Jumat, 04 Mei 2012

Di Balik Survei Optimisme Konsumen


Di Balik Survei Optimisme Konsumen
Jusman Dalle; Analis Society Reserach and Humanity Development (Serum) Institute
SUMBER : JAWA POS, 04 Mei 2012


KABAR baik kembali menyapa. Indonesia menjadi negara dengan konsumen paling optimistis ketiga di dunia. Demikian kesimpulan temuan lembaga survei global, Nielsen, bertajuk The Nielsen Global Survey of Consumer Confidence and Spending Intentions yang dirilis pada 1 Mei 2012. Indeks optimisme konsumen Indonesia memperoleh angka 118. Sementara urutan pertama dan kedua ditempati India dan Arab Saudi dengan indeks masing-masing 123 dan 119.

Hasil survei itu juga mengungkap bahwa konsumen Indonesia lebih optimistis dibanding beberapa negara maju dan emerging market yang belakangan justru dihantui badai krisis. Sebanyak 72 persen konsumen Indonesia mengakui bahwa keuangan pribadi mereka dalam kondisi baik dalam 12 bulan mendatang. Bahkan, 14 persen yakin kondisi keuangannya sangat luar biasa. Sementara Amerika Serikat dan Tiongkok masing-masing hanya berada pada indeks 92 dan 110. Begitu pula Brazil yang hanya 63 persen konsumennya menyatakan kondisi keuangan mereka baik.

Secara regional, sebagaimana dilansir www.nielsen.com, para responden yang percaya mereka berada dalam resesi atau penurunan yang tajam secara umum berada di Asia-Pasifik dengan tingkat optimisme 44 persen dibanding pada kuartal sebelumnya yang mencapai 52 persen, Amerika Utara 80 persen dibandingkan dengan kuartal sebelumnya 86 persen, dan Eropa 72 persen dibandingkan kuartal sebelumnya 74 persen. Di region lain, hanya 74 persen konsumen di Afrika dan 48 persen konsumen di Amerika Latin yang optimistis.

Survei Nielsen dilakukan pada 10-27 Februari 2012 terhadap lebih dari 28.000 konsumen online di 56 negara di kawasan Asia-Pasifik, Eropa, Amerika Latin, Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Utara. Termasuk 502 responden di Indonesia.

Kontribusi Kelas Menengah

Fenomena tumbuhnya middle class (kelas menengah) merupakan bagian terintegrasi dari optimisme konsumen Indonesia yang sekaligus dapat dibaca sebagai opportunity (peluang) untuk semakin mengakselerasi pertumbuhan ekonomi nasional. Sebagaimana data Bank Dunia (2011), konsumen menengah Indonesia dengan pengeluaran USD 2-20 per hari menunjukkan angka yang sangat fantastis.

Sebanyak 134 juta jiwa, atau lebih dari 50 persen penduduk Indonesia berada dalam lapisan baru atau diistilahkan Consumer 3000 oleh Centre For Middle Class Consumer. Jika dikaitkan dengan survei teranyar Nielsen di atas, middle class inilah sesungguhnya menampakkan wajah optimisme konsumen Indonesia.

Mereka menjadi driver dalam pertumbuhan tersebut karena berperan strategis, baik sebagai konsumen berdaya beli tinggi maupun peran ganda mereka sebagai entrepreneur dan eksekutif muda yang memiliki trickle down effect bagi lingkungannya, turut "menyeret" orang lain masuk ke dalam masyarakat baru tersebut.

Saat ini, menurut majalah The Economist edisi 12 tahun 2009, populasi kelas menengah berjumlah 1,8 miliar orang dan 54 persen masih berada di Amerika dan Eropa. Merekalah yang menjadi denyut jantung pertumbuhan ekonomi Amerika dan Eropa di masa lampau. Namun, problem ekonomi di dua kawasan tersebut diperkirakan mengoreksi angka kelas menengah hingga 20 tahun mendatang. Jumlahnya turun menjadi hanya 17 persen.

Karakter dan gaya hidup middle class adalah konsumtif serta tak mau ketinggalan tren dalam memenuhi kebutuhan primer, sekunder, dan bahkan kebutuhan luks mereka. Misalnya, model pakaian (fashion) terbaru, gadget dengan perangkat aplikasi yang komplet, selera otomotif perkotaan atau tren liburan di luar negeri. Singkatnya, kepala kelas menengah ini diisi oleh "bagaimana kita menghabiskan uang".

Dalam paradigma ekonomi pertumbuhan, menjaga daya beli yang wujud dalam konsumerisme merupakan satu keharusan, namun tidak boleh berlebihan. Contoh konsumsi berlebihan bahkan di luar kemampuan membayar sehingga menyebabkan kredit macet adalah di bidang properti (subrime morgage). Akhirnya terjadilah krisis 2008 yang melanda Amerika. Bahkan, banyak pakar seperti Kishore Mahbubani dari Lee Kuan Yew School of Public Policy, Nouriel Roubini dari Harvard University yang memprediksi bahwa akibat resesi 2008 adalah berakhirnya hegemoni negeri Paman Sam tersebut.

Ekonomi Ribawi

Secara teologis, larangan konsumsi berlebihan ini bisa dilacak di dalam ajaran agama Islam. Yaitu, pada surat Al Isra' ayat 28 yang melarang mubazir atau berlebihan dalam konsumsi. Allah SWT berfirman "Sesungguhnya mubazir atau perilaku berlebihan itu adalah saudara setan".

Kerap kali, tingkat konsumsi tinggi tapi tidak disertai kemampuan membayar secara tunai memaksa untuk berutang. Apalagi dengan godaan tawaran kredit yang tentu berbunga. Akibatnya, ketika tidak sanggup membayar utang yang jatuh tempo, terjadilah NPL (kredit macet) yang efeknya berantai. Jika terjadi dalam skala masif, default dan kebangkrutan mengintai.

Itulah hikmahnya mengapa di ayat yang lain Allah SWT juga melarang bertransaksi dengan riba. Di dalam Surat Al Baqarah ayat 275 diperingatkan bahwa orang-orang yang makan riba tidak akan bisa berdiri kecuali seperti berdirinya orang gila yang kerasukan setan. Secara makro, gambaran kerasukan setan itu kita qiyaskan (komparasikan) dengan limpungnya ekonomi Amerika saat ini yang praktik ekonominya tak lepas dari utang dan riba.

Untuk menjaga agar kelas menengah Indonesia tidak terarus dalam budaya konsumtif berlebihan dan destruktif sehingga menyebabkan bubble economic yang bisa meletus kapan saja, perlu kemampuan manajemen keuangan. Budaya menabung maupun investasi serta berbelanja secara proporsional perlu dikampanyekan. Apalagi baru 68 persen konsumen Indonesia yang memilih menabung dan hanya 27 persen yang berinvestasi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar