Etika
Berdakwah
Ibnu
Djarir ; Dekan Fakultas
Dakwah IAIN Walisongo Semarang tahun 1981-1983
|
SUARA
MERDEKA, 28 Februari 2014
TINDAKAN Ustadz
Hariri menginjak kepala orang saat ia berdakwah sangat mengejutkan, sekaligus
mengecewakan masyarakat, khususnya para dai atau mubalig. Bagaimana mungkin
dai yang mestinya menjadi anutan dan teladan yang baik, justru menunjukkan
perilaku tercela. Kalangan dai kecewa karena ulah Hariri mencemarkan citra
dai yang bertugas menyiarkan ajaran Islam yang rahmatan lil alamin, menjadi
rahmat bagi seluruh alam.
Masyarakat
Indonesia, yang mayoritas beragama Islam, memercayai dan mengharapkan dai
mengemban amanat meneruskan tugas Rasulullah saw, yaitu membimbing masyarakat
supaya memiliki akhlak mulia atau budi pekerti luhur. Dengan demikian,
menginjak kepala orang lain yang dapat dikategorikan tindak kekerasan
bertentangan dengan norma akhlak Islam.
Tanggal 19
Januari 2014, Hariri (29) diundang untuk berceramah pada acara hajatan
seorang penduduk Nagrak, Cangkuang, Kabupaten Bogor. Ia, yang bernama lengkap
KH Rd M Hariri Abd Aziz Azmatkhan menjadi dai setelah lulus Kontes Dai TPI.
Pengetahuan agamanya diperoleh dari UIN Bandung sehingga mempunyai bekal
untuk berdakwah.
Dia mampu
mengasuh Majelis Mazidah Aswaja. Dia yang juga berambut gondrong memiliki
jiwa seni, dan suara seperti rocker, serta pandai berpencak silat pula.
Karena penampilannya yang menarik, ia diterima sebagai pemain sinetron, antara
lain pernah main dalam sinetron berjudul ’’Islam KTP”, “Sampeyan Muslim ?”,
“Mak Ijah Pengen ke Makkah” dan “Setulus Kasih Ibu”.
Pada awal dia
berpidato tiba-tiba alat pengeras suara rusak sehingga suara Hariri tidak
terdengar jelas. Maka dia pun memanggil Entis Sutisna, petugas sound system
untuk memperbaiki.Tapi Entis tidak kunjung memperbaiki. Hariri memanggil
Entis ke depan panggung untuk meminta maaf kepadanya tapi Entis menjawab
dengan kata-kata yang tidak pantas, dan sekali pun minta maaf tetap dengan
suara keras. Memuncaklah kemarahan Hariri sehingga dia menindih kepala Entis
dengan lututnya. Jurus pencak silatnya muncul. Ustad-ustad lain kawan Hariri
segera melerai, meminta tidak meneruskan tindihannya.
Manajer Hariri,
Odet berpendapat kemarahan Hariri dapat dimaklumi mengingat Entis telah
menyakiti hatinya. Ia mengatakan siapa yang pernah berpidato di muka umum
pasti kecewa atau bahkan marah, bila tengah berpidato tiba-tiba pengeras
suara rusak sehingga pidatonya tidak dapat jelas didengar. Sebaliknya Agus,
majikan Entis, karena sudah tahu watak pemarah Hariri, menyalahkan ustadz
itu, yang katanya sebagai dai tak bisa memberi contoh kesabaran menghadapi
gangguan, hanya persoalan sound system.
Pendapat yang
berkembang di kalangan dai pada umumnya tidak membenarkan perilaku Hariri
yang menunjukkan tindak kekerasan. Mestinya dai harus tampil simpatik, dan
menunjukkan akhlak mulia sehingga menarik hati jamaah. Pendapat lain
mengatakan, meski tiap muslim berkewajiban berdakwah, tak setiap muslim harus
tampil sebagai dai lapangan. Hal itu mengingat untuk menjadi dai lapangan
harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Karena itu, ada pendapat sebaiknya
Hariri aktif dalam bidang seni budaya saja, seperti menjadi pemain musik atau
sinetron.
Ketua Komisi
Kerukunan Beragama Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, M Nasution
berpendapat perilaku Ustadz Hariri menginjak kepala orang termasuk tindak
kekerasan, dan bahkan melanggar HAM. Tindakan tersebut tidak sesuai dengan
norma akhlak Islami. Menurutnya, dalam berdakwah, dai hendaknya mencontoh
cara Rasulullah saw yang tidak pernah menunjukkan cara-cara kekerasan. Ia
mencontohkan ketika Nabi Muhammad berdakwah ke Thaif dilempari batu oleh
warga hingga terluka. Namun Nabi tetap tenang dan bersikap lembut.
Etika Berdakwah
Etika berdakwah
meliputi tiga aspek, yaitu sikap batin, penampilan, dan adab atau kesopanan.
Tulisan sederhana ini hendak menyampaikan sikap batin berdasarkan petunjuk
dalam Alquran. Pertama; orang berdakwah harus dilandasi niat ikhlas. Yang dimaksud
ikhlas adalah ucapan dan perbuatan diniati semata-mata demi memperoleh rida
Allah Swt, bukan mencari kekayaan, kemasyhuran, pujian, atau sebutan indah.
Dai yang ikhlas tidak akan mengomersialisasikan dakwahnya alias memasang
tarif (QS Al Bayyinah: 5).
Kedua; dakwah
harus dilaksanakan secara bijak (QS An Nahl: 125), yaitu dengan memperhatikan
situasi dan kondisi masyarakat yang dihadapi beserta lingkungannya. Ketiga;
dakwah hakikatnya merupakan upaya mengajak orang lain agar mengimani dan
mengamalkan ajaran Islam. Tetapi Islamisasi itu tidak boleh dengan paksaan
(QS Al Baqarah: 256 ).
Keempat; dai
hendaknya menjadi anutan atau teladan baik bagi masyarakat, sebagaimana
dicontohkan Rasulullah saw, khususnya dengan menunjukkan akhlak mulia (QS Al
Ahzab: 21). Kelima; dai hendaknya menyampaikan kebenaran, bukan kebohongan,
fitnah, atau sejenisnya (QS Al Ahzab: 70).
Keenam; dakwah
hendaknya dilakukan lewat cara lemah lembut (QS Ali Imran: 159). Ketujuh;
dakwah hendaknya untuk membina kesatuan dan persatuan umat, tidak mempertajam
masalah khilafiah, dan tidak menjelek-jelekkan orang atau golongan lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar