Sekali
Lagi, Perempuan dan Korupsi
Triyono Lukmantoro, DOSEN
SOSIOLOGI KOMUNIKASI FISIP UNDIP SEMARANG
Sumber
: SINAR HARAPAN, 21 Februari 2012
Sejumlah perempuan terlibat dalam beberapa
kasus korupsi. Media massa pun memberitakan berbagai kejadian itu secara
besar-besaran. Sebuah nama yang sempat menghiasi pemberitaan media adalah
Artalyta Suryani, yang terlibat dalam kasus suap terhadap Jaksa Urip Tri
Gunawan.
Artalyta juga semakin populer ketika sel
penjara yang dihuninya dikabarkan disulap bagaikan kamar hotel berbintang lima.
Karena Artalyta, yang berstatus sebagai pengusaha, dikenal amat dekat dengan
aparat hukum dan birokrat negara, maka label negatif semacam “Tante Lobi” dan
“Tante Suap” pun ditorehkan media kepadanya.
Nama-nama perempuan lain yang sekarang
menghiasi ruang dan waktu media karena tersangkut aneka skandal korupsi adalah
Wa Ode Nurhayati, Nunun Nurbaeti, Miranda Swaray Goeltom, Mindo Rosalina
Manulang, dan figur yang paling menjadi pusat perhatian adalah Angelina
Sondakh.
Sosok terakhir ini makin populer karena telah
ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka dalam
kasus korupsi Wisma Atlet SEA Games.
Tidak hanya itu, Angie—sapaan Angelina—juga
dianggap memberi keterangan palsu ketika bersaksi untuk terdakwa Muhammad
Nazaruddin. Media pun menyajikan pemberitaan evaluatif dengan mendeskripsikan
Angie berhidung panjang layaknya tokoh Pinokio yang senang berbohong.
Tudingan negatif secara berhamburan pun
kemudian diarahkan kepada kaum perempuan. Ungkapan seperti “feminisasi korupsi”
atau “fenomena bad women” sulit
dielakkan bergulir. Perempuan ternyata mampu juga berbuat korup. Perempuan bisa
saja menjadi sosok penjahat yang tidak kalah bejatnya dengan kaum pria dalam
aksi-aksi menggangsir uang negara.
Perempuan yang selama ini diidentikkan dengan
figur yang penuh kelembutan dan pasti tidak senang bertindak korup pada
kenyataannya doyan juga mengambil harta yang bukan menjadi haknya.
Gaya hidup beberapa nama perempuan yang
terlibat dalam sejumlah tindakan korupsi pun diekspos secara kolosal. Mereka
digambarkan suka mengoleksi tas berharga miliaran rupiah, berdandan menor dan
glamor, menyimpan benda-benda bercita rasa artistik, dan seterusnya.
Pada intinya adalah media terperangkap dalam
histeria penilaian bahwa kaum perempuan sungguh-sungguh berbahaya ketika
mendapatkan kekuasaan. Pada situasi ini Megawati Soekarnoputri, seorang
politikus perempuan yang menjabat Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP), berupaya menampik sudut pandang yang memojokkan perempuan
itu.
Mega menegaskan bahwa perilaku korup lebih
cenderung dijalankan pria daripada perempuan. Dengan nada bercanda, Mega
menyatakan supaya kader-kader PDIP yang berjenis kelamin lelaki ingat
anak-istri. Secara naluriah, ujar Mega, kaum lelaki mencari nafkah, sedangkan
kaum perempuan yang menyimpannya (Tempo.co
edisi Jumat, 10 Februari 2012, 12.33 WIB).
Pemikiran Esensialistik
Aneka pemberitaan yang ditampilkan media,
berbagai ulasan yang dihadirkan dalam ruang publik, dan pandangan Megawati
tentang relasi perempuan dan korupsi sangat menunjukkan pemikiran
esensialistik. Artinya adalah perempuan dianggap sebagai sosok yang
serbamonolitik dan tidak pernah berubah.
Stereotip yang mapan dalam wilayah pemikiran
ini adalah perempuan diidentikkan dengan kasih sayang, kelembutan, penuh
perhatian, tidak mungkin terlibat dalam kejahatan, sangat mustahil tega mencuri
uang rakyat, dan pastilah berbuat antikorupsi.
Terdapat sisi positif pada pemikiran
esensialistik ini, yakni hal yang penuh kebaikan pasti melekat pada kaum
perempuan. Namun, sisi negatifnya tetap saja muncul, yakni ketika esensialisme
itu telanjur menancap dalam kesadaran sosial, maka kekecewaan terhadap
perempuan pun berubah menjadi sejenis kepanikan moral yang berkepanjangan.
Sisi ketidaklaziman bahwa perempuan ternyata
begitu tega bertindak koruptif diungkapkan secara luar biasa. “Wilayah gelap”
perempuan yang suka beraksi curang disajikan secara berlebihan. Tapi,
esensialisme perempuan yang serbaberbaik hati dan menghindarkan diri dari
bertingkah bejat ternyata telah berakhir.
Sebenarnya, pemikiran esensialistik yang
menganggap sikap dan perilaku perempuan memang begitu peduli pada pihak lain
dan tidak sudi berkompromi dengan korupsi semacam itu bahkan bisa ditelusuri
dari pemikiran kaum feminis sendiri. Para pemikir feminis gender memiliki
pandangan bahwa lelaki dan perempuan berbicara dalam bahasa moral yang
berlainan.
Mereka juga meyakini bahwa perempuan lebih
memegang prinsip etika kepedulian daripada etika keadilan. Kejahatan hanya
dapat dikurangi jika kita menerima dan melawan kecintaan kita sendiri terhadap
kejahatan (Rosemarie Putnam Tong,
Feminist Thought: A Comprehensive Introduction, 1989).
Pandangan esensialistik itu seakan-akan tidak
terbantahkan. Hanya saja ada ketersesatan yang harus mendapatkan pembongkaran.
Perempuan bukanlah figur yang bersifat tunggal. Ada berbagai macam perempuan
yang memiliki latar belakang ras, agama, etnisitas, kelas sosial, dan kekuasaan
yang berbeda-beda.
Perempuan yang berada dalam domain mayoritas,
seperti etnisitas, agama, kelas sosial, dan kekuasaan yang menentukan tentu
saja berlainan dalam berpikir, bersikap, dan bertindak apabila dibandingkan
dengan perempuan yang berada dalam kedudukan minoritas. Struktur sosial yang
melingkupi pasti memberi peluang yang berlainan bagi setiap perempuan.
Persoalan Kekuasaan
Fenomena sejumlah perempuan yang terlibat
dalam berbagai skandal korupsi tidak tepat lagi jika dibahas dengan menggunakan
sudut pandang relasi gender. Lebih mengena jika persoalan ini diuraikan dengan
mengerahkan perspektif sosiologis yang membahas tentang kekuasaan dan perilaku
menyimpang.
Korupsi, sebagai perilaku menyimpang, jelas
sekali bertautan dengan persoalan kekuasaan. Perempuan yang menduduki
kekuasaan, baik secara politis maupun bisnis, memiliki kesempatan yang lebih
banyak berbuat korup dibandingkan lelaki atau perempuan yang tidak berposisi
sebagai penentu dalam wilayah otoritas politik dan finansial yang dimilikinya.
Penjelasan yang sangat baik tentang hubungan
perilaku menyimpang dengan kekuasaan dikemukakan Alex Thio (Sociology: A Brief Introduction, 2005).
Tindakan menyimpang, misalnya tipe kejahatan tertentu (korupsi), sangat
ditentukan kekuasaan.
Bahkan, kekuasaan menjadi sebab penting bagi
tindakan menyimpang. Terdapat tiga alasan yang mampu menjelaskannya. Pertama,
pihak yang lebih berkuasa mempunyai motivasi untuk bertindak menyimpang lebih
kuat.
Kedua, pihak yang lebih berkuasa bisa
menikmati peluang-peluang yang lebih besar untuk menjalankan penyimpangan.
Ketiga, pihak yang lebih berkuasa ditundukkan oleh kontrol sosial yang lebih
rendah.
Korupsi sangat jelas lebih berkaitan dengan
persoalan kekuasaan daripada soal esensialistik keperempuanan. Siapa pun yang
lebih berkuasa pasti terdorong untuk melakukan aksi-aksi korupsi.
Ini karena dalam kekuasaan tersebut terbuka
kesempatan atau peluang untuk melancarkan keinginan biadab. Terlebih lagi
ketika kontrol sosial terhadap pemangku kekuasaan itu demikian rendah maka
aksi-aksi merampok uang rakyat itu gampang direalisasikan.
Dapat disimpulkan bahwa pertautan korupsi dan
kekuasaan muncul dari motivasi tinggi dan peluang besar yang dimiliki si pelaku
dan rendahnya kontrol sosial. Ketika kaum perempuan terbenam dalam situasi ini
niscaya mereka akan mempraktikkan korupsi, demikian pula halnya dengan kaum
lelaki. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar