Jumat, 25 Mei 2012

Ekonomi Keberatan Subsidi


Ekonomi Keberatan Subsidi
Sri Adiningsih ; Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta
SUMBER :  SINDO, 25 Mei 2012


Gonjang-ganjing kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sudah berlalu, karena sampai akhir tahun sepertinya pemerintah tidak akan bisa menaikkan harga BBM. Padahal, besarnya subsidi BBM dibatasi oleh APBN, demikian juga defisit APBN juga sudah ditentukan.

Pemerintah memiliki anggaran yang terbatas untuk dialokasikan bagi subsidi BBM, padahal harga BBM tidak dapat dinaikkan. Sekarang ini gonjang-ganjingnya tentang bagaimana kekurangan subsidi dapat ditutup, sehingga perdebatan mekanisme pembatasan pembelian BBM bersubsidi menjadi topik berbagai diskusi akhir-akhir ini. Apa pun kebijakan yang diambil, yang jelas pemerintah tidak akan dapat menaikkan harga BBM bersubsidi hingga akhir tahun 2012.

Padahal, defisit APBN dan besaran subsidi BBM sudah dipatok, dan pembelian BBM bersubsidi oleh masyarakat masih terus meningkat, sehingga manuver yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah pembatasan pembelian BBM bersubsidi oleh masyarakat, menggunakan anggaran lainnya untuk menutup kekurangan subsidi BBM dengan persetujuan DPR, membeli BBM dari sumbernya agar lebih murah, dan/ atau meningkatkan program konversi ke gas atau sumber energi lainnya.

Apa pun yang dilakukan pemerintah tetap tidak mudah dan berdampak pada masyarakat secara langsung ataupun tidak langsung. Pilihan yang tersedia bagi pemerintah memang terbatas, harga BBM internasional yang cenderung menurun, membuat beban pemerintah berkurang. Namun di sisi lain, lifting minyak bumi mentah yang ternyata sekitar 10% di bawah asumsi APBN memberikan tekanan yang besar pada sisi penerimaan negara juga.

Secara umum,beban anggaran ataupun subsidi BBM akan semakin berat.Hal ini akan membuat kemampuan pemerintah untuk mengalokasikan anggaran untuk berbagai kepentingan lainnya, termasuk mengantisipasi ancaman krisis ekonomi Eropa semakin berkurang.

Stimulus Fiskal Sulit?

Dampak krisis ekonomi Eropa mulai terasa di Indonesia, sehingga volatilitas pasar keuangan yang dilihat dari IHSG semakin meningkat, demikian juga nilai rupiah melemah. Bahkan, laju pertumbuhan ekonomi pada kuartal I turun menjadi 6,3%, lebih rendah dari laju pertumbuhan ekonomi 6,5% pada 2011. Padahal, dampak krisis ekonomi Eropa akan semakin terasa pada beberapa kuartal ke depan, karena sampai sekarang pun belum jelas solusi bagi permasalahan krisis ekonomi Yunani.

Bahkan, ada kemungkinan Yunani akan keluar dari Euro, yang akan membawa dampak yang besar pada ekonomi global. Selain itu, laju pertumbuhan ekonomi China dan India sudah terpangkas. Demikian juga kawasan Eropa yang tidak tumbuh bisa mengalami kontraksi jika kondisi memburuk.Akibatnya, ekonomi global sekarang ini menghadapi ketidakpastian yang besar, volatilitas meningkat, dan risiko semakin besar.

Indonesia yang dalam ekonomi global merupakan ekonomi kecil dan terbuka menghadapi ancaman yang lebih besar jika volatilitas ekonomi global semakin besar. Stabilitas ekonomi makro akan cenderung lebih mudah terguncang, apalagi dana jangka pendek yang nangkring di Indonesia besar, membuat volatilitas pasar keuangan semakin besar. Lihat saja IHSG yang semakin tinggi volatilitasnya dan nilai rupiah yang semakin melemah.

Inflasi tahunan hingga kini masih terjaga di bawah 5%.Namun jika kebijakan pembatasan BBM bersubsidi dijalankan,inflasi diperkirakan akan meningkat. Dalam kondisi ekonomi global penuh ketidakpastian pada saat ini, menjaga stabilitas ekonomi makro semakin tidak mudah. Padahal, instabilitas ekonomi makro akan berdampak negatif pada laju pertumbuhan ekonomi. Selain itu, melemahnya pertumbuhan ekonomi negara -negara tujuan ekspor kita juga akan melemahkan pertumbuhan ekonomi kita.

Oleh karena itu, tekanan pada pertumbuhan ekonomi pada kuartal-kuartal mendatang akan meningkat, paling tidak pada kuartal I/2012 ini saja laju pertumbuhan ekonomi sudah turun. Merosotnya pertumbuhan ekonomi akan membuat lapangan kerja yang tercipta juga semakin mengecil. Ancaman volatilitas ekonomi makro dan pelemahan pertumbuhan ekonomi tersebut harus diantisipasi agar dampaknya dapat diminimalisasi.

Namun, itu semua perlu anggaran ataupun dana yang besar.Ingat pada 2009 yang lalu Indonesia dan mayoritas negara di dunia menyediakan stimulus fiskal dan juga ekspansi moneter serta menjaga stabilitas pasar keuangan ataupun ekonomi makro dengan biaya yang mahal. Karena itu, dampak krisis finansial global di Indonesia minimal. Saat ini Indonesia mestinya juga melakukan hal yang sama, agar dampak dari krisis ekonomi Eropa dapat diminimalisasi.

Sayangnya, kemampuan fiskal untuk memberikan stimulus fiskal ataupun menopang stabilitas ekonomi makro semakin terbatas.Apalagi jika subsidi BBM dan listrik terus membengkak hingga di atas Rp300 triliun (hampir 20% dari belanja negara), stimulus fiskal jelas tidak akan dapat dilakukan.

Bahkan, untuk menutup membengkaknya subsidi saja pemerintah harus mengalihkan berbagai pengeluaran lainnya agar defisit APBN tidak melebihi 2,3% PDB. Indonesia tidak memiliki dana yang memadai seperti tahun 2009, untuk menghadapi ancaman krisis ekonomi Eropa.

Untuk itu, pemerintah dan DPR perlu kerja lebih keras dengan membuat prioritas anggaran yang lebih tajam agar keuangan negara lebih dapat menjaga stabilitas ekonomi makro dan laju pertumbuhan ekonomi tidak banyak terpangkas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar