Mengawal
UU TPKS Willy
Aditya: Mantan Ketua Panja RUU TPKS, Wakil Ketua Fraksi Partai NasDem |
MEDIA INDONESIA, 12 Juli 2022
SETELAH
penantian yang cukup panjang, RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS)
akhirnya disahkan sebagai undang-undang pada 9 Mei 2022, yaitu UU Nomor 12
Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Secara yuridis
undang-undang ini sudah mempunyai kekuatan. Akan tetapi, apakah ia sudah
mempunyai kekuatan untuk berlaku secara efektif? Ini menjadi persoalan yang
lebih menantang karena meski regulasi sudah absah, keberlakuannya masih
menjadi PR tersendiri. Praktik
aparat penegak hukum Mengingat
urgennya persoalan kekerasan seksual di Indonesia, keberadaan UU TPKS banyak
diharap berbagai kalangan mampu memberi perlindungan terhadap korban.
Pelaksanaan atas undang-undang ini berarti juga penegakan the rule of law.
Arah dari rumusan pelaksanaannya pun harus memberikan jaminan kemudahan dan
cakupan yang lebih luas dalam memberi perlindungan terhadap korban. The rule
of law dalam arti materiil bertujuan melindungi warga masyarakat terhadap
tindakan sewenang-senang dari penguasa sehingga memungkinkan manusia untuk
mendapatkan martabatnya sebagai manusia. Artinya,
undang-undang ini harus memberi jaminan bagi warga masyarakat untuk memperoleh
keadilan sosial, yaitu suatu keadaan yang warga masyarakat mendapatkan
penghargaan yang wajar dari golongan lain, sedangkan setiap golongan tidak
merasa dirugikan oleh kegiatan golongan lainnya (Ali, 2011). Menurut
Eugene Ehrlian, tokoh aliran sociological jurisprudence, hukum positif yang
baik (dan karenanya efektif) ialah hukum yang sesuai dengan living law yang
berlaku sebagai inner order dari nilai-nilai dalam masyarakat (Kusumatmadja,
2002). Yang menjadi awalannya ialah praktik yang dilakukan aparat penegak
hukum itu sendiri. Tentu bukan apakah sudah dijalankan dengan baik atau
belum. Lebih dari itu, yang lebih penting ialah pada soal mau atau tidak
aparat menggunakan sebuah produk hukum. Dalam konteks tulisan ini, apakah
aparat hukum sudah mau menggunakan UU TPKS dalam penanganan terhadap
kasus-kasus kekerasan seksual? Kemauan ini terletak pada praktik kognitif dan
standing position. Praktik kognitif ini terkait dengan pemahaman aparat
terhadap UU TPKS sehingga dalam melihat persoalan, cakrawala yang digunakan
ialah perspektif yang ada dalam UU tersebut. Pengetahuan dan pemahaman atas
undang-undang ini menjadi bekal penting bagi aparat penegak hukum. Akan
menjadi percuma jika aparat bekerja atas kasus-kasus kekerasan seksual,
tetapi tidak mempunyai bekal yang memadai atas landasan hukum baru tersebut. Secara
praktikal, pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki aparat penegak hukum saja
tidak cukup. Lebih dari itu, aparat penegak hukum juga harus punya standing
position yang jelas dan tegas. Keberpihakan bukan berarti tidak menempatkan
setiap warga setara di depan hukum, tetapi lebih merupakan bentuk imperatif
untuk memberikan hak kepada korban sebelum hukum ditegakkan. Hak-hak ini
penting untuk dipenuhi karena kasus kekerasan seksual merupakan kasus luar
biasa yang penanganannya pun harus luar biasa. Hak korban untuk didampingi,
didengarkan keterangannya, dan mendapatkan perlindungan sebelum proses hukum
berjalan. Partisipasi
dan literasi publik Dalam
UU TPKS, terdapat pendelegasian untuk membentuk peraturan pelaksana yang
diberikan kepada pemerintah untuk membuat peraturan. Ada tiga peraturan
pemerintah yang harus dibentuk, yaitu 1. tata cara penanganan, perlindungan,
dan pemulihan tentang korban sejak terjadinya tindak pidana kekerasan seksual
(Pasal 66), 2. penyelenggaraan pencegahan tindak pidana kekerasan seksual
(Pasal 80), dan 3. koordinasi dan pemantauan dalam rangka efektivitas
pencegahan dan penanganan korban tindak pidana kekerasa seksual, menteri
melakukan koordinasi dan pemantauan secara lintas sektor dengan
kementerian/lembaga terkait (Pasal 83). Selain peraturan pemerintah, UU TPKS
juga mendelegasikan pembuatan peraturan presiden terkait dengan pelaksanaan
undang-undang ini. Belajar
dari praktik baik yang dilakukan selama pembentukan UU TPKS, pemerintah dapat
membuka seluas-luasnya partisipasi publik atas penyusunan peraturan-peraturan
pelaksanaan dari undang-undang ini. Partisipasi ini tidak saja upaya memenuhi
kewajiban sebagai praktik demokrasi, tetapi juga memberi jaminan atas peraturan
pelaksana yang lebih kompatibel dengan kebutuhan dalam kehidupan sosial. Ini
sekaligus menjembatani sifat generalis dari sebuah undang-undang dengan
realitas yang lebih kompleks dan parktikular. Tidak tepat kiranya jika kita
gebyah uyah mengurusi segala persoalan dengan sebuah peraturan pelaksana
saja. Jika generalisasi terjadi secara terus-menerus, undang-undang sebaik
apa pun tidak akan mampu memberi jawaban atas persoalan-persoalan yang ada. Partisipasi
publik ini pada hakikatnya memberi keuntungan kepada semua pihak. Secara
umum, kita dapat tahu bahwa dengan partisipasi publik kita bisa berharap
mendapatkan tata kelola yang baik. Tentu saja tidak akan sempurna, tetapi
tata kelola yang dikreasi berdasarkan jerih pikir publik setidaknya tidak akan
mengkhianati keinginan publik. Ini juga akan mendorong terjadinya kohesi
sosial yang lebih besar. Apalagi diketahui secara umum, undang-undang ini
telah membawa ketegangan dan pertentangan sosial yang sedemikian tajam.
Partisipasi akan menjembatani berbagai kelompok dan ide yang berbeda-beda
dalam sebuah upaya pembuatan peraturan yang lebih baik. Kehadiran
warga dalam berbagai anjangsana untuk mendapatkan peraturan pelaksanaan yang
baik juga akan mendorong peningkatan kapasitas dan pembelajaran termasuk meningkatkan
kesadaran dan pemahaman tentang UU TPKS. Selama ini, elemen yang sebenarnya
penting ini kerap kali tidak diperhitungkan sehingga yang terjadi ialah
menumpuknya regulasi tidak berbanding lurus dengan pengetahuan dan kesadaran
warganya. Padahal, saat ini Indonesia mengalami obesitas regulasi. Tidak
jelas lagi mana yang urgen, signifikan, dan prioritas. Ia bukan hanya
tumpang-tindih, akan tetapi juga saling meniadakan. Maka, lebih dari sekadar
menerjemahkan undang-undang menjadi peraturan pelaksanaan yang lebih
kompatibel, hal penting lain yang harus dilakukan ialah literasi. Literasi
tidak hanya bermakna upaya membuat warga tahu akan UU TPKS ini, akan tetapi
juga membangun kesadaran warga. Berharap undang-undang akan menyelesaikan
semua persoalan itu tidak ubahnya berharap panasea bisa menyembuhkan semua
jenis penyakit. Demikian ini yang melahirkan banyak harapan palsu di tengah
publik. Warga semestinya selain tahu substansi regulasi juga mengerti praktik
dan tata kelolanya yang tidak mudah. Dukungan dan keterlibatan banyak pihak
akan lebih meringankan penanganan dan penyelesaian kasus-kasus yang ada. Lain
halnya jika warga tidak mempunyai bekal literasi yang baik, yang akan terjadi
hanya kekecewaan, baik terhadap undang-undang yang ada maupun aparat
pelaksananya. Yang
juga tidak boleh dilupakan ialah soal anggaran. Ini mutlak adanya. Tanpa
dukungan anggaran, UU TPKS hanya akan menjadi seonggok produk hukum yang tak
memiliki makna dan daya apa-apa. Di sini dibutuhkan keterlibatan semua
stakeholder untuk mengawal kembali UU TPKS dalam aspek penerapannya.
Perjuangan belum berakhir, kawan!● Sumber :
https://mediaindonesia.com/opini/505900/mengawal-uu-tpks |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar