Selasa, 07 Februari 2012

Refleksi Revolusi Mesir


Refleksi Revolusi Mesir
A.M. Sidqi, DIPLOMAT RI DI MESIR
Sumber : REPUBLIKA, 6 Februari 2012



Sejak digelindingkan setahun yang lalu oleh para pemuda di lapangan Tahrir, gelom bang perubahan di Mesir telah menuai hasil yang berarti. Pengunduran diri Presiden Mubarak (11/2/11), pengadilan Mubarak dan anak-anaknya, pembebasan tahanan-tahanan politik, dan penyelenggaraan pemilu legislatif (Majelis Shaab) yang bebas dan transparan, serta pencabutan “status darurat“ yang berlaku sejak 1981 oleh Dewan Militer. Pada peringatan setahun revolusi 25 Januari, rakyat kembali berkumpul dan menyerukan pengalihan kekuasaan dari militer ke sipil. Namun, Dewan Militer Mesir masih menunda penyerahan kekuasaan ke pemerintahan sipil hingga pemilihan presiden pada Juni mendatang.

Mencermati revolusi Mesir, sifat dari krisis politik tersebut memiliki kemiripan dengan krisis politik yang melanda Indonesia pada 1997--1998. Diawali dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru, gerakan reformasi terjaga momentumnya dengan menjamin kebebasan pers, pembebasan tahanan-tahanan politik, penyelenggaraan pemilu 1999, serangkaian amandemen UUD 1945, otonomi daerah, serta berbagai perbaikan kebijakan dan regulasi.

Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga dan berpenduduk Muslim terbesar di dunia, pengalaman Indonesia dalam dasawarsa pertama reformasinya telah diakui oleh masyarakat internasional sebagai suatu keberhasilan dalam mentransformasikan diri dari negara otoritarian menjadi negara full-fledged democracy. Oleh karena itu, Indonesia kiranya dapat berbagi pengalaman dalam pengelolaan proses transisi politik kepada Mesir dan negara-negara yang dilanda Arab Spring, agar guliran transisi politik berujung demokratis serta lekas memulihkan keamanan dan perdamaian.

Intermestik
Di sisi lain, penyelenggaraan diplomasi dan hubungan luar negeri tidak hanya ditujukan untuk memproyeksikan kepentingan kita ke luar negeri, tetapi juga untuk mengomunikasikan berbagai perkembangan di dunia internasional kepada masyarakat di dalam negeri (intermestic) (Putnam, 1998). Oleh karena itu, terdapat kepentingan yang menonjol untuk memahami perubahan di Mesir dan kawasan yang dilanda Arab Spring dalam menghadapi berbagai isu domestik dan demikian pula sebaliknya. Dengan memperhatikan secara saksama dimensi intermestik itu, terdapat beberapa pelajaran yang dapat dipetik Indonesia dari revolusi Mesir.

Pertama, mengutamakan konstitusi sebagai motor dari setiap perubahan (constitutional engineering). Sengkarut krisis politik di Mesir semakin rumit karena perpindahan kekuasaan (transfer of power) berlangsung tidak sejalan dengan Konstitusi 1971. Menurut Konstitusi 1971, transfer of power seharusnya diberikan dari presiden kepada wapres atau ketua mahkamah agung yang bertanggung jawab untuk menyelenggarakan pemilu dalam 60 hari.
 
Namun yang terjadi, kini kekuasaan di Mesir dipegang oleh Panglima Militer Marsekal Husein Tantawi. Dengan kata lain, Dewan Militer berkuasa di Mesir tidak berbekal legitimasi politik dari konstitusi, tetapi dari jalanan.

Sementara itu, perkembangan model sistem hukum abad ke-21 di berbagai belahan dunia menunjukkan sistem hukum dunia bergerak menuju supremasi konstitusi. Proses reformasi Indonesia yang terus mengutamakan supremasi konstitusi dan constitutional engineering berhasil mengantarkan Indonesia membangun dan mempertahankan pemerintahan demokratis yang stabil hingga hari ini. UUD 1945, sebagai salah satu pilar NKRI, harus terus dipertahankan sebagai landasan dari semua perubahan dan aktivitas kenegaraan di Indonesia.

Kedua, merevitalisasi pendidikan kewarganegaraan (civic education) melalui media sosial. Terinspirasi dari revolusi Jasmine di Tunisia, revolusi 25 Januari di Mesir pun “dirancang“ dan digerakkan melalui jejaring social, seperti facebook dan twitter. Tidak hanya memberikan “ruang“ sarana ekspresi, komunikasi, dan koordinasi di antara para demonstran di dalam negeri, tetapi je jaring sosial juga menjadi sarana bertukar informasi dengan para simpatisan di luar negeri. Tidak terelakkan bahwa gerakan “youth-led“ dan “technology-enabled“ telah menjadi gebrakan politik paling dramatis setelah runtuhnya Tembok Berlin.

Lebih jauh lagi, media sosial merupakan salah satu fenomena globalisasi yang telah membangun jembatan dialog antarmanusia, dengan tanpa mengenal strata dan kelas dalam masyarakat, serta melintas batas negara dan wilayah. Jembatan dialog tersebut secara langsung dan tidak langsung telah pula mengembangkan demokrasi dan “civic education“, di mana nilai-nilai (values) dan kebajikan-kebajikan (virtues) saling dipersamakan, diselaraskan, dan juga diperbedakan.

Di Indonesia, gerakan berbasis jejaring sosial juga telah menun jukkan pengaruhnya yang signifikan, seperti pada kasus Prita dan Bibit-Chandra. Sebagai negara dengan pengguna facebook terbesar kedua dan twitter terbesar ketiga, pemuda Indonesia dapat dikatakan paling terhubung (most connected) di dunia. Maka itu, fenomena Arab Spring menyadarkan bahwa Indonesia sangat berpeluang besar untuk menjadikan teknologi informasi sebagai wahana revitalisasi civic education, yakni sosialisasi, diseminasi, dan aktualisasi nilai demokrasi serta pendidikan tentang hak dan kewajiban warga negara.

Ketiga, mempertegas gelombang kedua reformasi. Era reformasi yang dimulai pada 1998 telah mengubah secara fundamental peradaban Indonesia dan mencapai “point of no return“. Revolusi di Mesir mengingatkan kita bahwa perubahan tidak boleh terhenti bahkan harus dipertegas dalam reformasi gelombang kedua.

Reformasi gelombang kedua dapat dimaknai bahwa Indonesia terus-menerus berada pada proses perbaikan dan upaya penguatan hakikat demokrasi, konsolidasi demokrasi (consolidated democracy) guna memastikan demokrasi yang menyejahterakan rakyat (democracy that delivers). Meminjam istilah Presiden SBY, gelombang kedua reformasi menekankan bagaimana menjadikan demokrasi sebagai bagian dari sistem nilai, bukan hanya bagian dari sistem politik, yang berdasarkan pilar kesejahteraan, demokrasi, dan keadilan.

Mencermati kemiripan antara krisis politik Mesir (2011) dan Indonesia (1998), Indonesia kiranya dapat mengambil pelajaran untuk semakin mengukuhkan constitutional engineering, merevitalisasi civic education, dan memastikan demokrasi yang menyejahterakan.

Peringatan setahun revolusi Mesir dapat pula dijadikan momentum untuk menyegarkan kembali ingatan masyarakat Indonesia akan tuntutan dan tujuan reformasi, serta memacu reformasi pada gelombang berikutnya. Bukankah perbaikan adalah proses sepanjang hayat dan seumur bangsa?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar