Jumat, 15 Juli 2022

 

Ambang Batas Calon Presiden, Komitmen Mahkamah Konstitusi, dan Ancaman terhadap Demokrasi

Abustan :  Pengajar Magister Hukum Universitas Islam Jakarta

KORAN TEMPO, 13 Juli 2022

 

 

                                                           

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-XX/2022 menjadi antiklimaks dari kontroversi mengenai ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold). Putusan itu sebagai jawaban atas permohonan mengenai judicial review atas Pasal 222 Undang-Undang Pemilihan Umum yang diajukan Dewan Perwakilan Daerah dan Partai Bulan Bintang. Intinya, Mahkamah Konstitusi menolak gugatan tersebut dan menyatakan ambang batas pencalonan presiden konstitusional. Adapun persentase ambang batas 20 persen tersebut merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) di ranah pembentuk undang-undang, yakni eksekutif (pemerintah) dan legislatif (DPR).

 

Berbagai kelompok masyarakat dan individu sudah lama menggugat soal ambang batas ini karena tidak sesuai dengan prinsip demokrasi. Saya sudah membahas mengapa ambang batas ini harus ditolak dalam artikel "Ambang Batas Calon Presiden Nol Persen dan Politik Oligarki". Harapan masyarakat agar Mahkamah Konstitusi membatalkannya selalu menemui jalan buntu dan memperkuat gejala kemunduran demokrasi di republik ini.

 

Sebenarnya tak ada landasan yuridis pada konstitusi yang menjadi justifikasi (pembenaran) tentang perlunya ambang batas calon presiden. Syarat ambang batas itu tidak demokratis, mengabaikan konstitusi dan hak asasi manusia, serta berlaku secara diskriminatif terhadap rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.

 

Bagi bangsa Indonesia, persamaan hak dalam hukum dan persamaan kesempatan dalam pemerintahan bagi semua warga negara dijamin oleh UUD 1945. Mengoreksi secara total Pasal 222 Undang-Undang Pemilu mengenai ambang batas calon presiden adalah wajib bagi negara yang berdasarkan hukum (rechstaat) seperti Indonesia, yang bukan negara berdasarkan atas kekuasaan belaka (macstaat).

 

Ada beberapa catatan penting mengenai ambang batas calon presiden ini. Pertama, rumusan Pasal 22 E UUD 1945 telah dengan jelas menyatakan bahwa pemilihan umum dilaksanakan sekali dalam lima tahun untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, serta presiden dan wakil presiden. Pasal 6A menyatakan bahwa "pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum". Poin khusus tentang norma pemilihan calon presiden dan wakil presiden ini sering kali "dipelintir" oleh pemerintah dan beberapa fraksi DPR demi mewujudkan keinginan politik mereka agar jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden dapat diminimalkan (dibatasi) melalui ambang batas calon presiden.

 

Kedua, makna Pasal 6 A dan Pasal 22 E UUD 1945 dengan jelas menunjukkan bahwa pemilihan umum dilaksanakan serentak dan setiap partai politik peserta pemilu berhak untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden sebelum pemilu dilaksanakan. Dengan demikian, kalau pemilu dilaksanakan secara serentak, pembicaraan tentang ambang batas perolehan kursi di DPR sebagai syarat pencalonan presiden akan menjadi tidak relevan lagi.

 

Ketiga, putusan MK mengenai pemilu serentak telah melewati perdebatan akademis yang alot dan panjang. Effendi Ghozali dan Yusril Ihza Mahendra telah menjadi pemohon yang memperdebatkan hal ini dalam sidang MK. Akan tetapi, setelah MK mengeluarkan putusan mengenai pemilu serentak, sangat disayangkan masih saja ada "pikiran-pikiran inkonstitusional" yang menghendaki agar ambang batas calon presiden tetap ada (dicantumkan). Hal itu menunjukkan betapa krusial poin ambang batas calon presiden di tengah pusaran politik bagi partai yang diuntungkan oleh sistem yang otoriter.

 

Respons dan ekspektasi masyarakat dalam memperjuangkan demokrasi dengan beramai-ramai memasukkan permohonan ke MK mengindikasikan tumbuhnya kesadaran hukum yang sangat kuat. Majelis hakim MK seharusnya melihat dan menyerap perkembangan kebutuhan masyarakat ini sebagai faktor pengubah hukum tersebut. Ini merupakan semangat demokrasi rakyat terhadap apa yang menjadi hak-hak konstitusionalnya dan melawan dengan cara yang sah dan legal terhadap pihak atau kelompok yang atas nama kekuasaan berusaha "membelokkan" ideal-ideal demokrasi.

 

Pada titik inilah tampak adanya ancaman terhadap demokrasi datang justru dari bangsa sendiri dengan membiarkan oligarki ekonomi dan politik menguasai negara melalui instrumen ambang batas calon presiden. Dengan kata lain, ancaman nyata itu justru datang dari orang atau kelompok yang sangat gemar menggunakan jargon-jargon demokrasi tapi sesungguhnya sedang "merobohkan" demokrasi.

 

Negara hukum mengharuskan negara hadir untuk melindungi hak demokrasi warga negara sekaligus melindungi hak-hak konstitusionalnya. Meminjam istilah John Locke, konstitusi adalah kontrak sosial antara warga negara dan negara. Berdasarkan kontrak sosial ini, warga negara adalah principal dan negara adalah pelayan. Jika ada pelanggaran hak-hak konstitusional warga negara, negara harus bertanggung jawab untuk memulihkannya.

 

Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk mengawal konstitusi, terutama menjaga agar tidak ada undang-undang yang melanggar konstitusi, dan perlunya checks and balances antar-lembaga negara. Masyarakat berharap banyak bahwa MK dapat melakukan perubahan mendasar sehingga pengejawantahan demokrasi benar-benar terlaksana dengan baik. Nyatanya, putusan MK mengenai ambang batas pencalonan presiden ini sebagai gejala kemunduran kualitas putusan MK. Hal ini bisa dimaknai sebagai langkah konkret untuk mengeliminasi demokrasi akibat hilangnya kepekaan dan komitmen MK dalam menghormati konstitusi dan demokrasi. Dalam hal ini, eksistensi MK sebagai penjaga konstitusi dan penjaga tegaknya demokrasi patut dipertanyakan. ●

 

Sumber :   https://koran.tempo.co/read/opini/475053/ambang-batas-calon-presiden-komitmen-mahkamah-konstitusi-dan-ancaman-terhadap-demokrasi

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar