MP3EI
dan Diplomasi Pangan
Dinna
Wisnu ; Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
SUMBER
: SINDO,
23 Mei 2012
Bulan
ini MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
alias rumusan penggerak roda perekonomian nasional yang menjadi andalan
pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono genap berusia satu tahun.
Melalui
program ini, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi yang pesat bagi
Indonesia sehingga pada 2025 diharapkan tercapai target pendapatan per kapita
USD14.250–15.500 dengan nilai total perekonomian berkisar USD4,0 triliun–4,5
triliun. Saat ini nilai total perekonomian Indonesia ada di kisaran USD770
miliar dengan pendapatan per kapita di kisaran USD3.000. Target-target tersebut
digenjot melalui skema yang melibatkan mitra swasta.
Ada 22 jenis kegiatan yang dibidik, mulai dari pertanian, infrastruktur hingga pertambangan. Wilayah Indonesia bagian timur dan Sumatera termasuk yang sangat dipacu pertumbuhannya. Misalnya membangun bandara di Lombok, menetapkan areal seluas 1.200 hektare di Lombok bagian selatan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus Pariwisata Nasional, membangun jalan dan pelabuhan trans-Maluku,serta membangun jalan tol dan jalur kereta api di Sumatera.
Saya ingin membahas MP3EI dalam hal perbaikan ketersediaan pangan. Dalam cetak biru MP3EI, arah yang dituju adalah ketahanan pangan. Dalam arti, Indonesia akan memanfaatkan keunggulannya untuk meningkatkan daya tawar dalam percaturan politik global terkait pangan, yakni dalam hal jumlah penduduk, jumlah orang muda, surplus jumlah penduduk berusia produktif, letak geografis yang strategis, ketergantungan dunia pada arus pelayaran yang melewati Indonesia, serta pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi.
Indonesia diharapkan berperan di tataran regional maupun internasional untuk menjadi lumbung pangan (dan air). Implisit di dalam target tersebutadalahkeinginanmelakukan swasembada walaupun arahnya bukan menutup diri, melainkan sebagai penyedia pasokan pangan bagi dunia. Sejauh mata memandang, langkah ke sana belum optimal digarap. Pertama karena pendekatan diplomasi yang ada belum mengarah pada penciptaan gerakan tanam bersama di lahan bumi yang jumlahnya makin terbatas.
Lahan diperlakukan seolaholah komoditas yang tak ada habisnya. Jika semua negara dibebaskan untuk secara swadaya melakukan pengelolaan lahan secara eksklusif, dalam kurun waktu 20 tahun mendatang sudah akan bermunculan negaranegara yang lebih miskin dari sekarang. Saat ini sejumlah negara seperti China, India,AS secara agresif mencari lahan- lahan subur di seluruh dunia untuk bercocok tanam dan beternak.
Hasilnya langsung diboyong ke negara masing-masing; penduduk setempat yang bercocok tanam dan beternak hanya bisa gigit jari. Kecenderungan saling rebut lahan ini tidak bisa distop dengan skema-skema kerja sama internasional yang ada sekarang karena yang sekarang digarap adalah kerja sama perdagangan, pembuatan lumbung bersama,larangan proteksi, dan sejenisnya.
Semuanya tidak menyentuh esensi pangan sebagai barang publik (public goods). Karena lahan dan air adalah hak semua umat manusia, sebenarnya penggunaan barang tersebut oleh pihak lain tidak bisa dilarang (non-excludable) dan tidak boleh mengurangi kenikmatan pihak lain ketika menggunakan barang tersebut (non-rivalry). Artinya, perlu ada skema kerja sama multilateral dan regional yang mengarah pada penggunaan bersama lahan dan air untuk pertanian.
Biaya diatur terjangkau karena pemerintah melakukan subsidi melalui skema kerja sama dengan negara lain. Ada pula mekanisme untuk menggentarkan negara lain untuk sekadar numpang enak (free rider) meskipun tentu perlu ada harga khusus bagi negara-negara yang memang kurang mampu. Artinya bahwa diplomasi perlu dibedakan pendekatannya untuk penyediaan produk pangan primer atau mentah. Beras, tebu, buah-buahan, sayur-mayur, gandum, biji-bijian, misalnya, adalah produk pangan primer yang menjadi hak semua orang di bumi.
Teknologi untuk mengelola kecukupan panen produk ini sebenarnya tidak bisa dipagari dengan hak paten karena pada akhirnya ini menyangkut kecukupan panen bagi sesama manusia. MP3EI perlu memikirkan konsekuensi dari kebutuhan diplomasi produk primer pertanian ini seperti mekanisme menjaga tata ruang dan wilayah dan kontrak pemanfaatan lahan oleh pihak asing. Ini tidak boleh salah langkah dan jelas bukan semata soal penyediaan infrastruktur fisik seperti fokus MP3EI sekarang.
Kedua, diplomasi perlu mengakomodasi masa depan agrobisnis yang cerah dan menggiurkan.Agrobisnis adalah usaha untuk meningkatkan nilai jual produk-produk pertanian melalui pengolahan dan pengembangan forward linkages (bisnis terkait yang berkembang karena ada agrobisnis, misalnya bisnis kargo, pembuatan kemasan, asuransi). Saat ini agrobisnis cenderung dikonotasikan kuno sehingga ditinggalkan oleh generasi muda.
Padahal negara-negara yang populasinya menua tidak punya cukup sumber daya manusia untuk mengolah lahan pertanian. Ke depan, agrobisnis adalah sektor usaha yang sangat menjanjikan. Maklum, permintaan akan produk pangan pasti meningkat terus seiring bertambahnya populasi dunia. Jadi, ketersediaan pangan sangat bergantung pada kemampuan mengolah produk pangan primer menjadi ragam produk yang sehat, tahan disimpan, bergengsi atau praktis kemasannya, dan bisa dinikmati penduduk dunia di mana pun.
Karenanya ruang agrobisnis perlu digenjot dan bukannya dicekik dengan aturan-aturan nonproteksi atau antisubsidi. Pengembangan agrobisnis membutuhkan investasi besar, terutama di bidang penelitian dan pengembangan (R&D).
Saat ini satu investasi bidang R&D untuk produk pangan umumnya baru menghasilkan profit setelah 15 tahun. Bayangkan bila beban ini harus ditanggung oleh sektor swasta saja. Proyek MP3EI perlu memfasilitasi pengembangan R&D ini, lengkap dengan jejaring sektor swasta yang siap mengembangkan hasil-hasil penelitian menjadi produk-produk pangan bernilai jual tinggi.
Ketiga, Kementerian Negara Lingkungan Hidup serta instansi terkait bidang pelestarian lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) perlu memperbaiki cara komunikasinya agar bisa dipahami dan diterima pelaku agrobisnis dan rakyat biasa. Penantang kita adalah negara seperti Brasil yang sudah menerapkan 100% praktik pertanian dan perkebunan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan hidup.
Standar mereka diakui secara internasional, bahkan oleh Eropa dan Amerika Serikat. Kalau Indonesia masih sekadar defensif ketika dikritik bahwa praktik pertanian atau perkebunannya tidak ramah lingkungan, kita justru akan kehilangan respek dari dunia internasional. Karena fitur Kementerian Negara Lingkungan Hidup memang belum memungkinkannya untuk punya ”kaki tangan” sampai ke tingkat komunitas dan kabupaten/kota, pemerintah pusat perlu membuat jembatan melalui instansi pemerintah lain yang punya ”kaki tangan”.
Ke depan, pertanian dan perkebunan wajib dikelola secara modern.Dalam banyak hal, arahnya adalah intensifikasi modal. Jadi dibutuhkan pembinaan intensif agar petani (besar maupun kecil) tidak mengambil jalan pintas yang tidak ramah lingkungan. MP3EI belum punya roh pembaruan sampai ke arah sana.Padahal masuknya pihakpihak baru ke daerah yang jauh dari pengawasan pemerintah pusat akan berisiko tinggi disalahgunakan, apalagi praktik ramah lingkungan tadi belum mengakar. Arah pandang diplomasi pangan kita perlu lebih jauh ke depan.
Taruhan kita adalah diri kita sendiri di masa tua dan generasi anak kita.Bila MP3EI tidak kita manfaatkan secara optimal untuk mengubah cara pandang dunia, swasta, dan komunitas, hasilnya pun tidak akan optimal. ●
Ada 22 jenis kegiatan yang dibidik, mulai dari pertanian, infrastruktur hingga pertambangan. Wilayah Indonesia bagian timur dan Sumatera termasuk yang sangat dipacu pertumbuhannya. Misalnya membangun bandara di Lombok, menetapkan areal seluas 1.200 hektare di Lombok bagian selatan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus Pariwisata Nasional, membangun jalan dan pelabuhan trans-Maluku,serta membangun jalan tol dan jalur kereta api di Sumatera.
Saya ingin membahas MP3EI dalam hal perbaikan ketersediaan pangan. Dalam cetak biru MP3EI, arah yang dituju adalah ketahanan pangan. Dalam arti, Indonesia akan memanfaatkan keunggulannya untuk meningkatkan daya tawar dalam percaturan politik global terkait pangan, yakni dalam hal jumlah penduduk, jumlah orang muda, surplus jumlah penduduk berusia produktif, letak geografis yang strategis, ketergantungan dunia pada arus pelayaran yang melewati Indonesia, serta pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi.
Indonesia diharapkan berperan di tataran regional maupun internasional untuk menjadi lumbung pangan (dan air). Implisit di dalam target tersebutadalahkeinginanmelakukan swasembada walaupun arahnya bukan menutup diri, melainkan sebagai penyedia pasokan pangan bagi dunia. Sejauh mata memandang, langkah ke sana belum optimal digarap. Pertama karena pendekatan diplomasi yang ada belum mengarah pada penciptaan gerakan tanam bersama di lahan bumi yang jumlahnya makin terbatas.
Lahan diperlakukan seolaholah komoditas yang tak ada habisnya. Jika semua negara dibebaskan untuk secara swadaya melakukan pengelolaan lahan secara eksklusif, dalam kurun waktu 20 tahun mendatang sudah akan bermunculan negaranegara yang lebih miskin dari sekarang. Saat ini sejumlah negara seperti China, India,AS secara agresif mencari lahan- lahan subur di seluruh dunia untuk bercocok tanam dan beternak.
Hasilnya langsung diboyong ke negara masing-masing; penduduk setempat yang bercocok tanam dan beternak hanya bisa gigit jari. Kecenderungan saling rebut lahan ini tidak bisa distop dengan skema-skema kerja sama internasional yang ada sekarang karena yang sekarang digarap adalah kerja sama perdagangan, pembuatan lumbung bersama,larangan proteksi, dan sejenisnya.
Semuanya tidak menyentuh esensi pangan sebagai barang publik (public goods). Karena lahan dan air adalah hak semua umat manusia, sebenarnya penggunaan barang tersebut oleh pihak lain tidak bisa dilarang (non-excludable) dan tidak boleh mengurangi kenikmatan pihak lain ketika menggunakan barang tersebut (non-rivalry). Artinya, perlu ada skema kerja sama multilateral dan regional yang mengarah pada penggunaan bersama lahan dan air untuk pertanian.
Biaya diatur terjangkau karena pemerintah melakukan subsidi melalui skema kerja sama dengan negara lain. Ada pula mekanisme untuk menggentarkan negara lain untuk sekadar numpang enak (free rider) meskipun tentu perlu ada harga khusus bagi negara-negara yang memang kurang mampu. Artinya bahwa diplomasi perlu dibedakan pendekatannya untuk penyediaan produk pangan primer atau mentah. Beras, tebu, buah-buahan, sayur-mayur, gandum, biji-bijian, misalnya, adalah produk pangan primer yang menjadi hak semua orang di bumi.
Teknologi untuk mengelola kecukupan panen produk ini sebenarnya tidak bisa dipagari dengan hak paten karena pada akhirnya ini menyangkut kecukupan panen bagi sesama manusia. MP3EI perlu memikirkan konsekuensi dari kebutuhan diplomasi produk primer pertanian ini seperti mekanisme menjaga tata ruang dan wilayah dan kontrak pemanfaatan lahan oleh pihak asing. Ini tidak boleh salah langkah dan jelas bukan semata soal penyediaan infrastruktur fisik seperti fokus MP3EI sekarang.
Kedua, diplomasi perlu mengakomodasi masa depan agrobisnis yang cerah dan menggiurkan.Agrobisnis adalah usaha untuk meningkatkan nilai jual produk-produk pertanian melalui pengolahan dan pengembangan forward linkages (bisnis terkait yang berkembang karena ada agrobisnis, misalnya bisnis kargo, pembuatan kemasan, asuransi). Saat ini agrobisnis cenderung dikonotasikan kuno sehingga ditinggalkan oleh generasi muda.
Padahal negara-negara yang populasinya menua tidak punya cukup sumber daya manusia untuk mengolah lahan pertanian. Ke depan, agrobisnis adalah sektor usaha yang sangat menjanjikan. Maklum, permintaan akan produk pangan pasti meningkat terus seiring bertambahnya populasi dunia. Jadi, ketersediaan pangan sangat bergantung pada kemampuan mengolah produk pangan primer menjadi ragam produk yang sehat, tahan disimpan, bergengsi atau praktis kemasannya, dan bisa dinikmati penduduk dunia di mana pun.
Karenanya ruang agrobisnis perlu digenjot dan bukannya dicekik dengan aturan-aturan nonproteksi atau antisubsidi. Pengembangan agrobisnis membutuhkan investasi besar, terutama di bidang penelitian dan pengembangan (R&D).
Saat ini satu investasi bidang R&D untuk produk pangan umumnya baru menghasilkan profit setelah 15 tahun. Bayangkan bila beban ini harus ditanggung oleh sektor swasta saja. Proyek MP3EI perlu memfasilitasi pengembangan R&D ini, lengkap dengan jejaring sektor swasta yang siap mengembangkan hasil-hasil penelitian menjadi produk-produk pangan bernilai jual tinggi.
Ketiga, Kementerian Negara Lingkungan Hidup serta instansi terkait bidang pelestarian lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) perlu memperbaiki cara komunikasinya agar bisa dipahami dan diterima pelaku agrobisnis dan rakyat biasa. Penantang kita adalah negara seperti Brasil yang sudah menerapkan 100% praktik pertanian dan perkebunan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan hidup.
Standar mereka diakui secara internasional, bahkan oleh Eropa dan Amerika Serikat. Kalau Indonesia masih sekadar defensif ketika dikritik bahwa praktik pertanian atau perkebunannya tidak ramah lingkungan, kita justru akan kehilangan respek dari dunia internasional. Karena fitur Kementerian Negara Lingkungan Hidup memang belum memungkinkannya untuk punya ”kaki tangan” sampai ke tingkat komunitas dan kabupaten/kota, pemerintah pusat perlu membuat jembatan melalui instansi pemerintah lain yang punya ”kaki tangan”.
Ke depan, pertanian dan perkebunan wajib dikelola secara modern.Dalam banyak hal, arahnya adalah intensifikasi modal. Jadi dibutuhkan pembinaan intensif agar petani (besar maupun kecil) tidak mengambil jalan pintas yang tidak ramah lingkungan. MP3EI belum punya roh pembaruan sampai ke arah sana.Padahal masuknya pihakpihak baru ke daerah yang jauh dari pengawasan pemerintah pusat akan berisiko tinggi disalahgunakan, apalagi praktik ramah lingkungan tadi belum mengakar. Arah pandang diplomasi pangan kita perlu lebih jauh ke depan.
Taruhan kita adalah diri kita sendiri di masa tua dan generasi anak kita.Bila MP3EI tidak kita manfaatkan secara optimal untuk mengubah cara pandang dunia, swasta, dan komunitas, hasilnya pun tidak akan optimal. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar