Pendidikan
dalam RUU PT
Setyo
Pamuji ; Akademisi pada IAIN Sunan Ampel,
Surabaya
SUMBER
: KOMPAS,
23 Mei 2012
Akhir-akhir ini, perguruan tinggi bergejolak
akibat beberapa wacana yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Belum kering pembahasan tentang kebijakan
yang mewajibkan lulusan perguruan tinggi untuk publikasi karya ilmiah di
jurnal, muncul lagi polemik terkait Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi
(RUU PT).
Kebijakan pemerintah seharusnya mengutamakan
kepentingan masyarakat sehingga segala kebijakan mencerminkan kebaikan bersama.
Demikian pula halnya jika kebijakan dibuat untuk perguruan tinggi, maka
selayaknya berpihak pada perguruan tinggi. Apalagi, perguruan tinggi penting
untuk mendorong kemajuan bangsa. Akan tetapi, RUU PT tak mewakili aspirasi
masyarakat, khususnya bagi civitas academica. Beberapa klausul dari peraturan
tersebut dapat menyudutkan pendidikan dalam negeri, bahkan mematikannya.
Liberalisasi dan Penjajahan
Ada beberapa pasal yang perlu dikritisi dalam
RUU PT ini. Pasal-pasal tersebut dianggap dapat memperburuk dunia pendidikan
Indonesia. Seperti Pasal 77 yang menyebutkan bahwa pemerintah memilah perguruan
tinggi menjadi tiga kategori, yakni otonom, semi-otonom, dan otonom terbatas.
Otonomisasi pendidikan sangat rawan disalahgunakan oleh pengelola perguruan
tinggi yang tak bertanggung jawab.
Pada konteks tersebut, pemerintah memberi
kewenangan pada perguruan tinggi dalam mengelola keuangan, termasuk cara
memperolehnya. Pada kondisi seperti ini, sangat mungkin pendidikan dianggap
sebagai komoditas perdagangan. Otonomi tersebut, jika tak bijak disikapi, akan
menjadi ancaman bagi nilai luhur pendidikan Indonesia.
Akan banyak muncul perguruan tinggi yang
memanfaatkan otoritasnya untuk membuat kebijakan yang menguntungkan. Misalnya, dengan
biaya kuliah yang mahal. Tingginya biaya ini berimplikasi langsung dalam bentuk
diskriminasi pendidikan karena orang dengan ekonomi lemah akan termarjinalkan.
Selain itu, Pasal 90 juga berdampak buruk
bagi mahasiswa. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa pemerintah memberikan
dan/atau mengusahakan pinjaman dana kepada mahasiswa. Sepintas hal tersebut
tampak membantu mahasiswa. Namun, sebenarnya hal itu menciptakan kebiasaan
buruk: mahasiswa akan terbiasa berutang.
Lebih jauh, utang dapat membuat kebebasan
mahasiswa terbelenggu. Ketika mahasiswa tersebut memiliki pinjaman dari kampus,
hal itu secara tak langsung dapat menjadi penumpul jiwa kritis mahasiswa.
Apalagi, jika pemberian utang itu disertai persyaratan yang mengungkung
kebebasan: mahasiswa penerima beasiswa tidak boleh ikut demonstrasi, misalnya.
Padahal, Pasal 31 UUD 1945 Ayat (2)
menyebutkan, pendidikan adalah hak rakyat. Rakyat memiliki hak untuk memperoleh
pendidikan yang layak dan pemerintah berkewajiban memberikan kesempatan kepada
rakyat untuk mengenyam pendidikan. Pemerintah seharusnya memperhatikan aturan
yang telah disepakati secara konsensus itu.
Lebih memprihatinkan lagi, Pasal 114 yang
menyebutkan bahwa perguruan tinggi negara lain dapat menyelenggarakan
pendidikan di Indonesia. Ini tentu sangat berbahaya jika melihat posisi
Indonesia saat ini. Orang Indonesia kebanyakan lebih suka sesuatu yang berbau
luar negeri, impor, padahal belum tentu bermutu sehingga merugikan universitas
lokal.
Globalisasi
Dampak globalisasi terhadap dunia pendidikan
dapat diprediksi dengan analogi kebebasan pasar di Indonesia. Serbuan ritel
asing membuat pasar-pasar tradisional sepi pembeli. Bahkan, jika ini
berlangsung dalam kurun waktu yang lama, tak menutup kemungkinan minat terhadap
pasar tradisional akan mati. Demikian pula halnya dengan pendidikan. Jika
globalisasi pendidikan memberikan ruang bagi perguruan tinggi asing untuk
mendirikan ”cabang” di Indonesia, perkembangan perguruan tinggi lokal bisa
terhambat.
Pendidikan tinggi asing dapat menghegemoni
perguruan tinggi dalam negeri. Tingginya minat orang Indonesia untuk belajar di
perguruan asing tersebut secara tak langsung membuat jumlah peserta didik di
perguruan tinggi dalam negeri menurun. Lambat laun, perguruan tinggi dalam
negeri akan gulung tikar.
Jika demikian, sebenarnya pasal tersebut
dapat berpotensi membunuh pendidikan tinggi dalam negeri. Masuknya pendidikan
tinggi asing ke Indonesia tidak jauh berbeda dengan bentuk penjajahan secara
halus terhadap bangsa ini.
Daya Kompeten
Dalam era globalisasi, memang suatu negara
tak dapat menutup diri dari pergaulan internasional. Sekularisasi dalam bentuk
perizinan produk-produk asing yang masuk ke Indonesia sejatinya juga tak selalu
negatif, bahkan suatu kebutuhan. Untuk memperoleh arus informasi ataupun
pengetahuan, bangsa diharuskan dinamis, berinteraksi dengan bangsa-bangsa maju.
Indonesia dapat memetik manfaat dari pergaulan global tersebut.
Hanya saja yang perlu untuk ditekankan di
sini adalah sumber daya manusia Indonesia. Masyarakat Indonesia seharusnya
memiliki bekal memadai dahulu sebelum bangsa asing bebas masuk Indonesia dengan
produk-produk unggulannya. Paling minim, kualitas produk-produk dalam negeri
dapat disejajarkan dengan milik asing.
Singkat kata, pemerintah harus menguatkan
daya kompeten pendidikan dalam negeri dahulu sebelum mengizinkan pendidikan
tinggi asing masuk ke Indonesia. Ini sebagai proteksi terhadap keberlangsungan
pendidikan yang telah membudaya di masyarakat Indonesia.
Selain itu, pendidikan juga harus kembali
pada konsep luhur pendidikan itu diselenggarakan. UU No 20/2003 tentang
Sisdiknas telah menegaskan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya. Semua ini agar para mahasiswa memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Semoga bisa! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar