Rabu, 13 Juli 2022

Wawancara Direktur Utama Garuda Indonesia Setelah Gagal Bangkrut

Abdul Manan  ;  Jurnalis Majalah Tempo

MAJALAH TEMPO, 9 Juli 2022

 

 

                                                           

IRFAN Setiaputra memimpin PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk setelah dikeluarkannya keputusan rapat umum pemegang saham luar biasa pada 22 Januari 2020. Ia menggantikan direktur utama sebelumnya, Ari Askhara, yang dicopot bersama direktur lainnya karena tersandung kasus. Utang yang menggunung juga membuat badan usaha milik negara (BUMN) ini digugat pailit oleh sejumlah kreditor dan menang dalam penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) yang disahkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Jumat, 17 Juni lalu.

 

Krisis keuangan yang dihadapi Garuda mendorong perusahaan ini melakukan perampingan jumlah pegawai dan pemotongan gaji, di samping meninjau rute-rute penerbangannya. Jika pemotongan gaji tidak dilakukan di tengah proses PKPU, maskapai ini bisa tutup. “Gaji saya (karena pemotongan) lebih rendah daripada direktur utama BUMN gurem. Dibanding petinggi ACT (yang sekitar Rp 250 juta), tidak ada apa-apanya,” katanya kepada wartawan Tempo, Khairul Anam, Abdul Manan, dan Aisha Sadra, di sebuah gerai makan di Pacific Place, Jakarta, Kamis, 7 Juli lalu.

 

Irfan menjelaskan betapa keras dan alotnya perundingan Garuda dengan para kreditor, termasuk proposal bisnisnya untuk memulihkan keadaan. Pria kelahiran Jakarta ini juga optimistis Garuda bisa untung lebih cepat dari target tiga tahun. Dia juga menginginkan perubahan budaya perusahaan agar Garuda tak lagi diguncang skandal dan korupsi.

 

Apa saja yang dilakukan Garuda setelah PKPU ditandatangani?

 

Setelah PKPU diketuk, kami sebenarnya sudah sign-sign juga sama mereka (pemilik saham). Pada dasarnya, dalam 30 hari ke depan, bagi mereka yang setuju, sudah (tinggal) proses administratif. Bagi yang enggak setuju, mungkin agak menantang untuk memperoleh keinginan mereka itu. Tapi, secara hukum, mereka mesti mengikutinya. Kemudian, ya, tentu saja, kayak perbankan, BUMN mesti diadendumkan kontrak-kontraknya, perjanjian pinjamannya, ekuitas (pengalihan utang ke saham), dan new coupon bond. Kalau ekuitas mesti menunggu. Kami mesti mengadakan RUPS dulu.

 

Upaya lain dalam opsi penyelamatan Garuda?

 

Pada waktu mengajukan permohonan restrukturisasi utang, kami pada saat bersamaan menegosiasikan kontrak ke depan. Tapi dalam proses itu yang kami selalu kedepankan bukan negosiasi tawar-menawar kayak di pasar. Ini, lho, kami (Garuda) ke depan. Kami bilang, ini rencana bisnis kami, basis profitabilitasnya. Mereka memang ada yang mengatakan, “Wah, kamu sign beggar (mengemis).” Bikin perencanaan yang gampang. Saya bilang, saya dengan mudah bisa bikin perencanaan yang agresif. Terus ngapain enggak dibuat? Karena itu omong kosong. Enggak ada yang percaya juga. Yang paling penting, perencanaan kami menantang tapi masuk akal untuk dikejar.

 

Apa lagi yang disampaikan untuk meyakinkan kreditor?

 

Kami menjelaskan berdasarkan profitabilitas. Kami akan berfokus pada rute-rute yang menguntungkan. Entah bagaimana caranya dengan organisasi yang lebih ramping, dengan sistem teknologi informasi, kami fokus ke ancillary (dukungan tambahan). Banyak lagi turunannya. Tapi, saat bertemu lessor (penyedia jasa pinjaman) dan kreditor, mereka bilang (rencana bisnis kami) masuk akal. Memang rencana bisnis itu beberapa kali berubah. Justru itulah pentingnya negosiasi. Pada waktu negosiasi, kami memang membuka ruang untuk mereka pertanyakan dan datang dengan ide baru. Pertama, kami akan jadi lebih ramping. Tapi ujungnya begini: jumlah pesawat lebih sedikit. Kami hanya akan terbang ke rute yang menguntungkan.

 

Selama ini sebagian rute Garuda sifatnya penugasan atau permintaan dari BUMN, kementerian, dan sebagainya?

 

BUMN tidak pernah meminta. Yang lain yang minta. Makanya saya berterima kasih sekali teman-teman terus mengikuti dan menyampaikan ini. Menteri BUMN Erick Thohir, Pak Tiko (Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo) di banyak forum selalu berbicara juga. Jadi penugasan enggak bisa an sich penugasan. Penugasan mesti punya justifikasi profitabilitas. Saya bilang, yang sering meminta rute baru adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Mereka, kan, kepentingan konstituen. Wajar, dong. Saya juga sangat menghormati. Walaupun kadang-kadang, menurut saya, tidak masuk akal. Ada dari DPR, para menteri, tentu saja dengan tugas mereka masing-masing. Pak Sandiaga Uno (Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif), misalnya, kan mau mengembangkan pariwisata. Masak Garuda tidak terbang (ke sana). Wajar, kan? Dan enggak ada yang enggak masuk akal. Gubernur, bupati, wali kota, kelompok pengusaha, pengekspor, dan yang terakhir duta besar untuk rute ke luar negeri. Ada duta besar asing yang datang ke kami, “Bisa enggak ke negara saya?” Tapi (situasi) ini memberi kami posisi yang kuat karena saya enggak dimandatkan untuk terbang ke mana-mana. Saya bilang kepada beberapa teman, kami enggak bisa (memenuhi permintaan itu). Sudah rugi. Mau lihat Garuda bangkrut lagi dan mau memasukkan duit lagi di sini? Tapi ada beberapa diskusi. Pertama, ya sudah, Garuda enggak bisa, Citilink oke enggak terbang ke situ? Kedua, ya, jangan cuma minta. Kalau mau, partisipasi, dong. Misalnya, apa pun kejadiannya, bayar 60 persen. Asyik, kan. Give and take, dong.

 

Seperti skema dalam penerbangan perintisnya?

 

Ya, misalnya, bisa saja mereka bilang, kawan (maskapai) sebelah terbang. Kalau sebelah terbang, kenapa minta Garuda terbang? Kemarin mungkin mendengar soal Pak Presiden Joko Widodo dan Presiden Rusia Vladimir Putin (bertemu). Ada yang datang ke saya mengatakan, “Terbang, ya, Moskow-Denpasar.” Saya sampaikan, “Lagi enggak ada pesawat.” Jadi poin-poin saya adalah bahwa kami hari ini (kami) punya kewenangan, saya khususnya, dalam menghadapi permintaan seperti itu untuk nanti bilang, “Sorry, enggak bisa.” Jadi saya tidak diserang. Alhamdulillah, semua orang akhirnya mendengar.

 

Bagaimana memastikan pemimpin berikutnya punya sikap seperti itu?

 

Kami, kan, akhirnya bisa membangun sebuah sistem tertentu, tapi pada akhirnya tergantung pada pribadi, ya. Saya ingin membangun dan tidak ingin memberi beban kepada pengganti saya soal (pembukaan rute baru) itu tercantum dalam rencana bisnis. Dan itu harus menguntungkan. Kami sedang memakai konsultan untuk menghitung terbang ke tempat mana yang bisa dikatakan untung. Jadi, kalau ada yang ngotot, bisa kami buka dan katakan, “Kalau bapak mau ngotot terbang ke sini, jumlah kelas ekonomi sekian, kelas bisnis sekian, harganya sekian, kargo sekian, mari kita bicara. Mari kita cari solusi.” Jadi, salah satu solusinya, pemerintah daerah juga terlibat dalam proses ini. Misalnya, dengan menggunakan anggaran pendapatan dan belanja daerah. Kalau, menurut dia, penting (membuka rute) untuk pembangunan daerah, kan, tidak ada salahnya. Kan, saya tidak malingin duit itu.

 

Berapa rute yang nanti akan dipangkas?

 

Rute sebisa mungkin tidak kami pangkas, tapi mungkin frekuensinya diturunkan. Akhirnya tak bisa tidak ada beberapa rute yang enggak kami layani. Tapi kami juga enggak zalim. Kami ajak Citilink masuk. Contohnya Gunung Sitoli. Rute Gunung Sitoli bikin kami babak belur. Citilink mau terbang ke sana sekarang memakai (pesawat jenis) ATR yang sama.

 

Apakah Garuda akan meninggalkan sejumlah rute dan hanya akan terbang ke kota-kota besar?

 

Jangan dikatakan meninggalkan. Tepatnya, kami menyeimbangkan. Saya tidak mau mengatakan (hanya terbang) ke kota-kota besar. Saya ingin mengatakan (rute) yang memberi keuntungan karena mandat. Masalah besar penerbangan di situ: terbang ke mana-mana, punya pesawat apa saja, gagah perkasa, dan keren. Tapi, kalau pesawatnya kosong terus, akan jadi beban berkepanjangan. Kan, jadi enggak pas. Kan, ada yang mesti menutupi beban itu. Salah satunya rute yang untung yang menutupinya. Tapi apakah sanggup begitu? Ini perusahaan, kan, harus membanggakan bukan dari terbang ke mana-mana, tapi harus enggak ada lagi skandal, enggak ada korupsi, dan menghasilkan untung.

 

Ketika nanti penyertaan modal negara (PMN) Rp 7,5 triliun masuk, saham pemerintah jadi berapa?

 

PMN yang masuk itu akan dihitung di harga saham berapa? Penentuan harga saham yang paling benar, kan, pakai evaluator. Tentu saja akan sangat dipengaruhi oleh pemegang saham sekarang. Tapi pemegang saham sekarang, kan, ada yang masukin, ada yang enggak. Yang enggak masukin kan terdelusi (penurunan persentase kepemilikan saham). Tapi intinya adalah, sebelum duit itu (masuk), sudah terdelusi semua saham sekarang, termasuk pemerintah. Dengan (PMN) itu masuk, termasuk mereka (pemilik saham lain) yang masuk nanti, komposisi pemegang saham sekarang adalah pemerintah, Chairul Tanjung, publik, dan kreditor.

 

Sudah ada penjajakan ke Etihad dan Emirates?

 

Saya pergi mendampingi Menteri BUMN Pak Erick. Kami ketemu Emirates, Etihad. Saya hanya pendamping. Tidak pas saya yang bicara. Tapi memang semua orang tahu bahwa negara sebagai pemegang saham. DPR sudah membuka kemungkinan untuk menjadi investor baru.

 

Kerja samanya akan seperti apa?

 

Masih asumsi, ya. Investor ada yang kerja sama strategis, ada finansial. Pak Erick memang berharap ke depan Garuda, selain dapat duit, juga dapat mitra. Tapi, kan, bisa jadi nanti ketemu Qatar, Singapore Airlines, KLM. Ini akan ketemunya maskapai level flag national carrier dan full services, enggak mungkin yang LCC (penerbangan bertarif rendah). Tapi semuanya masih penjajakan. Dan kami juga belum tahu diskusi dengan mitra strategis ini waktu yang baik apa enggak hari ini. Nanti akhirnya akan diputuskan dan sangat menentukan setelah putaran pertama. Kalau saya sebagai manajemen, (yang pas diajak kerja sama adalah) siapa saja yang bawa duit.

 

Dana PMN itu apakah cukup untuk modal kerja Garuda?

 

Enggak cukup. Rp 7,5 triliun itu mayoritas akan dipakai buat pemulihan pesawat. Buat menghidupkan pesawat. Biar dapat melayani. Yang jelas enggak buat bayar utang.

 

Kasus korupsi yang menjerat mantan Direktur Utama Garuda, Emirsyah Satar, apakah berpengaruh pada kinerja perusahaan?

 

Capek. Saya dipanggil-panggil kejaksaan. Di negara ini (kami) suka dicampurin. Chief executive officer tugasnya ke depan. CEO menelan apa pun yang ada pada saat itu dan tidak bertanya kenapa, lalu perbaiki. Begitu saya diganti, saya berharap pengganti saya juga begitu. Terus bergerak maju. Betul, kami mesti sekali-kali lihat ke belakang supaya kejadian tidak berulang. Tapi, kalau melihat ke belakang terus, dengan postur tinggi badan saya ini, kalau saya jalan lihat ke belakang, pasti terantuk. Sesekali saja lihat ke belakang pakai kaca spion. Itulah tugas CEO.

 

Bagaimana mekanisme internal supaya kasus korupsi seperti itu tidak terjadi lagi?

 

Berdasarkan pengalaman governance mesti kami bangun yang benar. Yang paling penting adalah budayanya mesti diubah. Anda tahu panggilan saya di kantor? DZ. Itu kode untuk direktur utama Garuda di lingkungan internal. DW untuk komisaris, DF untuk direktur keuangan, atau DO untuk direktur operasi. Kalau saya pakai DZ, seluruh dunia aviasi tahu kalau saya direktur utama. Saya bisa beli pesawat, bisa beli tiket murah. Budaya mesti dibangun bahwa dalam perusahaan ini DZ tidak boleh bertitah. Orang tidak boleh minta arahan. Masalah di Garuda, kan, itu. Dia (CEO) bilang A, enggak ada yang berani bilang lain. (Budaya kritis) ini mesti dibangun. Apa syarat pertama? Kamu jangan panggil saya Pak DZ. Secara mindset itu dewa. Omongannya enggak boleh dibantah. Orang datang ke DZ minta arahan. Kalau ada apa-apa, saya yang salah.

 

Yang kedua, jangan minta arahan. Ini, kan, di BUMN terjadi. Ada orang datang meminta maaf. Saya tanya, kenapa? Salah kamu apa? “Saya minta maaf mau minta sampaikan berita ini.” Kenapa harus minta maaf? Kami sedang bangun ini. Ini mungkin lucu-lucuan, tapi fundamental. Berbuat saja. Kalau salah, minta maaf. Yang ketiga, jangan minta izin. Kalau kamu anggap penting buat perusahaan, lakukan. Ada banyak, lah, formula yang kami bikin. Tapi poinnya adalah enggak boleh ada orang yang begitu berkuasa sehingga bisa bilang, “Saya mau beli Bombardier CRJ.” Ya, enggak bisa (begitu).

 

Dampak kasus korupsi terhadap mantan pejabat itu apakah ada pengaruhnya bagi operasi Garuda?

 

Apa tugas saya sebagai direktur utama? Lihat ke depan. Oh, ada Bombardier CRJ. Saya tidak mau tanya kenapa dibeli. Ini kayaknya mesti diberhentiin, enggak cocok. Ya, kami berhentikan.

 

Berapa lama Garuda bisa kembali pulih seperti pada masa jayanya?

 

Apa definisi jaya Garuda? Saya tanya kepada orang Garuda, apa definisi kamu soal jaya? “Oh, Pak, kita terbang ke mana-mana. Terbang ke Oman, Zurich, Milan.” Ngapain?

 

Apa target Anda untuk kembali menghasilkan laba tiga tahun ke depan?

 

Tahun depan, lah. Masak seorang Irfan menunggu tiga tahun? Saya sudah 61 tahun. Tua amat direktur utama ini. Ini, kan, banyak anak muda cerdas, kasih (mereka) kesempatan. Waktu saya akan segera habis. Sebelum itu mesti untung.

 

Banyak maskapai penerbangan nasional di luar negeri yang tidak diselamatkan oleh negara. Kenapa Garuda perlu diselamatkan?

 

Dalam hal Garuda, pemerintah punya dua peran. Satu pemerintah, satu pemegang saham. Kalau perusahaan lagi susah, di mana-mana pemegang saham turun tangan. Kalau enggak mau begitu, ya, lepas (sahamnya). Negara, kan, kepentingannya memastikan ada konektivitas, makanya mereka bangun Pelita. Jadi (jaga-jaga) kalau Garuda ada apa-apa. Pun untuk mendapatkan PMN Rp 7,5 triliun, kan, syaratnya mesti menang dulu di PKPU.

 

Ada pandangan bahwa adanya saham pemerintah dikhawatirkan Garuda banyak dicampuri oleh titipan atau kepentingan politik?

 

Itu pandangan, kan. Ya, sudah. Saya tidak bisa bilang apa-apa. Orang bebas punya pandangan.

 

Bagaimana membuat Garuda tetap profesional meski ada saham pemerintah?

 

Secara keseluruhan, kami mesti bangun sistem, mekanisme, sehingga intervensi minimal. Kebetulan sekarang ada saya di sini yang bisa bilang “tidak”. Tapi, kan, mesti dibangun sistem dan ini saling checks and balances. Kalau nanti ada direktur utama yang begitu, bisa saling mengingatkan. Saya kasih tahu mengapa maskapai sangat menantang. Karena industri ini marginnya tipis. Tidak seperti batu bara, minyak, bank. Kamu tidak boleh melakukan sebuah kebijakan yang salah. Implikasinya panjang. Dan margin tipis ini goyangannya tinggi.

 

Sumber :   https://majalah.tempo.co/read/wawancara/166383/wawancara-direktur-utama-garuda-indonesia-setelah-gagal-bangkrut

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar