Rabu, 13 Juli 2022

 

Suara Kritis Alumnus Tamansiswa

Shinta Maharani :  Jurnalis Majalah Tempo

MAJALAH TEMPO, 9 Juli 2022

 

 

                                                           

BANYAK alumnus dan mantan pengurus Tamansiswa adalah seniman dan penulis ternama. Mereka gusar melihat perkembangan Tamansiswa. Mereka berharap momen satu abad usia Tamansiswa bisa menjadi titik balik bagi kebangkitannya. Tamansiswa alias Tamsis beserta majelis luhurnya harus meninggalkan kultur feodal. Juga kembali memproduksi gagasan-gagasan kebudayaan dan kebangsaan yang segar, kreatif, humanis, dan aktual.

 

Berikut ini pandangan Butet Kartaredjasa (teaterawan), Syahnagra Ismail (perupa), Yayak Yatmaka (perupa, aktivis lingkungan), dan Ki Darmaningtyas (penulis, pengurus Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa 2007-2012) tentang Tamansiswa.

 

***

Butet Kartaredjasa

 

KEMUNDURAN Tamansiswa, bacaan saya, terjadi karena faktor kepemimpinan di majelis luhurnya. Sebagai nakhoda, pemimpin Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa berperan penting membawa nilai-nilai atau ajaran Tamansiswa. Pemimpin Majelis Luhur pernah dijabat orang yang berlatar belakang militer dan ekonom. Jadi mereka bukan pamong atau orang yang punya semangat murni ajaran Tamansiswa. Dengan latar belakang itu, apakah mereka benar-benar menjadi ahli waris pemikiran-pemikiran Ki Hadjar Dewantara?

 

Saya belajar di Sekolah Taman Dewasa Ibu Pawiyatan (setingkat sekolah menengah pertama) pada 1975-1977. Yang menarik buat saya adalah ajaran Tamansiswa di luar kurikulum. Contohnya pentingnya hubungan antara pamong dan murid. Dulu yang diajarkan sesuai dengan yang dicita-citakan Ki Hadjar. Kesenian sangat diperhatikan. Ada kelas-kelas ekstrakurikuler, misalnya menari, pencak silat, dan membaca karya sastra. Semua murid antusias mengikuti pelajaran itu.

 

Saya mengenal sastra saat belajar di Tamansiswa. Pamong mendorong setiap murid agar rajin membaca karya sastra dan membuat sinopsis. Saya memilih membaca novel berjudul Gairah Emas Hitam terbitan Pustaka Jaya. Saya membacanya dengan tekun, lalu membuat sinopsisnya. Selain itu, saya membaca puisi di kelas. Otomatis dari situ saya banyak mengenal karya sastra.

 

Saya juga ingat Tamansiswa mengajarkan pertunjukan Langen Carita kepada semua siswanya. Pamongnya Ki Sukatno. Pertunjukan diajarkan kepada anak-anak Taman Kanak-kanak Indria dan Taman Muda. Cerita rakyat dimainkan murid dengan nyanyian, tarian, dan seni karawitan. Nilai-nilai pendidikan Tamansiswa itu menjadi modal dan memperkuat pilihan hidupnya di jalan kesenian dan kebudayaan. Visi kebangsaan juga ia dapatkan dari sekolah itu.

 

Tamansiswa sangat memperhatikan pengajaran seni dan budaya karena membentuk kepribadian dan nilai-nilai yang diusung Ki Hadjar. Tapi sekarang saya tidak pernah mendengarnya lagi. Saya tidak tahu apakah kegiatan ekstrakurikuler seperti tari, karawitan, pencak silat, dan membaca sastra masih ada atau tidak. Saya juga tidak tahu kiprah atau sepak terjang Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa yang sekarang seperti apa.

 

SAYA punya banyak kritik terhadap situasi Tamansiswa sekarang yang mengalami kemunduran karena tidak memperhatikan sisi kebudayaan. Saat melihat pentas drama musikal tiga babak pada puncak peringatan seabad usia Tamansiswa di pendapa, saya menangis terus. Saya sangat emosional karena pentas ini saya rindukan sejak puluhan tahun lalu sebagai alumnus. Yang bekerja keras menyiapkan pertunjukan itu para alumnus.

 

Pada 1970-an, saya ingat pendapa Tamansiswa ramai sekali karena banyak pentas tari dan gamelan. Waktu itu setiap hari di pendapa saya melihat orang nembang dan bermain gamelan. Sekarang itu tidak ada lagi. Pendapa sepi. Orang yang mau menggunakan pendapa kini bahkan harus meminta izin dan membayar. Para alumnus pun kerap tidak dilibatkan dalam kegiatan Tamansiswa. Kami tidak punya ruang untuk memberi masukan.

 

Kekuatan Tamansiswa adalah pendapa, perpustakaan, dan museum. Ki Hadjar Dewantara membangun tiga fondasi penting itu untuk kemajuan Tamansiswa. Pendapa menjadi tempat membangun hubungan masyarakat, perpustakaan untuk membangun kecerdasan, dan museum untuk menghargai manusia. Ketiganya tidak diurus dengan baik. Saya mengkritik Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa saat ini yang tidak memperhatikan tiga kekuatan itu.

 

Kondisi Tamansiswa saat ini mandek, seperti api dalam sekam. Tamansiswa tidak sukses karena kebudayaan tidak diurus. Yang dikembangkan hanya pendidikan, yakni dalam bentuk pembangunan gedung. Kalau Tamansiswa mau bangkit, kebudayaan harus dibangun dan pemimpin Majelis Luhur harus punya sikap, pandangan kebudayaan yang kuat, dan latar belakang pemikiran Tamansiswa yang baik.

 

Masalahnya, yang memilih Ketua Umum Majelis Luhur selama ini hanya orang-orang yang punya status keanggotaan tetap. Tamansiswa harus berani memilih orang yang punya pandangan kebudayaan dan pendidikan yang hebat. Caranya, mengembalikan keluarga Ki Hadjar Dewantara sebagai orang yang dihormati. Selama ini keluarga Ki Hadjar tidak diberi peran. Suatu hari saya mendengar cucu Ki Hadjar pernah datang ke pendapa dan hendak berfoto-foto, tapi tidak boleh dan harus meminta izin.

 

Yayak Yatmaka

 

TAMANSISWA mengalami kemerosotan dan krisis kepemimpinan karena nilai-nilai kolektivitas yang dibangun Ki Hadjar Dewantara dihancurkan. Tamansiswa menjadi gersang karena hal-hal pokok pengajaran di Tamansiswa tidak diperhatikan. Ini sangat kontras dengan zaman saat Nyi Hadjar Dewantara menjadi Ketua Umum Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa pada 1960-an. Tatkala Nyi Hadjar memimpin Majelis Luhur, saya mencecap pendidikan di Taman Kanak-kanak Indria dan Taman Muda Tamansiswa (setingkat sekolah dasar). Saya belajar selama sembilan tahun hingga 1969. Pohon yang tumbuh di sekitar pendapa Tamsis sangat rindang dan kebunnya penuh buah. Dulu Ki Hadjar menanam banyak pohon yang berbiji dan berbuah, misalnya pisang, jambu air, jambu batu, lengkeng, dan sawo. Prinsip Ki Hadjar adalah semua orang bisa makan bersama dan senang.

 

Saya paling senang memanjat pohon jambu dan teman-teman menunggu saya menjatuhkan jambu di bawah pohon. Itu pelajaran mendasar tentang pentingnya semangat kolektivitas untuk anak-anak. Selain itu, semua anak bisa mementaskan operet bersama di pendapa. Mereka semua menjadi bintang di panggung, meski posisinya paling belakang di panggung, tidak mesti menjadi tokoh. Anak-anak di setiap kelas dulu mendapat pelajaran tentang operet dan mementaskannya. Saya pernah memerankan tokoh kancil.

 

Operet itu bercerita tentang orang-orang yang membuka hutan dan membangun kampung. Suatu hari saya juga pernah memerankan tokoh Panembahan Senopati. Saya berpentas di depan Bung Karno. Dulu anak-anak pun belajar menggambar bersama. Anak-anak juga punya kebiasaan kembali ke sekolah setelah selesai belajar dan pulang ke rumah masing-masing. Mereka betah dan senang karena bisa bermain. Menurut saya, kebebasan bermain itulah yang menjadi fondasi, bagian dari belajar.

 

Dulu orang tua tidak pernah khawatir anak-anak menjadi liar karena pamong atau guru mendampingi mereka setiap waktu. Mereka tinggal di rumah-rumah sekitar pendapa. Ki Hadjar dan keluarganya tinggal di rumah yang kini menjadi Museum Dewantara. Nyi Hadjar juga menekankan bahwa tidak boleh ada anak yang tidak bersekolah. Semua pamong di sini punya kemampuan memainkan gamelan, bukan cuma nada pentatonik, tapi juga diatonik. Tamansiswa indah dengan bebunyian. Sekarang bunyi kendaraan bermotor yang bebas lalu-lalang yang terdengar.

 

Ada juga Wisma Rini Tamansiswa, asrama untuk perempuan. Kehidupan orang untuk belajar sangat terasa setiap waktu, dari siang hingga malam. Sekarang Tamansiswa benar-benar mundur. Suatu hari, para alumnus bereuni dan mengajak anak-anak di sekitar sini menyanyikan lagu-lagu Tamansiswa, tapi tidak ada di antara mereka yang tahu. Contohnya lagu berjudul “Ki Topro”. Dulu semua murid Tamansiswa hafal lagu itu. Saya menangis betul merasakan situasi ini. Pengajaran dan lagu-lagu Tamansiswa-lah yang membuat saya mencintai dunia anak-anak. Dari situ saya banyak menciptakan lagu tentang anak-anak dan mengajari mereka menggambar.

 

Ki Darmaningtyas

 

PADA awal kelahirannya, Perguruan Tamansiswa bersifat kerakyatan dan kebangsaan. Ia terbuka bagi semua warga. Bangsawan atau rakyat jelata dapat bersekolah di sana. Kehadiran Tamansiswa merupakan oasis bagi semua warga yang haus akan pendidikan. Nama Tamansiswa identik dengan simbol perlawanan terhadap kaum penjajah. Apalagi ketika pemerintah kolonial mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar (1932). Masyarakat meyakini bahwa bersekolah di Tamansiswa berarti mendukung perlawanan terhadap kaum penjajah untuk mewujudkan kemerdekaan RI.

 

Sayangnya, setelah masuk Orde Baru, Perguruan Tamansiswa justru kehilangan peran yang strategis, bahkan mengalami stagnasi dan kemudian kemunduran hingga sekarang. Pasca-1965, setelah terjadi pembersihan di tubuh Tamansiswa dari unsur-unsur kiri, Tamansiswa tiarap sampai akhir masa Orde Baru (32 tahun). Tiarap yang terlalu lama inilah yang menurut saya membuat Tamansiswa tidak sempat melakukan regenerasi dengan baik. Semangat perjuangan pendidikan dan kebudayaan tidak ada lagi. Yang ada hanya persekolahan biasa dengan murid-murid sisa dari sekolah negeri dan swasta yang lebih baik. Karena kesejahteraan pamongnya rendah, yang bisa direkrut hanya pamong-pamong dengan standar rendah pula. Akibatnya, kualitas pendidikan di Tamansiswa makin merosot.

 

Keberadaan Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa yang memayungi perguruan-perguruan Tamansiswa setali tiga uang. Menurut saya, Majelis Luhur menjadi organisasi tertutup, tidak terbuka seperti Muhammadiyah atau Nahdlatul Ulama tempat orang yang potensial dan mau menjadi anggota/pengurus direkrut dan diberi kartu anggota. Di Tamansiswa, yang memiliki kartu anggota hanyalah para pamong atau mantan pamong yang menjadi pengurus cabang sehingga mereka tidak mampu mengembangkan organisasi Majelis Luhur karena tidak memiliki jaringan dari luar.

 

Bila Tamansiswa mau tetap hidup dan berkembang, organisasi Majelis Luhur harus berubah dari berbentuk yayasan menjadi perkumpulan sehingga memungkinkan masuknya orang luar yang potensial dan berkomitmen memajukan Tamansiswa. Selama organisasi Majelis Luhur berbentuk yayasan dan pengurusnya orang-orang dalam, yang memiliki kartu anggota saja, selama itu pula Tamansiswa tidak akan berkembang. Majelis Luhur sebaiknya dipimpin dan diurus oleh orang-orang yang mau menghidupi Tamansiswa, bukan hanya mereka yang menumpang hidup, apalagi menumpang beken di Tamansiswa. Orang-orang seperti itu hanya menjadi benalu sehingga lebih baik disingkirkan.

 

Pada tahun ini seharusnya sudah ada pergantian pengurus Majelis Luhur, tapi kongres ditunda. Siapa pun yang akan terpilih menjadi pengurus Majelis Luhur lima tahun ke depan, pekerjaan rumah terbesar adalah menghidupkan kembali keberadaan Ibu Pawiyatan Tamansiswa yang merupakan cikal bakal Perguruan Tamansiswa. Sungguh sangat memalukan bila perguruan yang menjadi cikal bakal Tamansiswa itu sampai mati. ●

 

Sumber :   https://majalah.tempo.co/read/selingan/166355/suara-kritis-alumnus-tamansiswa

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar