Jumat, 25 Mei 2012

Grasi Pro-Terorisme Narkoba


Grasi Pro-Terorisme Narkoba
Siti Marwiyah ; Dekan Fakultas Hukum Universitas dr Soetomo Surabaya;
Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
SUMBER :  JAWA POS, 25 Mei 2012


TINDAK kejahatan serius atau istimewa yang tak kalah dahsyat bila dibandingkan dengan terorisme adalah narkoba. Pendistribusi, pebisnis, atau pengomoditas narkotika dan zat-zat adiktif (napza) merupakan penyalah guna yang layak digolongkan sebagai teroris. Pasalnya, apa yang diperbuat tidak ubahnya mengesahkan dan memperluas pembunuhan dan pembantaian atau penghancuran masal manusia Indonesia, khususnya komunitas generasi muda.

Schapelle Leigh Corby, yang divonis 20 tahun penjara di PN Denpasar, Bali, pada 27 Mei 2005 dan dikuatkan MA lewat putusan kasasi, mendapat pemotongan hukuman lima tahun. Inilah grasi pertama yang dikeluarkan presiden untuk terpidana narkoba. Corby dibekuk di Bandara Ngurah Rai, Denpasar, saat menyelundupkan 4,1 kg mariyuana alias ganja pada 8 Oktober 2004. Kini dia tinggal menjalani tujuh tahun hidup di lapas. Belum lagi bila ada diskon remisi.

Pemberian grasi itu disokong apologi politik bahwa pemerintah Australia juga memberikan banyak pengampunan terhadap WNI yang melakukan kejahatan di sana. Ini layak dipertanyakan lebih lanjut. Pasalnya, Menteri Luar Negeri Australia Bob Carr membantah adanya kesepakatan barter tersebut. Lantas ada apa dengan pemberian grasi ini?

Jika menimbang ancaman "terorismeÓ dari pebisnis napza, jelas pemberian grasi Presiden SBY ini sebagai bentuk penganakemasan atau pengistimewaan warga negara asing yang terlibat penyalahgunaan narkoba. Selain itu, langkah ini sebagai pembuka jalur liberalisasi "terorismeÓ di sektor peredaran atau perdagangan napza. Para penyalah guna napza dari dalam negeri menempati strata "warga kelas duaÓ (underprivilege).

Meski konstitusional, pemberian grasi untuk narapidana narkoba itu tak ubahnya bagian dari "kekalahanÓ SBY dalam menghadapi kekuatan asing. Mereka memang mengintervensi atau minimal bereksperimentasi dalam memengaruhi independensi hukum di Indonesia.

Negara-negara lain sangat paham terhadap kondisi penegakan hukum (law enforcement) di Indonesia yang karut-marut atau "lembekÓ dalam independensi. Mereka pun mencoba meminta atau mengajukan sedikit bargaining. Dan terbukti, pemerintah kita tak berkutik.

Yang lebih ironis, sebelum mereka meminta atau melakukan upaya yuridis-poltik, pemerintah kita sudah menunjukkan politik "karitasÓ (kedermawanan) dengan cara memberikan kompensasi (keringanan) sanksi hukuman. Seolah-olah apa yang dilakukan pemerintah (negara) ini benar-benar merepresentasi kepentingan kemanusiaan (narapidana).

Sisi kemanusiaan apa yang patut diterima Corby? Anak-anak muda Indonesia sudah demikian banyak yang tercerabut sisi kemanusiaannya akibat para penjahat napza. Itu jelas paradoksal dengan sikap pemerintah selama ini, yang terkenal lambat atau kurang cekatan saat ada sejumlah orang Indonesia di luar negeri yang tersandung masalah hukum.

Problem TKI bermasalah hukum, misalnya. Tak sedikit jumlahnya yang tak mendapatkan advokasi memadai dari pemerintah. Akibatnya, kisah mereka berakhir mengenaskan dengan menjalani hukuman mati atau sanksi hukuman berkadar pemberatan.

Alasan kemanusiaan yang disampaikan presiden di balik pemberian grasi merupakan "yurisprudensiÓ politik bagi setiap kandidat pengedar napza ke Indonesia. Mereka akan menjadikan Indonesia sebagai surga "terorismeÓ di kalangan pengedar atau pebisnis napza.

Di Indonesia saat ini hampir tak ada satu kelurahan pun yang bebas dari ancaman narkoba. Sebanyak 3,2 juta penduduk di Indonesia menyalahgunakan narkoba dan 15.000 orang mati sia-sia setiap tahun atau 40 orang setiap hari. Selain mahasiswa dan pelajar, penyalahgunaan narkoba dilakukan oleh rumah tangga, politisi, dan aparat pemerintahan dan keamanan (yang mestinya penegak hukum). Bahkan, sipir penjara yang mestinya menjaga napi atau tahanan narkoba banyak yang terlibat. Akibat kecanduan narkoba, mereka bisa terkena penyakit AIDS, paru-paru, jantung, hepatitis, dan juga mati overdosis.

Berdasar data dari BNN (Badan Narkotika Nasional), narkoba di Indonesia dipasok dari Malaysia, Afrika, Thailand, Vietnam, dan banyak negara lain yang menjadi produsen narkoba bagi negara ini. Jumlah penduduk yang mencapai 240 juta jiwa menjadikan Indonesia merupakan pasar basah atau 2,2 persen adalah konsumen narkoba. Jumlah ini diperkirakan naik menjadi 2,8 persen atau 6 juta jiwa.

Kasus yang terungkap tersebut hanya sebagian kecil. Tidak banyak keluarga (orang tua) yang bernyali mau melaporkan anak-anaknya yang terjerumus dalam penyalahgunaan napza, baik sebagai pengedar maupun pengguna. Selain alasan ancaman sanksi yuridis, mereka menjauhi kemungkinan adanya publikasi yang menjatuhkan citra keluarga.

Senyatanya, negeri ini sudah benar-benar menjadi surganya para pebisnis napza. Ketika peran penegakan hukum atau sanksi hukumannya melemah, ini jelas mengabsolutkan Indonesia sebagai negeri yang dipermainkan dan dijadikan "keranjang sampahÓ kekuatan asing.

Apa mau dikata, grasi telanjur dipersembahkan kepada Corby. Apakah kita masih bisa berharap negara akan tegas terhadap pengedar napza, dari mana pun asal warga negaranya. Meskipun, di samping ancaman globalisasi pengedaran napza yang semakin mengerikan dan meluas-mencengkeram, kecuali negara memang sudah menoleransi mengakselerasinya "pembantaian” generasi muda. Sungguh mengerikan Indonesia ke depan jika sampai generasinya "terbantai” moral, psikologis, dan ketahanan fisiknya sejak dini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar