Momentum
Kebangkitan Sektor Riil
Susidarto, PRAKTISI
PERBANKAN
Sumber
: SUARA MERDEKA, 17
Februari 2012
BANK Indonesia kembali menurunkan BI rate
hingga ke level terendah sepanjang berlakunya tiga tahun silam, yakni pada
titik 5,75%. Penurunan tingkat bunga ini sesuai ekspektasi pasar sehingga
mendorong makin bergairahnya transaksi di pasar uang dan pasar modal. Penurunan
ini setidaknya memberikan ruang pengharapan baru bagi pelaku dunia usaha
(sektor riil) yang selama ini paceklik pembiayaan bank akibat masih tingginya
suku bunga kredit. Kini, mereka boleh kembali bergairah menantikan seremonial
penurunan bunga kredit dan ekspansi kredit bank-bank.
Tidak ada yang berani memastikan bahwa penurunan suku bunga itu pararel dengan bangkitnya kegiatan sektor riil. Pasalnya, penurunan BI rate bukan kali pertama, dan selama tren suku bunga induk bank sentral turun, perbankan tidak serta merta mengucurkan kreditnya ke sektor riil. Mereka masih memilih membeli Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang memiliki tingkat bunga kompetitif dan dijamin aman. Ketimbang suku bunga simpanan, bank memilih positive spread dengan menempatkan suku bunga di SBI.
Tidak ada yang salah dengan kebijakan bank menempatkan dana di bank sentral jika kepentingannya untuk menjaga tingkat nonperforming loans (NPL) atau kredit macet di level rendah. Namun, kebijakan menempatkan dana di BI bukan tanpa masalah karena hal itu berarti bank tidak menjalankan fungsi intermediasi. Ini bisa dilihat dari masih rendahnya tingkat loans to deposit ratio (LDR).
Terlalu berlebihan kalau menuduh perbankan pelit menurunkan suku bunga pinjamannya. Realitas di lapangan sesungguhnya menunjukkan bahwa suku bunga kredit sudah mulai Turun. Lihat saja suku bunga kredit consumer seperti KPR, sekarang di level single digit (di bawah 10%). Bahkan ada bank memasang bunga KPR 7,5%. Untuk kredit komersial (modal kerja dan investasi), beberapa bank mematok bunga 10-11%. Itu semua menunjukkan keseriusan perbankan menurunkan bunga kreditnya.
Memang, penurunan BI rate tidak akan serta merta menggairahkan sektor riil. Kebijakan itu harus diikuti keberanian perbankan ekspansi kredit ke sektor produktif bukan hanya konsumtif. Selain itu, sisi fiskal harus dibenahi, tidak hanya mengutak-atik sisi moneter (suku bunga ), tapi berkoordinasi dengan pemerintah sebagai upaya membangkitkan dunia usaha. Itu bisa dilakukan dengan memberikan berbagai insentif dan serangkaian regulasi yang kondusif untuk kebangkitan sektor riil.
Regulasi Kondusif
Selama ini banyak sektor riil belum bankable, dalam arti layak menerima kredit. Terlebih usaha baru, yang belum terbukti (proven) andal menangani pembiayaan bank. Tak aneh, bila masalahnya adalah rendahnya daya serap sektor riil terhadap kredit bank. Bank sebenarnya sudah gencar memasarkan kredit (modal kerja ataupun investasi), namun sisi sektor riil belumlah siap. Selain itu, masih tingginya un-use plafond atau undisbursed loan menjadikan kredit yang sudah dikucurkan menjadi mubazir.
Memburuknya pasar ekspor ke Eropa dan AS akibat krisis ekonomi global, semestinya disiasati dengan membuka pasar di negara lain yang masih potensial. Kondisi sebaliknya, di Indonesia investasi langsung dari luar negeri (foreign direct investment/ FDI) masih sangat lemah. Investor asing masih senang hit and run dalam bentuk portfolio investment. Investor asing tahu bahwa kondisi makroekonomi Indonesia telah membaik sehingga menciptakan ruang yang cukup untuk berusaha. Namun, mereka tidak mantap untuk masuk karena masalah ketidakpastian hukum, minimnya insentif investasi, dan panjangnya prosedur perizinan.
Karena itu, pekerjaan rumah Indonesia masih cukup banyak. Selain sektor moneter (suku bunga), pemerintah perlu membenahi sisi fiskal, yakni sederetan regulasi yang kondusif bagi investasi asing. Posisi rating surat utang layak investasi (investment grade) yang diraih Indonesia, semestinya berkorelasi poisitif dengan banjirnya investasi asing dalam bentuk FDI, bukan sekadar portfolio investment di pasar modal/uang. ●
Tidak ada yang berani memastikan bahwa penurunan suku bunga itu pararel dengan bangkitnya kegiatan sektor riil. Pasalnya, penurunan BI rate bukan kali pertama, dan selama tren suku bunga induk bank sentral turun, perbankan tidak serta merta mengucurkan kreditnya ke sektor riil. Mereka masih memilih membeli Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang memiliki tingkat bunga kompetitif dan dijamin aman. Ketimbang suku bunga simpanan, bank memilih positive spread dengan menempatkan suku bunga di SBI.
Tidak ada yang salah dengan kebijakan bank menempatkan dana di bank sentral jika kepentingannya untuk menjaga tingkat nonperforming loans (NPL) atau kredit macet di level rendah. Namun, kebijakan menempatkan dana di BI bukan tanpa masalah karena hal itu berarti bank tidak menjalankan fungsi intermediasi. Ini bisa dilihat dari masih rendahnya tingkat loans to deposit ratio (LDR).
Terlalu berlebihan kalau menuduh perbankan pelit menurunkan suku bunga pinjamannya. Realitas di lapangan sesungguhnya menunjukkan bahwa suku bunga kredit sudah mulai Turun. Lihat saja suku bunga kredit consumer seperti KPR, sekarang di level single digit (di bawah 10%). Bahkan ada bank memasang bunga KPR 7,5%. Untuk kredit komersial (modal kerja dan investasi), beberapa bank mematok bunga 10-11%. Itu semua menunjukkan keseriusan perbankan menurunkan bunga kreditnya.
Memang, penurunan BI rate tidak akan serta merta menggairahkan sektor riil. Kebijakan itu harus diikuti keberanian perbankan ekspansi kredit ke sektor produktif bukan hanya konsumtif. Selain itu, sisi fiskal harus dibenahi, tidak hanya mengutak-atik sisi moneter (suku bunga ), tapi berkoordinasi dengan pemerintah sebagai upaya membangkitkan dunia usaha. Itu bisa dilakukan dengan memberikan berbagai insentif dan serangkaian regulasi yang kondusif untuk kebangkitan sektor riil.
Regulasi Kondusif
Selama ini banyak sektor riil belum bankable, dalam arti layak menerima kredit. Terlebih usaha baru, yang belum terbukti (proven) andal menangani pembiayaan bank. Tak aneh, bila masalahnya adalah rendahnya daya serap sektor riil terhadap kredit bank. Bank sebenarnya sudah gencar memasarkan kredit (modal kerja ataupun investasi), namun sisi sektor riil belumlah siap. Selain itu, masih tingginya un-use plafond atau undisbursed loan menjadikan kredit yang sudah dikucurkan menjadi mubazir.
Memburuknya pasar ekspor ke Eropa dan AS akibat krisis ekonomi global, semestinya disiasati dengan membuka pasar di negara lain yang masih potensial. Kondisi sebaliknya, di Indonesia investasi langsung dari luar negeri (foreign direct investment/ FDI) masih sangat lemah. Investor asing masih senang hit and run dalam bentuk portfolio investment. Investor asing tahu bahwa kondisi makroekonomi Indonesia telah membaik sehingga menciptakan ruang yang cukup untuk berusaha. Namun, mereka tidak mantap untuk masuk karena masalah ketidakpastian hukum, minimnya insentif investasi, dan panjangnya prosedur perizinan.
Karena itu, pekerjaan rumah Indonesia masih cukup banyak. Selain sektor moneter (suku bunga), pemerintah perlu membenahi sisi fiskal, yakni sederetan regulasi yang kondusif bagi investasi asing. Posisi rating surat utang layak investasi (investment grade) yang diraih Indonesia, semestinya berkorelasi poisitif dengan banjirnya investasi asing dalam bentuk FDI, bukan sekadar portfolio investment di pasar modal/uang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar