Suriah
Vs Liga Arab
Azis Anwar Fachrudin, PEMERHATI
TIMUR TENGAH UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
Sumber
: REPUBLIKA, 6
Februari 2012
Rezim
Bashar al-Assad (Suriah) yang semula diprediksi akan segera tumbang, ternyata
tidak mudah digulingkan. Asumsi yang mulanya mendasari prediksi itu adalah
tumbangnya empat pemimpin Arab pada akhir Oktober tahun lalu (Ben Ali di
Tunisia, Mubarak di Mesir, Qadafi di Libya, dan Abdullah Saleh di Yaman).
Prediksinya, kalau rezim sekuat Mubarak saja lengser, Suriah tentunya lebih
mudah. Sebab, selain pemerintahannya berasal dari kalangan minoritas
(SyiahAlawiyah), Suriah lebih miskin daripada Mesir.
Pun
demikian, faktanya Assad hingga kini masih belum mengendur. Meski sudah 5.400
korban yang tewas, tetapi tak berarti menyurutkan kekuasaan Assad.
Tim pemantau yang dikirim oleh Liga Arab (Jami'ah ad-Duwal al`Arabiyyah) tidak berhasil menjinakkan Assad.
Tim pemantau yang dikirim oleh Liga Arab (Jami'ah ad-Duwal al`Arabiyyah) tidak berhasil menjinakkan Assad.
Alih-alih
menyerah, Assad bahkan berani menyerang balik.
Dalam pidato terakhirnya, ia menyatakan bahwa mereka (Liga Arab) tidak pantas mengajari demokrasi, sementara mereka sendiri memberlakukan sistem monarki-absolut. Para pemimpin Liga Arab itu, kata Assad, seperti seorang dokter yang menyuruh pasiennya untuk tidak berhenti merokok, sementara dokter itu sendiri menasihati pasiennya sambil merokok.
Dalam pidato terakhirnya, ia menyatakan bahwa mereka (Liga Arab) tidak pantas mengajari demokrasi, sementara mereka sendiri memberlakukan sistem monarki-absolut. Para pemimpin Liga Arab itu, kata Assad, seperti seorang dokter yang menyuruh pasiennya untuk tidak berhenti merokok, sementara dokter itu sendiri menasihati pasiennya sambil merokok.
Warta
terakhir, Liga Arab-didukung oleh Uni Eropa-mendesak Dewan Keamanan (DK) PBB
untuk mengeluarkan resolusi mengecam kekerasan rezim Assad.
Resolusi itu masih akan dirapatkan atau di-voting. Prancis dan Inggris bekerja sama dengan Qatar menyusun resolusi itu, yang isinya mendukung rencana damai Liga Arab untuk membentuk pemerintahan bersatu, sanksi ekonomi untuk Suriah, dan penyerahan kekuasaan Assad. Rusia dan Cina cukup mudah diprediksi, menolak rencana resolusi itu.
Resolusi itu masih akan dirapatkan atau di-voting. Prancis dan Inggris bekerja sama dengan Qatar menyusun resolusi itu, yang isinya mendukung rencana damai Liga Arab untuk membentuk pemerintahan bersatu, sanksi ekonomi untuk Suriah, dan penyerahan kekuasaan Assad. Rusia dan Cina cukup mudah diprediksi, menolak rencana resolusi itu.
Ideologi Liga Arab
Sebenarnya,
bukan hanya rezim Assad yang tidak suka dengan campur tangan Liga Arab. Pihak
oposisi Suriah sendiri juga mengutarakan kritiknya terhadap upaya Liga Arab
itu. Bagi mereka, Liga Arab bukanlah badan independen dan bersikap sama atas
semua negara Arab. Liga Arab membawa kepentingan negara negara bersaham besar,
seperti Arab Saudi dan Qatar. Terlebih, Qatar yang dalam masa revolusi Arab
kini seolah menjadi aktor baru dalam konstelasi politik Timur Tengah. Emir
Qatar, Hamad bin Khalifa at-Tsani, pada pertengahan Januari lalu sempat
menyatakan pasukan bantuan perlu dikirim ke Suriah.
Sejak
dahulu, Liga Arab tidak pernah akur dengan Suriah. Terdapat perbedaan ideologi
politik yang cukup tajam antara keduanya. Liga Arab dibentuk berdasarkan
perpecahan negara-negara Arab. Piagam Liga Arab yang menjadi dasar
konstitusional pendiriannya secara tegas menyatakan “penghormatan terhadap
kedaulatan dan kemerdekaan masing-masing negara“. Artinya, sikap dasar
organisasi yang berdiri pada 1945 ini adalah menerima realitas Arab yang sudah
terpecah dalam berbagai nasionalisme sempit (wathaniyyah) dan menolak persatuan
Arab (al-qawmiyyah al-`arabiyyah).
Sedangkan,
Suriah adalah pengusung ideologi Pan-Arabisme, ideologi yang hendak menyatukan
semua negara Arab dalam satu ikatan kebangsaan Arab. Ideologi ini juga tecermin
dari namanya, Republik Arab Suriah (al-Jumhuriyyah al-`Arabiyyah as-Suriyyah).
Para pengusung Pan-Arabisme dulu direpresentasikan oleh Suriah, Irak (masa
Saddam), Mesir (sebelum perjanjian Camp David), dan Libya. Dan, Suriah, tidak
bisa dimungkiri, masih menyimpan memori kejayaan Daulah Umayyah sehingga bisa
jadi karena inilah ia begitu bernafsu ingin menjadi pemimpin Timur Tengah.
Dari
dua watak dasar yang berbeda itu dapat dimengerti mengapa Suriah memiliki
sentimen pada Liga Arab. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Liga Arab baru satu
kali diselenggarakan di Damaskus, itu pun tidak dihadiri oleh pejabat-pejabat
penting-dan memang disengaja demikian.
Setelah tumbangnya rezim Qadafi di Libya, secara umum bisa dikatakan bahwa Suriah satu-satunya negara pengusung Pan-Arabisme yang tersisa. Ideologi Pan-Arabisme itu jelas bertolak belakang dengan ideologi Liga Arab yang “membenarkan“ perpecahan negara-negara Arab.
Setelah tumbangnya rezim Qadafi di Libya, secara umum bisa dikatakan bahwa Suriah satu-satunya negara pengusung Pan-Arabisme yang tersisa. Ideologi Pan-Arabisme itu jelas bertolak belakang dengan ideologi Liga Arab yang “membenarkan“ perpecahan negara-negara Arab.
Tidak
hanya Suriah, bahkan sebelumnya di Libya, Liga Arab keras mengutarakan
dukungannya terhadap intervensi NATO melawan rezim Qadafi. Dua kenyataan ini
seakan menegaskan kembali bahwa sentimen ideologi lama melawan Pan-Arabisme
belumlah hilang.
Ambiguitas Liga Arab
Selama
ini, Liga Arab sebenarnya dikenal sebagai institusi yang lemah, tidak begitu
kentara perannya dalam memperbaiki hubungan internasional di Timur Tengah,
terlebih lagi dalam menyikapi konflik Palestina-Israel. Liga Arab hampir tidak
pernah memunculkan keputusan penting dalam bidang politik dan ekonomi-apalagi
jika dibandingkan dengan Uni Eropa. Liga Arab baru kelihatan perannnya secara
signifikan semasa revolusi Arab kini.
Kendati
demikian, upaya Liga Arab untuk memantau keadaan Suriah itu secara objektif
patut disambut secara positif. Mungkin saja, itu adalah momen perubahan Liga
Arab untuk bisa lebih ambil bagian dalam perubahan politik di negara-negara
Arab. Sebab, seandainya Liga Arab tidak mengambil kebijakan, seperti dalam
kasus Libya, belum tentu Qadafi bisa lebih cepat lengser.
Masalahnya
kemudian ada dua. Pertama, Liga Arab tidak boleh terlalu memihak ke
negara-negara yang memiliki dana besar. Selama Liga Arab masih berpihak kepada
kepentingan Arab Saudi, Qatar, dan Kuwait, ia tidak akan mendapat legitimasi
kuat dari negara-negara anggotanya untuk ikut berperan dalam perpolitikan.
Kedua, Liga Arab masih dipertanyakan
komitmennya terhadap demokrasi. Di Bahrain yang pemerintahannya Sunni,
sedangkan mayoritas rakyatnya Syiah, mereka membela rezim Hammad. Sementara, di
Suriah, yang rezimnya Syiah sementara mayoritas rakyatnya Sunni, Liga Arab
berperan seolah-olah seperti pahlawan dengan membela rakyat Suriah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar