Rabu, 02 Mei 2012

UN dan Tekanan Neoliberalisme


UN dan Tekanan Neoliberalisme
Satrio Wahono, Sosiolog dan Magister Filsafat UI
SUMBER : SUARA KARYA, 02 Mei 2012


Pemandangan akhir-akhir ini di media massa seputar ujian nasional (UN) rasanya begitu asing. Betapa tidak, perhelatan akbar bernama UN yang sejatinya bertujuan untuk meningkatkan standar mutu lulusan kita justru diwarnai berbagai kejadian memiriskan hati. Lihat saja, betapa media cetak maupun elektronik seakan tak putus-putus memberitakan terjadinya pencontekan, pembocoran soal, kecurangan, dan lain sebagainya. Sampai-sampai, UN yang ditujukan untuk anak usia sekolah malah terkesan menyeramkan dengan diterjunkannya aparat penegak hukum lengkap dengan senjatanya. Konon, tujuannya adalah mengamankan pelaksanaan UN.

Tak pelak, kita terhenyak. Sudah demikian rusakkah moral kita sehingga nilai kejujuran begitu mudah 'tergadaikan' untuk satu fenomena bernama UN? Juga, demikian bobrokkah perilaku kita sampai-sampai anak usia sekolah pun harus diawasi oleh aparat yang kehadirannya terasa mencekam?

Secara akal sehat, tergerusnya nilai-nilai luhur - termasuk kejujuran - adalah buah dari pola pikir yang menganggap satu-satunya hal yang berarti dalam hidup adalah materi. Bentuk materi itu bisa beraneka macam: harta benda, uang, status sosial pendidikan, dan lain-lain. Pokoknya, segala sesuatu yang kasat-mata dan bisa dihitung (tangible and quantifiable).

Dengan kata lain, nilai-nilai luhur atau etika yang tak ada nilai nominalnya (unquantifiable) hanya menempati posisi sekunder ketimbang materi. Selama nilai-nilai etika itu selaras dengan kepentingan pengejaran materi, tidak ada masalah. Akan tetapi, jika nilai-nilai etika itu justru menghalangi ikhtiar menggapai materi, nilai-nilai itulah yang akan dikesampingkan.

Sejatinya, pola pikir kemaruk materi seperti ini adalah efek dari penetrasi paham neo-liberalisme dalam kehidupan kita. Neoliberalisme adalah varian kapitalisme yang mengembangkan watak-watak yang lebih ekstrem daripada kapitalisme awal. Di satu sisi, neoliberalisme masih mempertahankan konsep manusia sebagai homo economicus yang mengukur hubungan-hubungan antarpribadi dan sosial dengan konsep dan tolok-ukur ekonomi.

Di sisi lain, neoliberalisme melangkah jauh lebih ekstrem dari kapitalisme dan liberalisme klasik. Jika kapitalisme atau liberalisme klasik menganggap tenaga kerja (labor) sebagai pihak yang digunakan tenaganya dan diambil nilai lebihnya oleh pengusaha, neo-liberalisme menganggap setiap pekerja sebagai pengusaha dengan tenaga dan kerja sebagai 'produk jualan' mereka. Karenanya, pengusaha-pengusaha individual ini, yang menjadi atasan dan bawahan bagi mereka sendiri dengan pengusaha sebagai klien, diwajibkan mengurus dirinya sendiri apabila terjadi kecelakaan atau menurunnya kualitas kesehatan mereka.

Ibarat kata, negara semestinya tak lagi mengurusi masalah kesejahteraan rakyat luas lewat konsep welfare care karena yang harus dianut kini adalah self-care di mana setiap orang mengurus dirinya sendiri.

Jadi, neoliberalisme menuntut setiap orang merancang program pensiunnya sendiri, memiliki program asuransi kesehatannya sendiri, merencanakan program pendidikan bagi anak-anak mereka sendiri, serta menentukan kualitas hidup mereka sendiri. Konsekuensinya, jika 'pengusaha individual' ini, misalnya, jatuh sakit dan pendapatannya tidak mencukupi, ya apa mau dikata.

Selain itu, jika gagasan liberalisme klasik masih memberikan otoritas kepada negara sebagai badan yang menyelenggarakan barang/jasa publik (pendidikan, kesehatan publik, dan infrastruktur lain) sementara sektor privat menjadi motor pengadaan barang/jasa privat, maka neoliberalisme menolak pembagian semacam ini. Alasannya, barang/jasa publik pun diciptakan bukan karena berguna bagi publik umum, melainkan karena mampu mendatangkan laba bagi penyedianya. Makanya, sektor-sektor yang berurusan dengan barang publik, seperti pendidikan, kesehatan, dan lain-lain harus dikomersialkan, berujung pada perlakuan barang itu sebagai komoditas ekonomi penghasil laba dan pada dinisbikannya peranan negara.

Dengan kata lain, penetrasi paham neo-liberalisme ke dalam sendi-sendi kehidupan kita membuat manusia semakin terisolir. Setiap manusia menjadi pulau bagi dirinya sendiri. Sikap hidup individualistis kian merajalela dan nilai komunal (kebersamaan) semakin terkikis. Masing-masing individu hanya sibuk memikirkan kepentingan dirinya sendiri demi memupuk materi sebanyak mungkin.

Peran Negara

Dari perspektif ini, kita bisa mengerti mengapa ada sejumlah siswa dan orangtua yang rela menghalalkan segala cara agar mereka atau anak mereka bisa lolos UN, kalau perlu dengan nilai setinggi mungkin. Sebab, UN telah menjadi tolok ukur kuantitatif yang seakan menjadi 'tiket' bagi keberhasilan material di masa depan: masuk sekolah atau universitas unggulan, mendapatkan status sosial tinggi di mata masyarakat, dan lain sebagainya.

Pada titik inilah, negara dituntut mereposisi dirinya. Selama ini, pemerintah tampak tidak berdaya menghadang derap pesat neo-liberalisme. Sehingga, wajar jika akhirnya hari ini kita melihat laju kencang neo-liberalisme itu lantas melibas nilai-nilai etis yang dulunya kita junjung tinggi.

Maka dari itu, jika kita ingin kembali menjadi bangsa yang beradab dan mengusung nilai-nilai kemanusiaan, saatnyalah negara kembali memegang peranan. Negara mesti melahirkan kebijakan-kebijakan yang menghalau anasir-anasir neoliberalisme.

Seperti: kebijakan mewujudkan SJSN, mengalokasikan lebih banyak anggaran untuk pendidikan dan lain sebagainya. Dengan begini, semoga kita bisa memulihkan kembali nilai-nilai luhur yang selama ini tergerus oleh paham neoliberalisme dan tidak perlu lagi menyaksikan tragedi-tragedi lain seputar UN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar