Suara Kritis Alumnus Tamansiswa Shinta Maharani : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 9
Juli
2022
BANYAK alumnus dan mantan
pengurus Tamansiswa adalah seniman dan penulis ternama. Mereka gusar melihat
perkembangan Tamansiswa. Mereka berharap momen satu abad usia Tamansiswa bisa
menjadi titik balik bagi kebangkitannya. Tamansiswa alias Tamsis beserta
majelis luhurnya harus meninggalkan kultur feodal. Juga kembali memproduksi
gagasan-gagasan kebudayaan dan kebangsaan yang segar, kreatif, humanis, dan
aktual. Berikut ini pandangan
Butet Kartaredjasa (teaterawan), Syahnagra Ismail (perupa), Yayak Yatmaka
(perupa, aktivis lingkungan), dan Ki Darmaningtyas (penulis, pengurus Majelis
Luhur Persatuan Tamansiswa 2007-2012) tentang Tamansiswa. *** Butet
Kartaredjasa KEMUNDURAN Tamansiswa,
bacaan saya, terjadi karena faktor kepemimpinan di majelis luhurnya. Sebagai
nakhoda, pemimpin Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa berperan penting membawa
nilai-nilai atau ajaran Tamansiswa. Pemimpin Majelis Luhur pernah dijabat
orang yang berlatar belakang militer dan ekonom. Jadi mereka bukan pamong
atau orang yang punya semangat murni ajaran Tamansiswa. Dengan latar belakang
itu, apakah mereka benar-benar menjadi ahli waris pemikiran-pemikiran Ki
Hadjar Dewantara? Saya belajar di Sekolah
Taman Dewasa Ibu Pawiyatan (setingkat sekolah menengah pertama) pada
1975-1977. Yang menarik buat saya adalah ajaran Tamansiswa di luar kurikulum.
Contohnya pentingnya hubungan antara pamong dan murid. Dulu yang diajarkan
sesuai dengan yang dicita-citakan Ki Hadjar. Kesenian sangat diperhatikan.
Ada kelas-kelas ekstrakurikuler, misalnya menari, pencak silat, dan membaca
karya sastra. Semua murid antusias mengikuti pelajaran itu. Saya mengenal sastra saat
belajar di Tamansiswa. Pamong mendorong setiap murid agar rajin membaca karya
sastra dan membuat sinopsis. Saya memilih membaca novel berjudul Gairah Emas
Hitam terbitan Pustaka Jaya. Saya membacanya dengan tekun, lalu membuat
sinopsisnya. Selain itu, saya membaca puisi di kelas. Otomatis dari situ saya
banyak mengenal karya sastra. Saya juga ingat Tamansiswa
mengajarkan pertunjukan Langen Carita kepada semua siswanya. Pamongnya Ki
Sukatno. Pertunjukan diajarkan kepada anak-anak Taman Kanak-kanak Indria dan
Taman Muda. Cerita rakyat dimainkan murid dengan nyanyian, tarian, dan seni
karawitan. Nilai-nilai pendidikan Tamansiswa itu menjadi modal dan memperkuat
pilihan hidupnya di jalan kesenian dan kebudayaan. Visi kebangsaan juga ia
dapatkan dari sekolah itu. Tamansiswa sangat
memperhatikan pengajaran seni dan budaya karena membentuk kepribadian dan
nilai-nilai yang diusung Ki Hadjar. Tapi sekarang saya tidak pernah
mendengarnya lagi. Saya tidak tahu apakah kegiatan ekstrakurikuler seperti
tari, karawitan, pencak silat, dan membaca sastra masih ada atau tidak. Saya
juga tidak tahu kiprah atau sepak terjang Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa
yang sekarang seperti apa. SAYA punya banyak kritik
terhadap situasi Tamansiswa sekarang yang mengalami kemunduran karena tidak
memperhatikan sisi kebudayaan. Saat melihat pentas drama musikal tiga babak
pada puncak peringatan seabad usia Tamansiswa di pendapa, saya menangis
terus. Saya sangat emosional karena pentas ini saya rindukan sejak puluhan
tahun lalu sebagai alumnus. Yang bekerja keras menyiapkan pertunjukan itu
para alumnus. Pada 1970-an, saya ingat
pendapa Tamansiswa ramai sekali karena banyak pentas tari dan gamelan. Waktu
itu setiap hari di pendapa saya melihat orang nembang dan bermain gamelan.
Sekarang itu tidak ada lagi. Pendapa sepi. Orang yang mau menggunakan pendapa
kini bahkan harus meminta izin dan membayar. Para alumnus pun kerap tidak
dilibatkan dalam kegiatan Tamansiswa. Kami tidak punya ruang untuk memberi
masukan. Kekuatan Tamansiswa adalah
pendapa, perpustakaan, dan museum. Ki Hadjar Dewantara membangun tiga fondasi
penting itu untuk kemajuan Tamansiswa. Pendapa menjadi tempat membangun
hubungan masyarakat, perpustakaan untuk membangun kecerdasan, dan museum untuk
menghargai manusia. Ketiganya tidak diurus dengan baik. Saya mengkritik
Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa saat ini yang tidak memperhatikan tiga
kekuatan itu. Kondisi Tamansiswa saat
ini mandek, seperti api dalam sekam. Tamansiswa tidak sukses karena kebudayaan
tidak diurus. Yang dikembangkan hanya pendidikan, yakni dalam bentuk
pembangunan gedung. Kalau Tamansiswa mau bangkit, kebudayaan harus dibangun
dan pemimpin Majelis Luhur harus punya sikap, pandangan kebudayaan yang kuat,
dan latar belakang pemikiran Tamansiswa yang baik. Masalahnya, yang memilih
Ketua Umum Majelis Luhur selama ini hanya orang-orang yang punya status
keanggotaan tetap. Tamansiswa harus berani memilih orang yang punya pandangan
kebudayaan dan pendidikan yang hebat. Caranya, mengembalikan keluarga Ki
Hadjar Dewantara sebagai orang yang dihormati. Selama ini keluarga Ki Hadjar
tidak diberi peran. Suatu hari saya mendengar cucu Ki Hadjar pernah datang ke
pendapa dan hendak berfoto-foto, tapi tidak boleh dan harus meminta izin. Yayak
Yatmaka TAMANSISWA mengalami
kemerosotan dan krisis kepemimpinan karena nilai-nilai kolektivitas yang
dibangun Ki Hadjar Dewantara dihancurkan. Tamansiswa menjadi gersang karena
hal-hal pokok pengajaran di Tamansiswa tidak diperhatikan. Ini sangat kontras
dengan zaman saat Nyi Hadjar Dewantara menjadi Ketua Umum Majelis Luhur
Persatuan Tamansiswa pada 1960-an. Tatkala Nyi Hadjar memimpin Majelis Luhur,
saya mencecap pendidikan di Taman Kanak-kanak Indria dan Taman Muda
Tamansiswa (setingkat sekolah dasar). Saya belajar selama sembilan tahun
hingga 1969. Pohon yang tumbuh di sekitar pendapa Tamsis sangat rindang dan
kebunnya penuh buah. Dulu Ki Hadjar menanam banyak pohon yang berbiji dan
berbuah, misalnya pisang, jambu air, jambu batu, lengkeng, dan sawo. Prinsip
Ki Hadjar adalah semua orang bisa makan bersama dan senang. Saya paling senang
memanjat pohon jambu dan teman-teman menunggu saya menjatuhkan jambu di bawah
pohon. Itu pelajaran mendasar tentang pentingnya semangat kolektivitas untuk
anak-anak. Selain itu, semua anak bisa mementaskan operet bersama di pendapa.
Mereka semua menjadi bintang di panggung, meski posisinya paling belakang di
panggung, tidak mesti menjadi tokoh. Anak-anak di setiap kelas dulu mendapat
pelajaran tentang operet dan mementaskannya. Saya pernah memerankan tokoh
kancil. Operet itu bercerita
tentang orang-orang yang membuka hutan dan membangun kampung. Suatu hari saya
juga pernah memerankan tokoh Panembahan Senopati. Saya berpentas di depan
Bung Karno. Dulu anak-anak pun belajar menggambar bersama. Anak-anak juga
punya kebiasaan kembali ke sekolah setelah selesai belajar dan pulang ke
rumah masing-masing. Mereka betah dan senang karena bisa bermain. Menurut
saya, kebebasan bermain itulah yang menjadi fondasi, bagian dari belajar. Dulu orang tua tidak
pernah khawatir anak-anak menjadi liar karena pamong atau guru mendampingi
mereka setiap waktu. Mereka tinggal di rumah-rumah sekitar pendapa. Ki Hadjar
dan keluarganya tinggal di rumah yang kini menjadi Museum Dewantara. Nyi Hadjar
juga menekankan bahwa tidak boleh ada anak yang tidak bersekolah. Semua
pamong di sini punya kemampuan memainkan gamelan, bukan cuma nada pentatonik,
tapi juga diatonik. Tamansiswa indah dengan bebunyian. Sekarang bunyi
kendaraan bermotor yang bebas lalu-lalang yang terdengar. Ada juga Wisma Rini
Tamansiswa, asrama untuk perempuan. Kehidupan orang untuk belajar sangat
terasa setiap waktu, dari siang hingga malam. Sekarang Tamansiswa benar-benar
mundur. Suatu hari, para alumnus bereuni dan mengajak anak-anak di sekitar
sini menyanyikan lagu-lagu Tamansiswa, tapi tidak ada di antara mereka yang
tahu. Contohnya lagu berjudul “Ki Topro”. Dulu semua murid Tamansiswa hafal
lagu itu. Saya menangis betul merasakan situasi ini. Pengajaran dan lagu-lagu
Tamansiswa-lah yang membuat saya mencintai dunia anak-anak. Dari situ saya
banyak menciptakan lagu tentang anak-anak dan mengajari mereka menggambar. Ki
Darmaningtyas PADA awal kelahirannya,
Perguruan Tamansiswa bersifat kerakyatan dan kebangsaan. Ia terbuka bagi
semua warga. Bangsawan atau rakyat jelata dapat bersekolah di sana. Kehadiran
Tamansiswa merupakan oasis bagi semua warga yang haus akan pendidikan. Nama
Tamansiswa identik dengan simbol perlawanan terhadap kaum penjajah. Apalagi
ketika pemerintah kolonial mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar (1932).
Masyarakat meyakini bahwa bersekolah di Tamansiswa berarti mendukung
perlawanan terhadap kaum penjajah untuk mewujudkan kemerdekaan RI. Sayangnya, setelah masuk
Orde Baru, Perguruan Tamansiswa justru kehilangan peran yang strategis,
bahkan mengalami stagnasi dan kemudian kemunduran hingga sekarang.
Pasca-1965, setelah terjadi pembersihan di tubuh Tamansiswa dari unsur-unsur
kiri, Tamansiswa tiarap sampai akhir masa Orde Baru (32 tahun). Tiarap yang
terlalu lama inilah yang menurut saya membuat Tamansiswa tidak sempat
melakukan regenerasi dengan baik. Semangat perjuangan pendidikan dan
kebudayaan tidak ada lagi. Yang ada hanya persekolahan biasa dengan
murid-murid sisa dari sekolah negeri dan swasta yang lebih baik. Karena
kesejahteraan pamongnya rendah, yang bisa direkrut hanya pamong-pamong dengan
standar rendah pula. Akibatnya, kualitas pendidikan di Tamansiswa makin
merosot. Keberadaan Majelis Luhur
Persatuan Tamansiswa yang memayungi perguruan-perguruan Tamansiswa setali
tiga uang. Menurut saya, Majelis Luhur menjadi organisasi tertutup, tidak
terbuka seperti Muhammadiyah atau Nahdlatul Ulama tempat orang yang potensial
dan mau menjadi anggota/pengurus direkrut dan diberi kartu anggota. Di
Tamansiswa, yang memiliki kartu anggota hanyalah para pamong atau mantan
pamong yang menjadi pengurus cabang sehingga mereka tidak mampu mengembangkan
organisasi Majelis Luhur karena tidak memiliki jaringan dari luar. Bila Tamansiswa mau tetap
hidup dan berkembang, organisasi Majelis Luhur harus berubah dari berbentuk
yayasan menjadi perkumpulan sehingga memungkinkan masuknya orang luar yang
potensial dan berkomitmen memajukan Tamansiswa. Selama organisasi Majelis
Luhur berbentuk yayasan dan pengurusnya orang-orang dalam, yang memiliki
kartu anggota saja, selama itu pula Tamansiswa tidak akan berkembang. Majelis
Luhur sebaiknya dipimpin dan diurus oleh orang-orang yang mau menghidupi
Tamansiswa, bukan hanya mereka yang menumpang hidup, apalagi menumpang beken
di Tamansiswa. Orang-orang seperti itu hanya menjadi benalu sehingga lebih
baik disingkirkan. Pada tahun ini seharusnya
sudah ada pergantian pengurus Majelis Luhur, tapi kongres ditunda. Siapa pun
yang akan terpilih menjadi pengurus Majelis Luhur lima tahun ke depan, pekerjaan
rumah terbesar adalah menghidupkan kembali keberadaan Ibu Pawiyatan
Tamansiswa yang merupakan cikal bakal Perguruan Tamansiswa. Sungguh sangat
memalukan bila perguruan yang menjadi cikal bakal Tamansiswa itu sampai mati.
● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/selingan/166355/suara-kritis-alumnus-tamansiswa |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar