Rabu, 23 Mei 2012

Pendidikan dalam RUU PT


Pendidikan dalam RUU PT
Setyo Pamuji ; Akademisi pada IAIN Sunan Ampel, Surabaya
SUMBER :  KOMPAS, 23 Mei 2012


Akhir-akhir ini, perguruan tinggi bergejolak akibat beberapa wacana yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Belum kering pembahasan tentang kebijakan yang mewajibkan lulusan perguruan tinggi untuk publikasi karya ilmiah di jurnal, muncul lagi polemik terkait Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi (RUU PT).

Kebijakan pemerintah seharusnya mengutamakan kepentingan masyarakat sehingga segala kebijakan mencerminkan kebaikan bersama. Demikian pula halnya jika kebijakan dibuat untuk perguruan tinggi, maka selayaknya berpihak pada perguruan tinggi. Apalagi, perguruan tinggi penting untuk mendorong kemajuan bangsa. Akan tetapi, RUU PT tak mewakili aspirasi masyarakat, khususnya bagi civitas academica. Beberapa klausul dari peraturan tersebut dapat menyudutkan pendidikan dalam negeri, bahkan mematikannya.

Liberalisasi dan Penjajahan

Ada beberapa pasal yang perlu dikritisi dalam RUU PT ini. Pasal-pasal tersebut dianggap dapat memperburuk dunia pendidikan Indonesia. Seperti Pasal 77 yang menyebutkan bahwa pemerintah memilah perguruan tinggi menjadi tiga kategori, yakni otonom, semi-otonom, dan otonom terbatas. Otonomisasi pendidikan sangat rawan disalahgunakan oleh pengelola perguruan tinggi yang tak bertanggung jawab.

Pada konteks tersebut, pemerintah memberi kewenangan pada perguruan tinggi dalam mengelola keuangan, termasuk cara memperolehnya. Pada kondisi seperti ini, sangat mungkin pendidikan dianggap sebagai komoditas perdagangan. Otonomi tersebut, jika tak bijak disikapi, akan menjadi ancaman bagi nilai luhur pendidikan Indonesia.

Akan banyak muncul perguruan tinggi yang memanfaatkan otoritasnya untuk membuat kebijakan yang menguntungkan. Misalnya, dengan biaya kuliah yang mahal. Tingginya biaya ini berimplikasi langsung dalam bentuk diskriminasi pendidikan karena orang dengan ekonomi lemah akan termarjinalkan.

Selain itu, Pasal 90 juga berdampak buruk bagi mahasiswa. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa pemerintah memberikan dan/atau mengusahakan pinjaman dana kepada mahasiswa. Sepintas hal tersebut tampak membantu mahasiswa. Namun, sebenarnya hal itu menciptakan kebiasaan buruk: mahasiswa akan terbiasa berutang.

Lebih jauh, utang dapat membuat kebebasan mahasiswa terbelenggu. Ketika mahasiswa tersebut memiliki pinjaman dari kampus, hal itu secara tak langsung dapat menjadi penumpul jiwa kritis mahasiswa. Apalagi, jika pemberian utang itu disertai persyaratan yang mengungkung kebebasan: mahasiswa penerima beasiswa tidak boleh ikut demonstrasi, misalnya.

Padahal, Pasal 31 UUD 1945 Ayat (2) menyebutkan, pendidikan adalah hak rakyat. Rakyat memiliki hak untuk memperoleh pendidikan yang layak dan pemerintah berkewajiban memberikan kesempatan kepada rakyat untuk mengenyam pendidikan. Pemerintah seharusnya memperhatikan aturan yang telah disepakati secara konsensus itu.

Lebih memprihatinkan lagi, Pasal 114 yang menyebutkan bahwa perguruan tinggi negara lain dapat menyelenggarakan pendidikan di Indonesia. Ini tentu sangat berbahaya jika melihat posisi Indonesia saat ini. Orang Indonesia kebanyakan lebih suka sesuatu yang berbau luar negeri, impor, padahal belum tentu bermutu sehingga merugikan universitas lokal.

Globalisasi

Dampak globalisasi terhadap dunia pendidikan dapat diprediksi dengan analogi kebebasan pasar di Indonesia. Serbuan ritel asing membuat pasar-pasar tradisional sepi pembeli. Bahkan, jika ini berlangsung dalam kurun waktu yang lama, tak menutup kemungkinan minat terhadap pasar tradisional akan mati. Demikian pula halnya dengan pendidikan. Jika globalisasi pendidikan memberikan ruang bagi perguruan tinggi asing untuk mendirikan ”cabang” di Indonesia, perkembangan perguruan tinggi lokal bisa terhambat.

Pendidikan tinggi asing dapat menghegemoni perguruan tinggi dalam negeri. Tingginya minat orang Indonesia untuk belajar di perguruan asing tersebut secara tak langsung membuat jumlah peserta didik di perguruan tinggi dalam negeri menurun. Lambat laun, perguruan tinggi dalam negeri akan gulung tikar.

Jika demikian, sebenarnya pasal tersebut dapat berpotensi membunuh pendidikan tinggi dalam negeri. Masuknya pendidikan tinggi asing ke Indonesia tidak jauh berbeda dengan bentuk penjajahan secara halus terhadap bangsa ini.

Daya Kompeten

Dalam era globalisasi, memang suatu negara tak dapat menutup diri dari pergaulan internasional. Sekularisasi dalam bentuk perizinan produk-produk asing yang masuk ke Indonesia sejatinya juga tak selalu negatif, bahkan suatu kebutuhan. Untuk memperoleh arus informasi ataupun pengetahuan, bangsa diharuskan dinamis, berinteraksi dengan bangsa-bangsa maju. Indonesia dapat memetik manfaat dari pergaulan global tersebut.

Hanya saja yang perlu untuk ditekankan di sini adalah sumber daya manusia Indonesia. Masyarakat Indonesia seharusnya memiliki bekal memadai dahulu sebelum bangsa asing bebas masuk Indonesia dengan produk-produk unggulannya. Paling minim, kualitas produk-produk dalam negeri dapat disejajarkan dengan milik asing.

Singkat kata, pemerintah harus menguatkan daya kompeten pendidikan dalam negeri dahulu sebelum mengizinkan pendidikan tinggi asing masuk ke Indonesia. Ini sebagai proteksi terhadap keberlangsungan pendidikan yang telah membudaya di masyarakat Indonesia.

Selain itu, pendidikan juga harus kembali pada konsep luhur pendidikan itu diselenggarakan. UU No 20/2003 tentang Sisdiknas telah menegaskan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya. Semua ini agar para mahasiswa memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Semoga bisa!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar