Ambang Batas Calon
Presiden, Komitmen Mahkamah Konstitusi, dan Ancaman terhadap Demokrasi Abustan : Pengajar Magister
Hukum Universitas Islam Jakarta |
KORAN TEMPO, 13 Juli 2022
Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 52/PUU-XX/2022 menjadi antiklimaks dari kontroversi mengenai
ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold). Putusan itu
sebagai jawaban atas permohonan mengenai judicial review atas Pasal 222
Undang-Undang Pemilihan Umum yang diajukan Dewan Perwakilan Daerah dan Partai
Bulan Bintang. Intinya, Mahkamah Konstitusi menolak gugatan tersebut dan
menyatakan ambang batas pencalonan presiden konstitusional. Adapun persentase
ambang batas 20 persen tersebut merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal
policy) di ranah pembentuk undang-undang, yakni eksekutif (pemerintah) dan
legislatif (DPR). Berbagai kelompok
masyarakat dan individu sudah lama menggugat soal ambang batas ini karena
tidak sesuai dengan prinsip demokrasi. Saya sudah membahas mengapa ambang
batas ini harus ditolak dalam artikel "Ambang Batas Calon Presiden Nol
Persen dan Politik Oligarki". Harapan masyarakat agar Mahkamah
Konstitusi membatalkannya selalu menemui jalan buntu dan memperkuat gejala
kemunduran demokrasi di republik ini. Sebenarnya tak ada
landasan yuridis pada konstitusi yang menjadi justifikasi (pembenaran)
tentang perlunya ambang batas calon presiden. Syarat ambang batas itu tidak
demokratis, mengabaikan konstitusi dan hak asasi manusia, serta berlaku
secara diskriminatif terhadap rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Bagi bangsa Indonesia,
persamaan hak dalam hukum dan persamaan kesempatan dalam pemerintahan bagi
semua warga negara dijamin oleh UUD 1945. Mengoreksi secara total Pasal 222
Undang-Undang Pemilu mengenai ambang batas calon presiden adalah wajib bagi
negara yang berdasarkan hukum (rechstaat) seperti Indonesia, yang bukan
negara berdasarkan atas kekuasaan belaka (macstaat). Ada beberapa catatan
penting mengenai ambang batas calon presiden ini. Pertama, rumusan Pasal 22 E
UUD 1945 telah dengan jelas menyatakan bahwa pemilihan umum dilaksanakan
sekali dalam lima tahun untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, serta presiden
dan wakil presiden. Pasal 6A menyatakan bahwa "pasangan calon presiden
dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik
peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum". Poin khusus
tentang norma pemilihan calon presiden dan wakil presiden ini sering kali
"dipelintir" oleh pemerintah dan beberapa fraksi DPR demi
mewujudkan keinginan politik mereka agar jumlah pasangan calon presiden dan
wakil presiden dapat diminimalkan (dibatasi) melalui ambang batas calon
presiden. Kedua, makna Pasal 6 A dan
Pasal 22 E UUD 1945 dengan jelas menunjukkan bahwa pemilihan umum
dilaksanakan serentak dan setiap partai politik peserta pemilu berhak untuk
mengajukan calon presiden dan wakil presiden sebelum pemilu dilaksanakan.
Dengan demikian, kalau pemilu dilaksanakan secara serentak, pembicaraan
tentang ambang batas perolehan kursi di DPR sebagai syarat pencalonan
presiden akan menjadi tidak relevan lagi. Ketiga, putusan MK
mengenai pemilu serentak telah melewati perdebatan akademis yang alot dan
panjang. Effendi Ghozali dan Yusril Ihza Mahendra telah menjadi pemohon yang
memperdebatkan hal ini dalam sidang MK. Akan tetapi, setelah MK mengeluarkan
putusan mengenai pemilu serentak, sangat disayangkan masih saja ada
"pikiran-pikiran inkonstitusional" yang menghendaki agar ambang
batas calon presiden tetap ada (dicantumkan). Hal itu menunjukkan betapa
krusial poin ambang batas calon presiden di tengah pusaran politik bagi
partai yang diuntungkan oleh sistem yang otoriter. Respons dan ekspektasi
masyarakat dalam memperjuangkan demokrasi dengan beramai-ramai memasukkan
permohonan ke MK mengindikasikan tumbuhnya kesadaran hukum yang sangat kuat.
Majelis hakim MK seharusnya melihat dan menyerap perkembangan kebutuhan
masyarakat ini sebagai faktor pengubah hukum tersebut. Ini merupakan semangat
demokrasi rakyat terhadap apa yang menjadi hak-hak konstitusionalnya dan
melawan dengan cara yang sah dan legal terhadap pihak atau kelompok yang atas
nama kekuasaan berusaha "membelokkan" ideal-ideal demokrasi. Pada titik inilah tampak
adanya ancaman terhadap demokrasi datang justru dari bangsa sendiri dengan
membiarkan oligarki ekonomi dan politik menguasai negara melalui instrumen
ambang batas calon presiden. Dengan kata lain, ancaman nyata itu justru
datang dari orang atau kelompok yang sangat gemar menggunakan jargon-jargon
demokrasi tapi sesungguhnya sedang "merobohkan" demokrasi. Negara hukum mengharuskan
negara hadir untuk melindungi hak demokrasi warga negara sekaligus melindungi
hak-hak konstitusionalnya. Meminjam istilah John Locke, konstitusi adalah kontrak
sosial antara warga negara dan negara. Berdasarkan kontrak sosial ini, warga
negara adalah principal dan negara adalah pelayan. Jika ada pelanggaran
hak-hak konstitusional warga negara, negara harus bertanggung jawab untuk
memulihkannya. Mahkamah Konstitusi
dibentuk untuk mengawal konstitusi, terutama menjaga agar tidak ada
undang-undang yang melanggar konstitusi, dan perlunya checks and balances
antar-lembaga negara. Masyarakat berharap banyak bahwa MK dapat melakukan
perubahan mendasar sehingga pengejawantahan demokrasi benar-benar terlaksana
dengan baik. Nyatanya, putusan MK mengenai ambang batas pencalonan presiden
ini sebagai gejala kemunduran kualitas putusan MK. Hal ini bisa dimaknai
sebagai langkah konkret untuk mengeliminasi demokrasi akibat hilangnya
kepekaan dan komitmen MK dalam menghormati konstitusi dan demokrasi. Dalam
hal ini, eksistensi MK sebagai penjaga konstitusi dan penjaga tegaknya
demokrasi patut dipertanyakan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar