Jumat, 15 Juli 2022

 

Pasal Penghinaan, Hukum, dan Demokrasi

Zainal Arifin Mochtar: Ketua Departemen HTN FH UGM, Anggota Constitutional and Administrative Law Society

KOMPAS, 13 Juli 2022

 

                                                

 

Salah satu rancangan undang-undang yang banyak mendapat kritik saat ini adalah RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

 

Betapa tidak, RUU ini memang punya pergulatan sejarah yang sudah cukup panjang. Berbagai versi dengan ratusan kontroversi mengiring puluhan tahun pembahasannya. Kiranya, rancangan terakhir yang paling menarik.

 

Terlepas dari begitu banyak kemajuan dan terobosan yang dibuat di RUU ini, tentu punya ruang kritik. Terutama terkait begitu banyaknya ancaman pidana yang diberikan dalam kaitan dengan hak menyatakan pendapat, khususnya terhadap negara dan aparatnya.

 

Tulisan ini berangkat dari asumsi dasar, tidaklah mungkin membuat aturan hanya berbasis perspektif pidana. Meski RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) berada di ranah hukum pidana, tentu harus sadar dan melek pada paradigma hukum lain, termasuk konteks negara hukum dan demokrasi itu sendiri.

 

Penghinaan presiden

 

Seharusnya, kita berangkat dari fakta, RUU KUHP telah mencari dan mencoba melakukan terobosan. Soal penghinaan ini, sebenarnya terobosan yang diharapkan adalah mencari perspektif baru. Semisal, menjadikannya ranah perdata karena sangat berkaitan erat dengan relasi individual.

 

Ini pula sebabnya mengapa begitu banyak negara, seperti Togo, Afrika Barat, Kroasia, Ghana, Uganda, Timor Leste, dan Belanda, yang telah menghapus ketentuan pidana penghinaan dan hijrah menjadi perdata (Lobby Loekman dkk).

 

Di beberapa negara, pilihan perdata menjadi yang utama. Hanya dalam kondisi teramat khusus, akan dijadikan pidana. Pun, tatkala mau dipertahankan sebagai delik pidana, prinsip equality before the law sebagai prinsip negara hukum demokratis harus diperhatikan.

 

RUU KUHP ini, seiring penjelasan Wamenkumham Eddy OS Hiariej dalam tulisan di Kompas (”Penghinaan dalam Hukum Pidana”, 2/6/2022), abai bahwa makin merosotnya Indeks Demokrasi Indonesia salah satunya karena adanya ancaman represi atas kebebasan berekspresi. Tentu saja menambah aturan berpotensi menindas kebebasan berekspresi dan di ujungnya kian melemahkan indeks demokrasi.

 

Menggunakan aturan ala lese majeste yang memang masih ada di beberapa negara sebagai pembenaran untuk menerapkan di Indonesia juga tak tepat. Aturan itu sebenarnya merupakan bentuk hukum monarki, yang masih dipertahankan di negara-negara yang punya tradisi monarki yang demokrasinya (terkadang) dipadukan dengan demokrasi parlementer.

 

Mengapa demikian? Raja atau ratu adalah simbol negara yang tidak dipilih secara demokratis, tetapi diturunkan secara hereditas. Berbeda dengan posisi kepala negara yang dipilih melalui pemilu secara demokratis, meniscayakan kritik dan ekspresi. Dalam sistem presidensial, presiden dipilih secara langsung oleh rakyat dan karena itu melekat kemungkinan untuk dikritik secara langsung apa yang ia lakukan.

 

Posisinya malah semakin bisa berganda, rakyat bukan hanya selaku warga negara, tetapi juga selaku pemilih. Relasi yang ada adalah warga negara dan juga sebagai pemilih yang memiliki relasi langsung dengan presiden yang dipilihnya. Itu sebabnya, negara dengan demokrasi presidensial tidak banyak yang menggunakannya.

 

Harus diakui, Pasal 218-220 beserta penjelasan di RUU KUHP tidak ”sekejam” Pasal 112 Hukum Pidana Thailand.

 

Benar kritik dan penghinaan coba dipisahkan melalui bagian penjelasan bahwa parameter tidak dipidana jika dilakukan untuk kepentingan umum, yakni melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan melalui hak berekspresi dan hak demokrasi, misalnya melalui kritik atau pendapat yang berbeda dengan kebijakan pemerintah. Tetapi, konstruksi ini sebenarnya berpotensi ”karet” karena parameter penggunaannya akan menjadi diskresi aparat penegak hukum (APH).

 

Contoh sederhana, soal batasan bahwa itu kepentingan masyarakat. Tetap di ujungnya akan diserahkan kepada APH.

 

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) seharusnya jadi pembelajaran. UU ITE yang dimaksudkan berbeda malah memangsa begitu banyak korban salah sasaran dan kemudian memaksa negara mengeluarkan semacam prosedur penggunaannya, karena sifat ”karet”-nya. Sering kali, masalahnya bukanlah pada pemahaman publik yang tidak mampu membedakan kritik dan penghinaan, tetapi problem di APH yang acap kali rabun membedakannya karena kecenderungan berpihak kepada penguasa.

 

Didie SW

 

Ketika dipertahankan, tetapi menjadi delik aduan, ini cukup menarik dan memang sejalan putusan MK. Akan tetapi, jika membaca putusan MK, sebenarnya bukanlah wajib membuatnya dalam satu pasal tersendiri, melainkan sangat bisa diarahkan ke delik aduan yang diberlakukan umum. Itu sebabnya, mengapa tak disamakan saja dengan delik penghinaan secara umum yang berlaku untuk semua dan bukan hanya presiden dan wakil presiden.

 

Logika yang dibangun Hiariej—bahwa presiden dan wakil presiden adalah primus interpares dan karena itu harus dibedakan seperti ketika membedakan pembunuhan atas presiden yang jadi delik makar dan bukan pembunuhan biasa—tentunya kurang tepat.

 

Dalam makar, yang dipidanakan tentunya adalah permulaan pelaksanaannya. Belum lagi, mengapa dikategorisasikan makar dengan dicegah di permulaan pelaksanaannya, karena potensi besar merusak jalannya kehidupan bernegara secara langsung ataupun tak langsung. Jauh berbeda dengan penghinaan atas presiden, yang nyaris tidak berimplikasi apa-apa kecuali atas diri pribadi presiden.

 

Juga ketika menyatakan penghinaan atas kepala negara lain adalah alasan untuk tetap adanya pasal ini, terasa tak tepat. Sebenarnya, pasal penghinaan atas kepala negara lain merupakan penjagaan atas relasi antarnegara yang resiprokal. Itu pun sebenarnya perlu penerjemahan lebih lanjut. Semisal, jika ada penghinaan dan kritik atas kepala negara lain, tetapi merupakan sikap yang menjiwai Pancasila dan UUD 1945, apakah tetap merupakan hal yang harus dipidanakan?

 

Misalnya, kritik keras kepada negara yang masih melakukan tindakan penjajahan atas negara lain, maka kritisi atas itu adalah bagian dari doktrin dasar negara ”kemerdekaan adalah hak segala bangsa” dan ”penjajahan di atas dunia harus dihapuskan”. Apakah mungkin seseorang dipidana dengan konstruksi demikian?

 

Yang paling khusus, jika memang para pembantu Presiden yang mengagregasi pasal ini dengan keyakinan pada Presiden Joko Widodo dan menilai ia tidak akan menggunakan pasal ini secara serampangan, ini pun seakan kekeliruan diagnosis.

 

Siapa yang bisa menduga presiden selanjutnya bukan seorang demagog atau malah otoriter sejati? Dengan pemilu yang ramah kepentingan oligarki, mendapatkan presiden model ini kelihatannya bukan mustahil. Dengan seketika ia memiliki senjata yang dengan mudah ia gunakan untuk membunuh semangat demokrasi dan ”anak-anak” yang bernaung di bawahnya. Terlebih tatkala ia menguasai APH dan kelembagaan peradilan, ia akan mudah menggunakan kesemua pasal itu untuk membonsai kebebasan berekspresi.

 

Penghinaan lembaga

 

Pasal 351 RUU KUHP memberikan ancaman pidana kepada siapa saja yang melakukan penghinaan atas kekuasaan umum atau lembaga negara, lebih khusus jika itu mengakibatkan kerusuhan di masyarakat, maka dipidana lebih ”keras”.

 

Dalam penjelasan dikatakan bahwa ini digunakan demi memberikan kehormatan pada kekuasaan umum atau lembaga negara. Kekuasaan umum atau lembaga negara ini meliputi, antara lain DPR, DPRD, Kepolisian Negara RI, Kejaksaan RI, atau pemerintah daerah.

 

Bunyi penjelasan itu sebenarnya menjelaskan apa yang ada di relung kesadaran para penyusun RUU KUHP ini karena kelembagaan yang disebut secara langsung itu lembaga yang kerap bermasalah dan menjadi sasaran kritik.

 

Apalagi dengan kalimat ”antara lain”, menjadi sedemikian luasnya kekuasaan umum atau lembaga negara ini. Salah satu tafsir lembaga negara tentu saja adalah lembaga negara ataupun lembaga di bawah presiden dan lembaga lain yang menjalankan fungsi pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah. Artinya, hampir seluruh jabatan dalam lingkup pemerintahan di pusat dan di daerah akan mendapatkan konteks perlindungan ini. Bayangkan, kemungkinan banyaknya perkara atas ini.

 

Serupa dengan catatan atas penghinaan presiden, mengapa tidak dijadikan delik aduan biasa saja? Toh putusan MK sudah memaksudkan, selain delik aduan juga mendasarkan pentingnya pemahaman penghinaan ini pada orang yang menjabatnya dan bukan pada kelembagaannya. Jika menjadi delik penghinaan biasa, akan sama dan lebih setara (equal) dengan seluruh rakyat biasa.

 

Pertanyaan menarik malah bisa dilayangkan, bagaimana jika pejabat yang melakukan penghinaan atas orang biasa dan menimbulkan kerusuhan?

 

Soal kerusuhan ini juga menarik. Pidana bisa melonjak dua kali lipat dari ancaman jika menimbulkan kerusuhan. Apa yang menjadi parameter dan magnitudo kerusuhannya? Jika ada bentrokan dengan aparat, apakah itu sudah dianggap kerusuhan? Belum lagi, kalau kerusuhan itu direkayasa, seperti menurut salah satu laporan investigasi NarasiTV, terjadi dalam kasus kerusuhan di depan Bawaslu, Mei 2019. Kala itu ada sekelompok orang dengan seragam yang terorganisasi menciptakan kerusuhan dan hingga saat ini belum terungkap pelakunya. Apakah adanya rekayasa kerusuhan semacam ini bisa jadi alasan ”mengerasnya” ancaman pidana yang ada?

 

Apalagi dikaitkan dengan pasal lain yang tidak kalah mengancam, semisal pidana terhadap demonstrasi dan unjuk rasa tanpa pemberitahuan, yang menimbulkan gangguan. Dalam perspektif demokrasi yang lebih deliberatif, negaralah yang harus menciptakan ruang bagi aspirasi. Adanya mekanisme pemberitahuan sebelum melakukan unjuk rasa harusnya dimaknai sebagai permintaan bagi negara untuk memberikan rasa aman bagi orang yang menyampaikan pendapat dan bukan untuk menyaringnya.

 

Sering kali pemberitahuan itu dijadikan alasan untuk menahan unjuk rasa. Menggunakan alasan gangguan bagi orang lain untuk membenarkan larangan atas aspirasi.

 

Keranjang sampah?

 

Dalam tulisan terdahulu, ”Legislasi nan Menyebalkan” (Kompas, 20/10/2020), saya sudah menyinggung gejala negara yang seakan-akan boleh ugal-ugalan, membuat sampah demokrasi dalam bentuk aturan. Kemudian mengatakan bahwa biarkan MK yang akan menentukan benar atau tidaknya.

 

Ada dua alasan utama tentu saja. Pembentuk UU tidaklah layak bertindak sembrono membuat sampah dengan alasan ada keranjang dalam bentuk MK. Ini tidak fair karena seakan menegasikan kewajiban bagi pembentuk UU untuk memperlakukan UU secara sakral dan menegakkan demokrasi dengan membentuk UU yang menghargai negara hukum demokrasi itu sendiri.

 

Kedua, gejala kondisi MK ini tengah mengkhawatirkan. Di tengah kepungan UU yang buruk, MK seakan abai dan malah tidak selesai dengan dirinya sendiri. MK yang diharapkan menjadi penjaga demokrasi malah dalam beberapa hal lebih berperan dan terjebak dalam pertarungan nonhukum dan kepentingan yang ada di tubuh MK itu sendiri.

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/11/pasal-penghinaan-hukum-dan-demokras

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar