Pembajakan
Negara dan Pengujian Yudisial
Roby Arya Brata, ANALIS
ANTIKORUPSI, HUKUM, DAN KEBIJAKAN
Sumber
: KORAN TEMPO, 21 Februari 2012
Negara kita sekarang ini sesungguhnya sedang
dibajak oleh kekuatan korup, korporasi hitam, para birokrat kriminal, dan
preman politik. Hampir semua institusi politik, pemerintahan, dan penegak hukum
sudah berada dalam cengkeraman serta kendali mereka.
Proses demokrasi, pemerintahan, dan penegakan
hukum dibajak dan dikendalikan untuk melindungi kepentingan korup mereka.
Kasus-kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Bank Century, cek
pelawat, penghilangan ayat tembakau, dan Wisma Atlet adalah contoh nyata
pembajakan negara (state capture) oleh kekuatan korup.
Akibatnya, amanat reformasi untuk memberantas
korupsi, menegakkan kedaulatan hukum, mewujudkan keadilan di segala bidang, dan
menyejahterakan rakyat dibajak dan disubordinasikan untuk melindungi
kepentingan para "pembajak" negara itu. Bila pembajakan negara ini
terus dibiarkan, negara akan dipimpin dan dikendalikan oleh para mafia (organized
criminals) dan perlahan-lahan menuju ke jurang kebangkrutan serta
kehancurannya.
State Capture
Dari berbagai bentuk korupsi, state
capture atau yang saya terjemahkan "pembajakan (penyanderaan)
negara" adalah bentuk grand corruption yang paling merusak serta
menghancurkan (most destructive and intractable) tata kelola
pemerintahan dan perikehidupan berbangsa dan bernegara. Pembajakan negara
adalah fenomena korup ketika aktor-aktor kepentingan di luar pemerintahan (outside
interests), seperti korporasi dan jaringan mafia, mempengaruhi arah serta
substansi pembentukan hukum, kebijakan dan regulasi, demi keuntungan korup
mereka melalui transaksi korup dengan pejabat publik dan politikus.
Pembajakan negara, menurut Joel Hellman dan
Daniel Kaufmann (2001), merupakan upaya oligarki untuk memanipulasi formulasi
kebijakan, bahkan mempengaruhi aturan main (the rules of the game).
Tindakan yang merugikan masyarakat luas itu dilakukan untuk mencari keuntungan
substansial dan melindungi kepentingan oligarki.
Jadi, berbeda dengan korupsi konvensional
korupsi, pembajakan negara dilakukan pada saat perumusan kebijakan dan
peraturan perundang-undangan, atau sebelum kebijakan publik diimplementasikan.
Korupsi konvensional atau administrative corruption dilakukan setelah
kebijakan dan hukum diimplementasikan, yaitu untuk mendistorsi proses
implementasi serta penegakan hukumnya. Karena itu, pembajakan negara saya sebut
ex-ante policymaking corruption, sedangkan korupsi administratif disebut
ex-post policymaking corruption.
Di sinilah dampak bahaya dan sangat
menghancurkan dari korupsi pembajakan negara. Dibanding korupsi administratif
yang dampaknya terbatas, pembajakan negara yang menghasilkan kebijakan,
peraturan perundang-undangan, dan keputusan pemerintah yang korup serta tidak
adil dapat berdampak merugikan masyarakat luas.
Skandal BLBI, misalnya. Pakar perbankan
menyebut skandal ini sebagai kasus megakorupsi yang tergolong kejahatan luar
biasa (extraordinary crime) karena sangat merusak sendi-sendi
perekonomian negara. Berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan per 31 Juli
2000, kerugian negara ditaksir mencapai Rp 138,44 triliun atau 95,78 persen
dari total dana BLBI Rp 144,54 triliun yang digelontorkan ke 48 bank swasta
pada saat krisis ekonomi 1997 (Djoni Edward, 2010). Akibatnya, rakyat terpaksa
menanggung beban kerugian 20-30 persen dari anggaran pendapatan dan belanja
negara untuk pos pembayaran utang berupa obligasi rekapitulasi ataupun bunga
obligasi BLBI.
Skandal kontemporer yang diduga kuat sebagai
megakorupsi pembajakan negara adalah kasus Bank Century. Hasil audit BPK atas
PT Bank Century mengindikasikan Bank Indonesia diduga merekayasa peraturan yang
dibuat sendiri agar Century bisa mendapat fasilitas pinjaman jangka pendek
(FPJP). Pada saat mengajukan permohonan FPJP, posisi rasio kecukupan modal (capital
adequacy ratio/CAR) Bank Century, menurut analisis BI, adalah 2,35 persen (Vivanews,
22 September 2011). Padahal persyaratan minimal CAR untuk memperoleh FPJP
berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/26/PBI 2008 tentang FPJP adalah 8
persen. Dengan demikian, Bank Century tidak memenuhi syarat untuk memperoleh
FPJP.
Namun Bank Indonesia mengubah peraturan
tersebut, dari semula CAR 8 persen menjadi positif. Akibat perubahan peraturan
itu, Bank Indonesia akhirnya menyetujui pemberian FPJP kepada Bank Century
total Rp 689 miliar. Hasil audit forensik BPK terakhir mengindikasikan dugaan
kuat kerugian negara yang besar, sekitar Rp 6,7 triliun, yang pada akhirnya
akan ditanggung rakyat.
Dugaan megakorupsi pembajakan negara juga
terjadi pada masa Orde Baru. Pembuatan Keputusan Presiden tentang Mobil
Nasional Nomor 42/1996 yang mengizinkan PT Timor Putra Nasional mengimpor mobil
utuh dari Korea Selatan tanpa bea masuk yang berpotensi merugikan negara adalah
contohnya. Selain itu, kebijakan tata niaga cengkeh yang menciptakan monopsoni
dan merugikan petani, juga dihambatnya pembuatan undang-undang antimonopoli,
merupakan contoh pembajakan negara lainnya.
Lalu faktor-faktor apakah yang menyebabkan
pembajakan negara itu? Ada beberapa faktor. Pertama, sistem politik, birokrasi,
dan ekonomi korup yang memungkinkan agen-agen korporasi hitam, para birokrat
kriminal, dan preman politik menduduki jabatan publik serta melakukan transaksi
korup dalam pembuatan kebijakan. Kedua, tidak ada atau lemahnya transparansi
dan akuntabilitas dalam proses pembuatan kebijakan. Ketiga, terlalu luas dan
tidak terkontrolnya diskresi pembuat kebijakan. Keempat, tidak adanya sistem
integritas dalam rekrutmen dan promosi jabatan publik. Kelima, sistem
kepartaian dan pemilihan umum yang mahal dan korup. Dan keenam, penegakan hukum
yang lemah.
Pertanyaannya kemudian, apakah adil bila
warga negara wajib melaksanakan kewajiban dan menanggung beban kerugian dari
kebijakan, peraturan perundang-undangan, dan keputusan yang korup? Suatu
ketidakadilan bila masyarakat harus melaksanakan kewajiban dan perintah dari
kebijakan serta peraturan perundang-undangan yang sebenarnya menzalimi dirinya.
Karena itu, pengujian yudisial harus dimungkinkan untuk membatalkan
pemberlakuan kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang korup.
Pengujian Yudisial
Untuk mengatasi penyebab dan dampak
pembajakan negara, selain menghapuskan atau mengurangi faktor-faktor penyebab,
pengujian yudisial (judicial review) harus dimungkinkan bagi warga
negara atau masyarakat luas (class action) yang hak-hak
konstitusionalnya dirugikan oleh pemberlakuan kebijakan serta peraturan
perundang-undangan yang korup.
Untuk itu, norma-norma antikorupsi harus
menjadi substansi Undang-Undang Dasar 1945. Hak warga negara untuk dilindungi
hidup dan perikehidupannya dari kebijakan, peraturan perundang-undangan, dan
keputusan administrasi negara yang korup harus dikategorikan sebagai hak asasi
manusia dalam UUD 1945. Karena itu, pemberlakuan (ketentuan) kebijakan,
peraturan perundang-undangan, dan keputusan administrasi negara yang korup
dapat dibatalkan karena inkonstitusional.
Masalahnya, kita tidak dapat berharap banyak
pada badan peradilan kita untuk melakukan judicial review, karena mereka
sendiri secara sistemik sudah lumpuh oleh korupsi. Karena korupsi, peran
sebagai pembuat norma (positive legislator) juga tidak akan optimal
dilakukan oleh eksekutif dan legislatif. Mereka tidak berdaya melakukan executive
dan legislative review untuk mencabut atau mengubah kebijakan serta
peraturan perundang-undangan yang korup.
Harapan kita satu-satunya untuk melakukan
peran negative legislator (pembatal norma) adalah Mahkamah Konstitusi
yang relatif masih memiliki integritas. Untuk itu, semua kewenangan pengujian
yudisial untuk menguji semua jenis dan tingkatan peraturan perundang-undangan
yang korup dari peraturan daerah sampai undang-undang diserahkan kepada
Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi juga diberi kewenangan menguji constitutional
complaint, constitutional question, dan ultra-petita (tidak
diminta). Karena itu, hakim Mahkamah Konstitusi haruslah seorang negarawan yang
memiliki integritas kuat, tidak haus jabatan dan kekuasaan, serta ahli dalam
ilmu pencegahan dan pemberantasan korupsi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar