Mentalitas
Dendam pada Kemiskinan
Kurnia
JR, SASTRAWAN
Sumber
: KOMPAS, 20
Februari 2012
Pasca-1998 lumrah beredar ”kisah sukses”
orang-orang yang mendadak jadi politikus dan masuk komunitas elite Senayan,
lalu kaya dalam semalam.
Segelintir anggota partai yang menang
pemilihan umum juga menikmati keberuntungan mengisi pos-pos dalam struktur
pemerintahan. Beberapa di antaranya mengalami kemujuran finansial yang serupa
dengan rekan-rekan mereka di parlemen.
Tak begitu lama setelah deru dan debu gerakan
reformasi mahasiswa lindap, media massa menerbitkan kisah orang-orang yang
sebelumnya hidup pas-pasan—bahkan tak memiliki alamat tetap, tanpa akses ke
pusaran kekuasaan—tiba-tiba harus belajar etiket berbusana formal: jas plus
dasi. Juga mulai kenal perangkat komunikasi canggih yang menyuguhkan
kenyamanan, sekaligus membuka pintu ke dunia hedonistis.
Kegiatan sidang parlemen dan keharusan tampil
formal di muka umum membuat mereka selalu necis. Fasilitas dan berbagai
tunjangan jabatan menciptakan kondisi serba ada bagi mereka. Kehadiran staf,
asisten, sekretaris, ajudan—apa pun istilahnya—melengkapkan rasa dilayani dalam
segala hal. Daftar relasi bertambah dengan nama-nama pebisnis besar yang acap
kali murah hati menawarkan aneka kesenangan pribadi. Imbalannya hanya suara
dalam pembahasan RUU atau tender proyek negara.
Kini mata pena mereka sangat sakti. Tanda
tangan maupun perkongsian gelap yang lazim dibentuk di hotel-hotel mendatangkan
keuntungan yang lebih besar lagi. Makin komplet kenikmatan yang bisa direguk,
terbuka jalan tol untuk melupakan kemelaratan pada masa lalu.
Kewajiban menyerahkan laporan harta kekayaan
kepada pejabat publik dan wakil rakyat tak efektif untuk menginspirasikan
kejujuran. Rakyat pun lantas menyaksikan perilaku norak kelas sosial baru yang
gemar pamer mobil dan retorika sembari korupsi gila-gilaan.
Padahal, angin segar sempat kita rasakan
setelah 21 Mei 1998. Satu-dua tahun pertama, para pegawai di berbagai instansi
pemerintah tampak sungkan menarik pungutan liar di loket-loket pelayanan
publik. Heroisme mahasiswa selama 1997–1998 membuat banyak PNS tiarap. Ada
kecenderungan jajaran bawah birokrasi siap berubah jadi efisien dan bersih.
Kala itu, yang ditunggu hanyalah kehadiran
pemimpin yang teguh menunaikan amanat reformasi dan membawa bahtera negara ke
kondisi yang lebih baik. Untuk tahap pertama, pada dasarnya, rakyat tak
menuntut banyak kecuali terselenggaranya pelayanan administratif yang bersih
dari pungli agar biaya hidup dan usaha tak jadi mahal.
Api
Reformasi Meredup
Tak dinyana, kobaran api reformasi meredup,
bahkan arang kayunya mendingin dengan lekas. Para tokoh gerakan reformasi yang
sukses menyokong mahasiswa menumbangkan Soeharto tak mampu melawan pembusukan
di lembaga legislatif. Juga di eksekutif dan yudikatif.
Tak lama kemudian, halaman muka surat kabar
dipenuhi wajah para pejabat dan wakil rakyat yang tertangkap basah
menyelewengkan amanat. Ada yang menerima uang suap, ada pula yang jadi aktor
video porno dalam format telepon seluler. Berita tentang ijazah dan gelar palsu
menambah fakta memalukan.
Sejak dibentuk, Komisi Pemberantasan Korupsi
menggelandang banyak petinggi negeri dan selebritas politik sebagai koruptor.
Hampir 14 tahun berlalu sejak robohnya Orde Baru, KPK justru bertambah sibuk.
Tempaan hidup prihatin tak membuat para
pejabat negara dan politikus tangguh melawan godaan saat kunci kas negara
tergenggam di tangan. Kolega mereka yang lebih dulu kaya berkat jabatan publik
maupun politis sebelumnya justru makin giat memperbesar kapital. Akibatnya,
kesiapan PNS level menengah ke bawah untuk bekerja jujur serta menjunjung hukum
dan etika ditelantarkan. Maka, lewatlah momentum emas bagi pemerintahan yang
bersih.
Sekarang kita memikul akibat dari
pemberangusan budaya yang dilakukan secara sistematis oleh rezim Orde Baru.
Budaya malu tak menghiasi jati diri kita. Budaya kerja tak disertai watak jujur
dan penghargaan pada proses. Hipokrisi dan aji mumpung mewarnai segala urusan.
Premanisme dalam bisnis dan politik jadi borok yang justru dinikmati para
penyandangnya. Borok itu menginfeksi budaya luhur yang seharusnya kita usung.
Mereka yang mestinya memperbaiki sistem malah
ditelan pusaran. Tiada inspirasi yang terbetik dari pengorbanan para martir
dalam gerakan mahasiswa 1998. Kian hari kian mencolok pemanjaan diri yang
mengarah ke hedonisme amoral. Mereka tahu pahitnya kemiskinan, tetapi tiada
kemauan untuk menyejahterakan rakyat jelata selagi otoritas ada di tangan.
Ubi societas, ibi justicia. Di mana ada
masyarakat, di sana ada hukum. Sewajarnya, para penyelenggara negara mewaspadai
ungkapan ini, tetapi mereka terlalu sibuk memuaskan dendam pribadi terhadap
kondisi marjinal yang pernah mereka alami secara membabi buta. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar