Konservasi Jadi Dalih
Tiket Naik Wisata Komodo Dini Pramita : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 9
Juli
2022
Tarif tiket sebesar Rp
3,75 juta per orang tersebut serupa dengan tiket terusan yang berlaku setahun
penuh bagi wisatawan. Menurut Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga
Uno, tiket itu merupakan biaya kontribusi konservasi dengan tujuan untuk
pemeliharaan dan perlindungan satwa langka komodo. Juga untuk menekan jumlah
wisatawan yang datang ke Taman Nasional Komodo. “Ini baru wacana. Sampai saat
ini belum ada pembahasan di lintas kementerian atau lembaga,” kata Menteri
Sandiaga, Senin, 4 Juli lalu. Pemerintah Provinsi Nusa
Tenggara Timur (NTT) melalui Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif telah
mengumumkan pemberlakuan tiket terusan tersebut pada 1 Agustus 2022. Menurut
Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif NTT Zeth Sony Libing,
pemberlakuan tersebut hanya untuk kawasan Pulau Komodo dan Pulau Padar.
Sementara itu, Pulau Rinca dan lainnya lolos dari aturan tarif baru tersebut. Menurut Yohanes, sekitar
80 persen dari komposisi pengunjung Taman Nasional Komodo adalah wisatawan
lokal dan cenderung bergaya backpacker. Wisatawan dengan karakteristik
tersebut enggan mengeluarkan biaya hingga Rp 3,75 juta hanya untuk masuk
mengunjungi Taman Nasional Komodo. Tarif tersebut di luar biaya tur yang
selama ini dibanderol Rp 300-500 ribu. “Bagi mereka sangat mahal,” tutur
Yohanes. Adelia Santoso, 38 tahun,
adalah salah satu turis yang membatalkan kunjungan ke Pulau Komodo. Ia
menghitung, untuk masuk pulau tersebut bersama dengan suami dan anaknya, ia
harus menyiapkan duit sebesar Rp 11,25 juta hanya untuk tiket. “Itu di luar
tiket pesawat, hotel, dan lain-lain,” tuturnya. “Lagi pula saya tidak
merencanakan untuk datang ke sana setiap bulan selama setahun. Jadinya terasa
mubazir,” ujarnya. Menurut dia, masih banyak destinasi wisata yang tak kalah
indah dibanding Pulau Komodo dengan ongkos yang terjangkau. Menurut Yohanes, justru
tamu-tamu seperti Adelia inilah yang akan berdampak besar bagi masyarakat
lokal yang menggantungkan penghidupan dari jasa wisata. “Mereka menghidupi
warung makan kecil, bukan restoran mewah berkelas. Mereka juga belanja
suvenir murah yang dibuat oleh ibu-ibu di Taman Nasional Komodo,” ucapnya.
Adapun turis-turis berkocek tebal, kata Yohanes, cenderung menginap di hotel
besar dan restoran mewah. Padahal, Yohanes menekankan, jumlah wisatawan elite
tersebut ditemui satu-dua saja dalam setahun. Alasan pemerintah
menerapkan tarif tinggi itu adalah membatasi jumlah pengunjung demi menjaga
daya dukung dan kelestarian komodo. Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK) pada Senin, 27 Juni lalu, merilis kajian pembatasan jumlah
pengunjung yang disebut demi kelestarian populasi komodo (Varanus
komodoensis). “Perlu diatur jumlah maksimum yang dapat ditampung agar tidak
berdampak pada kelestarian komodo,” kata Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Alue Dohong. Untuk mengetahui batas
maksimal pengunjung, Alue mengklaim Direktorat Jenderal Konservasi Sumber
Daya Alam dan Ekosistem KLHK telah melakukan kajian daya dukung dan daya
tampung wisata berbasis jasa ekosistem di Pulau Komodo dan Pulau Padar. Ia
mengatakan hasil kajian merekomendasikan jumlah pengunjung ideal per tahun ke
Pulau Komodo adalah 219 ribu wisatawan. Sementara itu, untuk Pulau Padar
sebesar 39.420 wisatawan per tahun atau 100 orang per waktu kunjungan. Alasan pemerintah
menaikkan tarif masuk untuk membatasi jumlah pengunjung, menurut Yohanes, tak
masuk akal. Sejak 1980-an hingga 2019, menurut Yohanes, jumlah wisatawan di
Pulau Komodo belum pernah mencapai 200 ribu per tahun. Ia merujuk pada data
Dinas Pariwisata Manggarai Barat pada 2019 yang mencatat 160-an ribu
pengunjung. Pada 2022 ini, dia menjelaskan, jumlah pengunjung baru mencapai
60-an ribu. Padahal bulan panen pengunjung (Mei, Juni, Juli, dan Agustus)
akan segera habis. Kepala Balai Taman
Nasional Komodo Lukita Awang Nistyantara dalam konferensi pers di KLHK pada
Senin, 27 Juni lalu, mengatakan, berdasarkan penelitian, terjadi perubahan
perilaku komodo di taman wisata. Awang mengatakan komodo di kawasan wisata
cenderung lebih dekat dengan manusia sehingga menurunkan sisi keliaran
mereka. Selain itu, bobot komodo di tempat wisata mencapai 100 kilogram,
sedangkan yang di luar tempat wisata 80 kilogram. Hingga Jumat, 8 Juli lalu,
Awang tak merespons pertanyaan dan permintaan konfirmasi Tempo. Menurut Evodius, alasan
tersebut terkesan mengada-ada. Ia mengatakan praktik wisata yang dilakukan
selama ini telah menjaga prinsip kelestarian dan tak mengganggu komodo.
“Orang melihat komodo yang di kolong dan bukan komodo liar. Tidak ada
wisatawan yang berani menjamah atau memberi makan komodo liar. Konyol rasanya
karena tour guide pun pasti akan menegur,” tuturnya. Evodius mengatakan
pembatasan demi konservasi dapat saja dilakukan, tapi tak harus dengan cara
mematok tarif selangit. Toh, di Pulau Padar telah diterapkan kebijakan
pembatasan hanya 100 orang per kunjungan. Menurut Evodius, kebijakan
pembatasan yang telah dijalankan di Pulau Padar seharusnya dievaluasi dan
dilihat efektivitasnya. Sementara itu, Venansius
Haryanto, peneliti dari Sunspirit for Justice and Peace, mengatakan kebijakan
ini merupakan solusi palsu untuk konservasi dan akan memiliki dampak negatif
terhadap usaha warga. “Kebijakan ini diambil secara mendadak, tak melibatkan
warga dan pelaku usaha lokal, tak pernah ada sosialisasi,” kata Venansius.
“Selain itu, tak ada tolok ukur dalam menetapkan tarif konservasi tersebut.” Ia mengatakan kebijakan
ini pun makin terlihat janggal ketika tarif dipatok setinggi-tingginya untuk
membatasi kunjungan manusia. Di sisi lain, pembangunan skala besar yang
justru mengancam ekologi dibiarkan. Ia merujuk pada izin pembangunan
resor-resor mewah untuk PT Sagara Komodo Lestari, PT Komodo Wildlife
Ecotourism, dan PT Synergindo Niagatama. “Meski izin dua perusahaan
dievaluasi, tak ada jaminan dicabut, padahal sudah jelas ancamannya terhadap
upaya konservasi.” Kejanggalan lain adalah
kajian yang sama justru merekomendasikan jumlah kunjungan di Pulau Padar
dapat ditambahkan dua sampai dua setengah kali lipat dengan mempertimbangkan
beberapa hal yang semuanya dikaitkan dengan pembangunan infrastruktur. “Kami
melihat ini sebagai bentuk ironi yang mengatasnamakan konservasi,” katanya.
Menurut Venansius, rencana ini hanya akan melanggengkan pengembangan wisata
super-premium di dalam Taman Nasional Komodo. Padahal, menurut dia,
rencana ini mendapatkan teguran keras dari Organisasi Pendidikan, Keilmuan,
dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (Unesco). Unesco beralasan
orientasi pembangunan wisata di kawasan Taman Nasional Komodo membahayakan
nilai-nilai universal yang luar biasa dari habitat alami satwa. Unesco juga
menyorot posisi masyarakat penghuni kawasan Taman Nasional Komodo yang tidak
dianggap penting oleh pemerintah dalam upaya konservasi dan pariwisata. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/lingkungan/166372/konservasi-jadi-dalih-tiket-naik-wisata-komodo |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar