Budaya
dan Penegakan Hukum Instan
Ade Maman Suherman, DOSEN FAKULTAS
HUKUM UNSOED
Sumber
: REPUBLIKA, 17
Februari 2012
Kemerdekaan
NKRI diraih melalui perjalanan panjang dan di tebus dengan tumpahan darah serta
air mata, juga harta benda pusaka nusantara. Jenderal Soedirman menghibur dan
menabahkan hati para tentara yang hijrah ke luar daerah garis van Mook, di
Borobudur menegaskan, “kamu bukanlah tentara sewaan, tetapi prajurit yang
berideologi yang sanggup berjuang dan menempuh maut untuk keluhuran Tanah
Airmu. Percaya dan yakinlah, kemerdekaan suatu negara yang didirikan di atas
timbunan reruntuhan ribuan jiwa, harta benda dari rakyat dan bangsanya, tidak
akan dapat dihapuskan oleh manusia siapa pun juga.“
Sesungguhnya
tidak dalam hitungan hari, bulan, atau tahun, tetapi tiga setengah abad
nusantara dijajah dan selama itu pula para pejuang berusaha meraih hak kodrati
sebagai manusia. Dan, sebagai bangsa, yakni suatu kemerdekaan. Sungguh ironis
dan menyedihkan, hampir semua elemen bangsa terkontaminasi budaya instan, baik
di bidang politik, hukum, edukasi, olahraga, maupun aspek lainnya.
Boleh
jadi, manusia-manusia instan masih terbelenggu legenda masa lampau, yakni Loro
Jonggrang. Dia hanya membutuhkan waktu satu malam untuk membuat 1.000 candi. Atau
mereka terpengaruh kisah Sangkuriang cerita rakyat Sunda yang sangat melegenda
dengan Gunung Tangkuban Perahunya, serta kisah jin Aladin dari dongeng negeri
Timur Tengah.
Saatnya
berkontemplasi untuk penyadaran kolektif bahwa segala sesuatu memerlukan
proses. Sehingga tercapai suatu kesempurnaan, keseimbangan, dan keaba dian.
Pendekatan teologis menunjukkan Tuhan pun menciptakan alam semesta dalam suatu
proses panjang.
Sesungguhnya,
Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa,
lalu Dia bersemayam di atas Arasy. Dia menutupkan malam kepada siang yang
mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan, dan
bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintahNya. Ingatlah,
menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam. (QS 7:54).
Edukasi Instan
Lebih
memprihatinkan, di negeri ini, sektor pendidikan sebagai jantung character
building bangsa telah melacurkan diri. Pada dunia kapitalis sekuler yang jauh
dari keberpihakan dan menjunjung tinggi etika akademik.
Disajikannya
paket eksekutif untuk kalangan tertentu, servis plus dengan biaya pendidikan
dua kali lipat dari program reguler dan program eksekutif. Pasti lebih cepat
daripada program reguler dan sungguh tidak ada bedanya dengan pesan tiket
kereta api, apakah mau kelas ekonomi, kelas bisnis, atau eksekutif.
Secara
kultural masyarakat kita termasuk `gila gelar, gelar gila' yang diidentifikasi
oleh almarhum Rektor IPB Andi Hakim Nasution. Dunia pendidikan tinggi hukum di
Indonesia telah mengadopsi tren bisnis pendidikan hukum.
Sejumlah
perguruan tinggi negeri terkemuka telah menangkap peluang pasar. Di mana,
ketika ada permintaan (demand) tinggi, harga akan tinggi dengan kelas
eksekutifnya dilengkapi fasilitas serba mewah.
Tidak
mengherankan apabila output pendidikan semacam itu akhirnya menuntut
fasilitas-fasilitas yang elite, lux. Walaupun mencederai rasa keadilan
masyarakat, fenomena ini selayaknya mendapat perhatian yang mema dai oleh
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang saat ini menggaungkan pendidikan
berkarakter. Namun, yang pasti bukan dengan pendekatan bisnis semata.
Ingar-bingar
dan kegaduhan politik di Indonesia serta diiringi kegenitan politikus debutan
memperparah ketatanegaraan dan tata krama berbangsa. Megakorupsi Bank Century
disusul dengan skandal Wisma Atlet sampai yang terkini sulapan ruangan Banggar
DPR sebagai teather of dream yang antisadap.
Di
antara kasus tersebut, proyek wisma atlet menjadi primadona yang melibatkan
sejumlah fungsionaris partai penguasa (ruling party). Megaproyek super instan
yang bernama Wisma Atlet sungguh ironis. Di era modern dan profesional karena
projek tersebut diselesaikan dengan filosofi dan etos kerja Roro Jonggrang
ataupun Sangkuriang.
Para
pengelola negara yang sekaligus pengusaha dan penguasa khilaf dan alpa bahwa
alkisah tersebut adalah legenda dari simbol pertalian asmara, yang tidak
memerlukan transparansi dan akuntabilitas publik serta anggaran publik.
Semestinya,
kita meneladani sebuah mahakarya bernama Taj mahal. Musoleum Taj mahal yang
dibangun selama 22 tahun oleh Shah Jehan sebagai musoleum untuk mengenang istri
tercintanya, Mumtaz ul Zamani yang lebih dikenal sebagai Mumtaz Mahal. Sebuah
arsitektur atas nama cinta yang menjadi satu bangunan terindah di dunia.
Pengadilan Instan
Ketika
sistem pendidikan telah terperangkap oleh budaya instan, konsekuensi lanjutan
adalah semua aspek kehidupan akan menjadi suatu yang instan termasuk dunia
peradilan.
KPK
jilid satu sampai tiga termasuk Pengadilan Tipikor yang notabene
digadang-gadang mampu memberikan keadilan bagi ma syarakat. Untuk mengadili
para koruptor, jadi contohnya. Kedua lembaga yang instan bahkan superinstan itu
mengalami friksi dan dilanda minimnya kompetensi hakim tipikor di sejumlah
daerah yang memutus bebas sebagian besar koruptor.
UU
No 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor mengamatkan, pembentukan Pengadilan
Tipikor di seluruh Indonesia dalam waktu dua tahun. Di mana akhir 2011 MA harus
sudah membentuk 33 Pengadilan Tipikor.
Apabila
menyoalkan kinerja sungguh memprihatinkan. Putusan Pengadilan Tipikor di
Bandung yang memutus bebas Wali Kota Bekasi nonaktif Mochtar Mohamad menjadi
pukulan telak bagi KPK. Putusan tersebut dapat menunjukkan sumber daya manusia
di KPK masih lemah dalam melakukan penyidikan terhadap suatu kasus atau perkara
korupsi.
Bagaimana
kualitas penyidik dan hakim Tipikor di daerah. Jika penyidik sekaliber KPK
tidak kapabel untuk membuktikan dakwaannya. Budaya instan tengah disuguhkan
pada publik. Betapa nafsu dan gaya hedonis politisi instan yang juga dibangun
dari partai dan sistem politik yang relatif instan ikut berkontribusi pada
budaya korup. Hal ini juga tidak terlepas dari sistem pendidikan tinggi hukum
yang serbainstan, baik dari jenjang strata satu, magister, maupun doktor.
Sejarah menunjukan produk instan tidak akan
mampu memberikan pelayanan dan kinerja serta output yang optimal. Apalagi,
memuaskan bahkan boleh jadi memuakkan. Sebagai ilustrasi apabila layaknya kita
mengonsumsi mi instan, aromanya menggoda, siap saji, mudah dikonsumsi, tetapi
sesungguhnya itu kepuasan sesaat. Dan, sesaat kemudian perut lapar kembali,
perih, dan tidak bertenaga. Itulah, Republik Instanesia tidak bertenaga
mengatasi masalah dan terus berkutat dengan masalah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar