Perlawanan
Antikekerasan
Trisno Yulianto, ANALIS
PEACEBUILDING DI BADAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MAGETAN
Sumber
: SINAR HARAPAN, 21 Februari 2012
Penolakan berdirinya Organisasi Front Pembela
Islam (FPI) oleh Dewan Adat Dayak di Palangkaraya (Kalimantan Tengah) beberapa
waktu lalu menggelindingkan bola salju kesadaran antikekerasan di berbagai
tempat oleh berbagai kelompok masyarakat sipil (civil society).
Di Jakarta muncul komunitas antikekerasan
berbasis lintas agama dan etnik "Indonesia Damai Tanpa FPI". Ulama
Tarekat di Jawa Barat juga menolak eksistensi FPI yang diasumsikan tidak
mencerminkan wajah Islam yang rahmatin nil alamin dan humanis.
Penolakan terhadap FPI sesungguhnya bukan
sebagai bentuk sentimentasi subjektif terhadap organisasi yang sering
menimbulkan "heboh" di tengah masyarakat karena aksi-aksi massa yang
dilakukannya, namun sebagai bagian tumbuhnya kesadaran antikekerasan di tengah
masyarakat.
Masyarakat yang sudah lama
"terusik" kesadaran harmoninya oleh perilaku ormas yang dipimpin Habib
Rizieq merasa sudah saatnya menunjukkan ekspresi penolakan terhadap FPI.
Penolakan terhadap FPI bukan dilandasi sentimen agama, namun oleh perilaku
kolektif anggota FPI yang sering menggunakan cara-cara kekerasan untuk
menunjukkan eksistensi dan aspirasinya.
Di tengah arus deras penolakan terhadap
eksistensi FPI (baca: kultur kekerasan FPI), muncul pembelaan dari internal
FPI. Bagi FPI penolakan kehadiran organisasi FPI di Kalimantan Tengah
diprovokatori Jaringan Mafia pertambangan yang menggusur eksistensi sebuah
Komunitas Dayak yang konon akan diadvokasi oleh FPI. Penolakan FPI bagi FPI
berlatar belakang kepentingan ekonomis.
Pernyataan bijak, namun bersayap disampaikan
mantan Ketua Umum PB NU, Hasyim Muzadi, menanggapi aksi penolakan terhadap FPI.
Menurut Hasyim Muzadi, tuntutan pembubaran terhadap FPI akan sia-sia karena
diiklim demokrasi yang liberal, dengan mudahnya FPI akan mengganti nama
organisasi mereka.
Hal yang lebih penting adalah masyarakat dan
pemerintah berada dalam komitmen sama menolak segala praktik kekerasan
dan semua faktor penyebab yang mendorong hadirnya kekerasan atas nama agama dan
sentimen primordial. Penyebab kekerasan dan sentimen primordial di antaranya
adalah kemiskinan, diabaikannya prinsip hidup berpancasila dan dominasi sistem
kapitalisme.
Catatan kritis atas pernyataan Hasyim Muzadi
adalah bahwa FPI dianggap sebagai bagian pendukung NKRI dan Pancasila. Sebuah
pandangan yang fatal dan keliru, karena ormas semacam FPI sesungguhnya memiliki
cita-cita terbentuknya negara teokratis di masa depan.
FPI tidak tinggal diam merespons derasnya
penolakan dan tuntutan pembubaran FPI. Demonstrasi mendukung FPI dilakukan di
berbagai tempat secara beruntun, sebagai unjuk kekuatan dalam meneguhkan
eksistensi mereka.
Barisan ormas-ormas yang berhaluan seideologi
dengan FPI pun menyatakan mendukung eksistensi FPI sebagai ormas yang konon
diasumsikan membela kepentingan umat.
Kesadaran Konstitusional
Penolakan terhadap FPI menurut hemat penulis
dilandasi oleh bangunan kesadaran antikekerasan dan kesadaran konstitusional.
Argumentasinya adalah sebagai berikut:
Pertama, elemen masyarakat yang kini berani
menolak praktik kekerasan yang lazim dilakukan FPI sudah berada dalam batas
kesabaran kolektif. Masyarakat selama ini membiarkan praktik-praktik
"anarkistis" dan kekerasan FPI dalam berbagai kasus karena tidak
menginginkan terjadinya benturan atau konflik berlatar belakang sentimen SARA.
Namun, kesabaran tersebut menuju titik
toleransi, ketika negara (pemerintah) seolah melakukan pembiaran.
Bahkan, menurut Budiman Sudjatmiko dalam
sebuah wawancara media elektronik, beberapa waktu lalu, ormas-ormas yang kerap
terjebak dalam praktik "premanisme agama" sengaja dipelihara oleh
blok kepentingan kekuasaan, untuk menyuburkan potensi konflik horizontal;
sehingga mengalihkan kesadaran sejati masyarakat akan kesadaran
kritis-fungsional terhadap praktik ketidakadilan dan korupsi kekuasaan.
Kedua, penolakan terhadap eksistensi FPI
bersifat substansial, karena masyarakat bukan menolak FPI-nya, namun menolak praktik
kekerasan yang lazim dilakukan FPI dalam berbagai kasus aksi massanya.
Masyarakat perlu menuntut kepada negara (pemerintah) lebih tegas terhadap
praktik kekerasan dan anarkisme yang dibalut isu agama.
Masyarakat merasa ada diskriminasi perlakuan
negara. Negara melalui aparatus keamanan begitu tega melakukan intimidasi dan
kekerasan terhadap masyarakat, dalam kasus konflik agraria, namun tidak tegas
terhadap ormas berbasis agama yang sering mengintimidasi kelompok minoritas.
Ketiga, penolakan dan tuntutan pembubaran
terhadap FPI memiliki logika konstititusional, yakni meneguhkan sikap
kebangsaan yang dilandasi oleh semangat kebinekaan, keberagaman, kemanusiaan
dan toleransi multikultural.
Sebagian elemen masyarakat yang menolak FPI
menganggap eksistensi konstitusi saat ini terancam oleh menguatnya kekuatan
ideologi transnasional yang ingin membentuk negara teokratis dan mengganti
dasar negara Pancasila.
Mereka menolak FPI berarti menolak sikap dan
politik antikonstitusi yang sering ditunjukkan ormas berhaluan ideologi
transnasional.
Ormas berideologi transnasional yang tumbuh
subur ketika rezim otoritarian Orba tumbang oleh gerakan mahasiswa dan rakyat,
bisa dipahami jika saat ini resistensi antikekerasan menjadi mainstream
pemikiran dan kesadaran hampir semua komponen masyarakat, terutama komponen
yang memiliki kesadaran konstitusional.
Di tengah penolakan masyarakat, seharusnya
FPI sebagai ormas yang hadir di republik ini melakukan introspeksi dan refleksi
diri. Di dalam iklim demokrasi liberal, semua warga negara berhak mendirikan
organisasi dan berhak menunjukkan ekspresi politiknya.
Namun, ekspresi politik
seharusnya mematuhi koridor hukum dan konstitusi.
Praktik kekerasan dalam kasus unjuk rasa FPI
seperti perusakan tempat hiburan, penyegelan tempat ibadah agama lain,
intimidasi terhadap aliran keagamaan, sampai penyerangan terhadap aksi massa
kelompok lain jelas perbuatan antikonstitusi dan antihukum.
Namun, selama ini perbuatan tersebut seperti
dibiarkan oleh negara. Hanya oknum-oknum pelaku yang dijerat sanksi hukum, itu
pun dalam vonis ringan.
Resistensi antikekerasan terhadap perilaku
ormas berbasis agama sesungguhnya tidak akan terjadi apabila negara
(pemerintah) tegas dalam menegakkan prinsip konstitusi dan aturan hukum yang
berlaku.
Di dalam negara hukum yang berkonstitusi
Pancasila, tidak diperkenankan ada praktik penghakiman politik---apalagi dengan
kekerasan-----terhadap kelompok minoritas oleh kekuatan pro violence yang
mengatasnamakan legitimasi mayoritas.
Resistensi antikekerasan memiliki muara
tujuan untuk menegakkan prinsip hidup bernegara yang damai, rukun dan adil
dalam perbedaan. Mereka menolak FPI bukan antiagama atau ideologinya FPI, namun
memiliki semangat menegakkan amanat perdamaian dan kerukunan sosial.
Sudah saatnya negara (pemerintah) merespons
dengan langkah imperatif yang tegas dan adil. Negara tidak boleh takut dan
tersandera oleh kepentingan kelompok yang sesungguhnya pemikiran dan sikapnya
antikonstitusi.
Jangan sampai masyarakat teradikalisasi untuk
menolak kehadiran ormas yang gemar melakukan kekerasan dengan caranya sendiri.
Hal itu berarti mendorong terciptanya neraka konflik sosial yang
berkepanjangan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar