gelora Bung Karno (Senayan), yang dihadiri oleh hampir 100.000 orang baru-baru
ini, langsung tampak sampah berceceran, kebanyakan plastik-plastik bekas
botol minuman dan kemasan makanan. Padahal saya yakin 90% dari massa adalah
muslim. Ke mana larinya hadis yang berbunyi ”Kebersihan pangkal iman?”. Lalu, apa yang ”hilang” dari perilaku
keberagamaan kita di Indonesia?
Dalam
Islam (dan dalam agama Samawi lainnya) pada hakikatnya ada dua sisi yang
tidak dapat dipisahkan yaitu hablun
min-allah (hubungan dengan Allah) dan hablun
minannas (hubungan dengan sesama manusia). Hubungan vertikal dengan Allah
diperlukan agar manusia bisa masuk surga, sedangkan hubungan horizontal
dengan sesama manusia diperlukan agar kita bisa membangun dunia yang rahmatan lil ‘alamin (penuh rahmat,
damai, dan sejahtera).
Setiap
kali seorang muslim/ muslimah melakukan kewajibannya untuk Allah (salat,
puasa, haji, dan sebagainya), di samping pahala yang akan diterima kelak, ada
utang yang harus dibayar di dunia ini yaitu selalu menghargai sesama manusia,
melindungi alam, bersedekah, menghindari pertikaian, hidup rukun
bergolong-golongan, dan sebagainya. Kalau utang ini tidak dilunaskan, pahala
yang sudah dicatat dalam buku tabungan bank akhirat bisa dicoret oleh
malaikat.
Begitu
kata guru agama saya di SMP (sekolah menengah pertama). Tetapi, justru orang
sekarang makin berlomba mencari hadiah pahala akhirat saja dengan melupakan
manfaat di dunia. Selain berlomba-lomba naik haji atau umrah, banyak ibu juga
yang berlomba-lomba tampil dengan gelung jilbab yang mahal dan cantik dan
bermunculanlah berbagai taushiyah di masjid-masjid, di perumahan, atau di
media massa. Maka itu, lahir ustaz-ustaz muda, biasanya dengan wajah tampan,
pandai mengutip Alquran dan Hadis, pandai beretorika dalam berkhotbah, dan
bersuara emas bagaikan juara Indonesian Idol.
Ustaz-ustaz
berumur sekitar 30 tahunan ini disukai oleh umat dan sering masuk
infotainment yang menyebabkan tarif mereka makin lama makin mahal. Bahkan ada
yang menolak undangan untuk bertaushiyah karena tarif yang disanggupi panitia
tidak sesuai standar sang ulama muda. Tidak mengherankan jika ustaz-ustaz
ini, dalam usianya yang masih belia itu, sudah mampu membeli rumah mewah,
mobil yang mahal, dan motor gede. Tetapi, juga tidak perlu heran jika
kelakuan beberapa ustaz itu membuat alis mata kita terangkat sebelah.
Ada ustaz yang menggelapkan uang jamaah, ada ustaz yang berpraktik
kurang senonoh pada klien wanitanya, ada ustaz yang menginjak seorang anggota
jamaah di depan umat, dan sebagainya. Lalu, apa bedanya ustaz-ustaz muda rahimahumullah ini dari para
selebritas infotainment lain yang
sering bikin heboh di infotainment? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar