Selasa, 07 Februari 2012

Suriah Vs Liga Arab


Suriah Vs Liga Arab
Azis Anwar Fachrudin, PEMERHATI TIMUR TENGAH UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
Sumber : REPUBLIKA, 6 Februari 2012


Rezim Bashar al-Assad (Suriah) yang semula diprediksi akan segera tumbang, ternyata tidak mudah digulingkan. Asumsi yang mulanya mendasari prediksi itu adalah tumbangnya empat pemimpin Arab pada akhir Oktober tahun lalu (Ben Ali di Tunisia, Mubarak di Mesir, Qadafi di Libya, dan Abdullah Saleh di Yaman). Prediksinya, kalau rezim sekuat Mubarak saja lengser, Suriah tentunya lebih mudah. Sebab, selain pemerintahannya berasal dari kalangan minoritas (SyiahAlawiyah), Suriah lebih miskin daripada Mesir.

Pun demikian, faktanya Assad hingga kini masih belum mengendur. Meski sudah 5.400 korban yang tewas, tetapi tak berarti menyurutkan kekuasaan Assad.
Tim pemantau yang dikirim oleh Liga Arab (Jami'ah ad-Duwal al`Arabiyyah) tidak berhasil menjinakkan Assad.

Alih-alih menyerah, Assad bahkan berani menyerang balik.
Dalam pidato terakhirnya, ia menyatakan bahwa mereka (Liga Arab) tidak pantas mengajari demokrasi, sementara mereka sendiri memberlakukan sistem monarki-absolut. Para pemimpin Liga Arab itu, kata Assad, seperti seorang dokter yang menyuruh pasiennya untuk tidak berhenti merokok, sementara dokter itu sendiri menasihati pasiennya sambil merokok.

Warta terakhir, Liga Arab-didukung oleh Uni Eropa-mendesak Dewan Keamanan (DK) PBB untuk mengeluarkan resolusi mengecam kekerasan rezim Assad.
Resolusi itu masih akan dirapatkan atau di-voting. Prancis dan Inggris bekerja sama dengan Qatar menyusun resolusi itu, yang isinya mendukung rencana damai Liga Arab untuk membentuk pemerintahan bersatu, sanksi ekonomi untuk Suriah, dan penyerahan kekuasaan Assad. Rusia dan Cina cukup mudah diprediksi, menolak rencana resolusi itu.

Ideologi Liga Arab
Sebenarnya, bukan hanya rezim Assad yang tidak suka dengan campur tangan Liga Arab. Pihak oposisi Suriah sendiri juga mengutarakan kritiknya terhadap upaya Liga Arab itu. Bagi mereka, Liga Arab bukanlah badan independen dan bersikap sama atas semua negara Arab. Liga Arab membawa kepentingan negara negara bersaham besar, seperti Arab Saudi dan Qatar. Terlebih, Qatar yang dalam masa revolusi Arab kini seolah menjadi aktor baru dalam konstelasi politik Timur Tengah. Emir Qatar, Hamad bin Khalifa at-Tsani, pada pertengahan Januari lalu sempat menyatakan pasukan bantuan perlu dikirim ke Suriah.

Sejak dahulu, Liga Arab tidak pernah akur dengan Suriah. Terdapat perbedaan ideologi politik yang cukup tajam antara keduanya. Liga Arab dibentuk berdasarkan perpecahan negara-negara Arab. Piagam Liga Arab yang menjadi dasar konstitusional pendiriannya secara tegas menyatakan “penghormatan terhadap kedaulatan dan kemerdekaan masing-masing negara“. Artinya, sikap dasar organisasi yang berdiri pada 1945 ini adalah menerima realitas Arab yang sudah terpecah dalam berbagai nasionalisme sempit (wathaniyyah) dan menolak persatuan Arab (al-qawmiyyah al-`arabiyyah).

Sedangkan, Suriah adalah pengusung ideologi Pan-Arabisme, ideologi yang hendak menyatukan semua negara Arab dalam satu ikatan kebangsaan Arab. Ideologi ini juga tecermin dari namanya, Republik Arab Suriah (al-Jumhuriyyah al-`Arabiyyah as-Suriyyah). Para pengusung Pan-Arabisme dulu direpresentasikan oleh Suriah, Irak (masa Saddam), Mesir (sebelum perjanjian Camp David), dan Libya. Dan, Suriah, tidak bisa dimungkiri, masih menyimpan memori kejayaan Daulah Umayyah sehingga bisa jadi karena inilah ia begitu bernafsu ingin menjadi pemimpin Timur Tengah.

Dari dua watak dasar yang berbeda itu dapat dimengerti mengapa Suriah memiliki sentimen pada Liga Arab. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Liga Arab baru satu kali diselenggarakan di Damaskus, itu pun tidak dihadiri oleh pejabat-pejabat penting-dan memang disengaja demikian.
Setelah tumbangnya rezim Qadafi di Libya, secara umum bisa dikatakan bahwa Suriah satu-satunya negara pengusung Pan-Arabisme yang tersisa. Ideologi Pan-Arabisme itu jelas bertolak belakang dengan ideologi Liga Arab yang “membenarkan“ perpecahan negara-negara Arab.

Tidak hanya Suriah, bahkan sebelumnya di Libya, Liga Arab keras mengutarakan dukungannya terhadap intervensi NATO melawan rezim Qadafi. Dua kenyataan ini seakan menegaskan kembali bahwa sentimen ideologi lama melawan Pan-Arabisme belumlah hilang.

Ambiguitas Liga Arab
Selama ini, Liga Arab sebenarnya dikenal sebagai institusi yang lemah, tidak begitu kentara perannya dalam memperbaiki hubungan internasional di Timur Tengah, terlebih lagi dalam menyikapi konflik Palestina-Israel. Liga Arab hampir tidak pernah memunculkan keputusan penting dalam bidang politik dan ekonomi-apalagi jika dibandingkan dengan Uni Eropa. Liga Arab baru kelihatan perannnya secara signifikan semasa revolusi Arab kini.

Kendati demikian, upaya Liga Arab untuk memantau keadaan Suriah itu secara objektif patut disambut secara positif. Mungkin saja, itu adalah momen perubahan Liga Arab untuk bisa lebih ambil bagian dalam perubahan politik di negara-negara Arab. Sebab, seandainya Liga Arab tidak mengambil kebijakan, seperti dalam kasus Libya, belum tentu Qadafi bisa lebih cepat lengser.

Masalahnya kemudian ada dua. Pertama, Liga Arab tidak boleh terlalu memihak ke negara-negara yang memiliki dana besar. Selama Liga Arab masih berpihak kepada kepentingan Arab Saudi, Qatar, dan Kuwait, ia tidak akan mendapat legitimasi kuat dari negara-negara anggotanya untuk ikut berperan dalam perpolitikan.

Kedua, Liga Arab masih dipertanyakan komitmennya terhadap demokrasi. Di Bahrain yang pemerintahannya Sunni, sedangkan mayoritas rakyatnya Syiah, mereka membela rezim Hammad. Sementara, di Suriah, yang rezimnya Syiah sementara mayoritas rakyatnya Sunni, Liga Arab berperan seolah-olah seperti pahlawan dengan membela rakyat Suriah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar