Jumat, 25 Mei 2012

Mengukur Calon Presiden


Mengukur Calon Presiden
Donny Gahral Adian ; Dosen Filsafat Politik Universitas Indonesia
SUMBER :  KOMPAS, 25 Mei 2012


Pemilu masih dua tahun lagi. Namun, Republik sudah bergunjing tentang presiden baru. Beberapa nama pun mulai berseliweran di ruang publik. Beberapa adalah tokoh lama yang disokong partai. Beberapa lain tokoh-tokoh baru ekstrapartai, tetapi dianggap mumpuni. Berbagai premis pun disorongkan untuk menopang para tokoh tersebut.

Sebagian besar premis berbunyi, ”kita perlu presiden yang prorakyat, tegas, dan berintegritas.” Premis itu muncul sebagai reaksi balik terhadap pola kepemimpinan yang ada sekarang. Pendeknya, semua orang mencari antitesis. Dan, semua calon akan menyesuaikan posturnya dengan baju antitesis tersebut. Persoalannya, ukuran politik belum tuntas dibicarakan. Semua bicara harapan, bukan ukuran.

Fakta dan Borgol

Sebelum bicara panjang lebar tentang ukuran politik, perlu dicermati dulu kondisi faktual apa yang menghadang presiden mendatang. Saya mencermati paling sedikit empat kondisi faktual yang harus diselesaikan. Pertama adalah korupsi. Daya jelajah korupsi sudah merasuk ke ruang yang tidak terbayangkan sebelumnya.

Korupsi bukan lagi monopoli pejabat tinggi, tetapi juga pegawai rendahan yang memiliki kesempatan. Belum lagi proses rekrutmen politik yang sarat kapital membuat sebagian besar kepala daerah terjerat korupsi.

Kedua adalah politik anggaran yang keliru. Anggaran rutin memakan sebagian besar porsi APBN kita. Biaya perjalanan dinas terus menanjak dari tahun ke tahun. Biaya untuk birokrasi terus membengkak karena pemerintah saat ini senang membuat komisi dan satuan tugas, sementara infrastruktur membutuhkan investasi yang tidak sedikit. Alhasil, utang dijadikan solusi selain investasi swasta.

Ketiga adalah konflik horizontal. Konflik horizontal di Republik ini diperparah oleh keterlibatan kekuatan-kekuatan vertikal. Konflik antara rakyat dan pengusaha perkebunan mengenai hak tanah sebagian besar dimenangi penguasa kapital. Sebab, pengusaha banyak menabur budi pada kekuatan-kekuatan vertikal di daerahnya.

Keempat adalah kesenjangan ekonomi. Indeks gini kita saat ini adalah 36,8. Artinya, kesenjangan ekonomi kita hanya berbeda sekitar 14 poin dengan negara-negara sub-Sahara (indeks gini 50). Dengan demikian, perekonomian kita masih berorientasi pada pertumbuhan, tetapi miskin pemerataan.

Semua calon presiden pasti berjanji menyelesaikan kondisi faktual tersebut dengan caranya masing-masing. Persoalannya, semua tidak sadar tangan politiknya kelak terborgol berbagai aturan main yang didesain sebelumnya. Siapa pun yang menjadi presiden Republik ini kelak tidak dapat mengelak dari aturan main penanaman modal asing (Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing ).

Aturan main tersebut menyebutkan bahwa modal asing yang masuk tidak lagi dibatasi. Kepemilikan asing terhadap aset nasional bisa mencapai 100 persen. Hak guna usaha pun dapat berumur 94 tahun dan dapat diperpanjang sampai 35 tahun. Selain itu, UU No 22/2001 tentang Migas pun mengikat tangan presiden kelak dalam menyediakan bahan bakar murah bagi rakyat. Sebab, UU tersebut membuka peluang besar bagi asing untuk menguasai sektor migas kita. Presiden pun kelak akan menjadi bulan-bulanan para makelar migas yang diuntungkan dengan kenaikan harga BBM.

Radikalitas

Dalam kondisi tangan terikat dan medan faktual yang berat, ukuran apa yang pas dikenakan pada presiden mendatang? Bagi saya ukuran-ukuran etis berada di urutan berikut. Ukuran yang menjadi acuan utama haruslah ukuran politik.

Politik terbelah menjadi dua jenis dalam literatur politik kontemporer. Pertama, politik sebagai ketertiban. Politik adalah struktur, prosedur, aturan main impersonal yang menentukan bulat lonjong kedaulatan. Kedua adalah politik sebagai keputusan. Politik adalah keputusan yang mengecualikan diri dari segala tertib dan struktur demi keselamatan Republik. Politik bukan soal struktur melainkan keputusan radikal yang mengubah koordinat ketidakmungkinkan. Politik adalah aksi eksistensial, bukan kontrak sosial.

Saya berkiblat pada politik jenis kedua. Sebab itu, ukuran politik yang harus diajukan kepada presiden kelak adalah radikalitas. Radikalitas bukan seperti yang dibayangkan orang selama ini. Radikalitas bukan sikap antipati terhadap tertib dan aturan yang menjurus kekerasan. Radikalitas adalah ukuran terhadap keputusan siapa pun yang menggenggam kedaulatan. Semakin sebuah keputusan berani mengecualikan diri dari tertib dan struktur, semakin radikal keputusan itu.

Tertib dan struktur cenderung konservatif dan melumpuhkan kebaruan. Sementara keputusan justru mendobrak konservatisme dan melahirkan ”yang lain”. Almarhum Gus Dur, misalnya. Ketika menjadi presiden, beliau membuat keputusan yang mengecualikan diri dari struktur dan tertib keagamaan di Republik ini. Beliau memberi legalisasi pada ajaran Konghucu untuk menjadi agama resmi. Itu sebuah keputusan radikal yang tidak berani dijajaki oleh presiden sebelumnya.

Radikalitas memiliki tiga turunan etis. Pertama adalah keberanian. Keberanian bagi saya adalah kategori etis. Sebab, ”yang baik” sering kali harus berupa sebuah lompatan dari kebiasaan. Kita, misalnya, tidak biasa berbicara mengenai nasionalisasi perusahaan asing. Kita terbiasa berbicara tentang kontrak karya, divestasi, dan modal asing. Ukuran etis ini sayangnya tidak dimiliki pemimpin kita saat ini. Kita hanya bisa melongo dan terkagum-kagum menyaksikan bagaimana presiden perempuan bernama Cristina Fernandez menasionalisasi perusahaan minyak Spanyol bernama Repsol. Cristina memang seorang perempuan. Namun, nyali politik yang dimilikinya setingkat dengan panglima perang.

Kedua adalah kejujuran. Kejujuran adalah satunya kata dengan perbuatan. Banyak calon yang berani menjanjikan, tetapi takut mengaktualisasikannya. Kata dan perbuatan orang semacam ini selalu bersimpang jalan. Dia yang menjanjikan ekonomi rakyat, tetapi terus menaikkan harga BBM jelas tidak jujur.

Dia yang menjanjikan perlindungan terhadap minoritas, tetapi bungkam ketika ada kekerasan juga tidak masuk hitungan. Ketiga adalah keadilan. Keadilan adalah memberikan orang lain apa yang menjadi haknya.

Presiden kelak harus berani mengembalikan hak-hak rakyat atas tanah yang dirampas oleh para penguasa kapital. Presiden kelak harus berani menjalankan sistem jaminan sosial nasional yang menjamin hak sosial ekonomi rakyat dari lahir sampai liang lahat.

Pada akhirnya, kita sedang menunggu presiden yang memiliki watak kenegarawanan. Kenegarawanan, pendeknya, adalah sikap tanpa kompromi ketika harkat dan martabat rakyat yang dipimpinnya sedang dipertaruhkan. Seorang negarawan tidak akan mendukung pemberian gelar doktor kehormatan kepada pemimpin sebuah negara tempat warganya dipancung.

Seorang negarawan tidak akan menjalankan politik luar negeri ”malu-malu” ketika teritori Republik sedang dipertaruhkan. Kenegarawanan tidak diukur berdasarkan usia, etnis, atau jender, tetapi nyali dan keberpihakan. Semoga kita menemukan presiden sedemikian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar