Sikap Iran Sangat Rasional (2)
Kesalahan demi kesalahan terjadi dalam kebijakan luar negeri AS terhadap Iran. Oleh sebab itu hal yang terjadi sekarang ini bukan krisis soal nuklir Iran. Timur Tengah tidak dalam ancaman senjata nuklir dari Iran karena negara ini tidak memiliki senjata nuklir. “Iran tidak akan pernah mengejar senjata nuklir,” kata Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif pada 25 Juli 2019.
Para hawkish mendorong Presiden AS Donald Trump pada 2018 meninggalkan begitu saja perjanjian 2015, Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). Ini perjanjian yang berhasil mengendalikan program nuklir Iran. Menambah runyam adalah AS menambah sanksi baru yang membuat Iran berang dan otomatis merasa berhak mengembangkan lagi nuklir.
Trump mengatakan dia tidak bisa dipersalahkan dengan meninggalkan perjanjian 2015. “Ini bukan kesepakatan yang kami ciptakan. Tidak ada yang ironis di situ. Presiden Trump tidak meninggalkan kesepakatan yang dibuatnya sendiri, dia meninggalkan kesepakatan yang tercipta di era Presiden Barack Obama,” kata Brian Hook, utusan khusus AS untuk Iran.
Ini sikap yang menunjukkan ironi dari sebuah negara besar, AS. Setiap pemerintahan memiliki tanggung jawab melanjutkan kebijakan pemerintahan sebelumnya atau mengubahnya dengan cara elegan. Pandangan ini tidak dipegang AS, sehingga muncul krisis ini. Dan, “Ini sebuah krisis politik, bukan sebuah krisis militer, bukan sebuah krisis nuklir,” kata Jon Wolfsthal, Direktur Nuclear Crisis Group (badan non-pemerintahan). Tidak jelas apa yang diinginkan AS, demikian lanjut Wolfsthal.
Tidak kompeten
Krisis berakar pada rencana serta aksi yang kacau balau. Jika didalami lagi, ini buah dari pemimpin yang tidak kompeten. Ini tergambar dari memo-memo Dubes Inggris untuk AS Sir Kim Darroch ke pemerintahan Inggris soal Trump dan pemerintahannya. Memo yang membuat Trump marah ini muncul di harian Inggris, The Daily Mail, edisi 6 Juli.
Darroch menuliskan pada salah satu memonya soal kebijakan Trump tentang Iran. “Tidak matang dan tampaknya tidak akan bisa membaik segera,” demikian isi memo itu. Krisis Iran salah satu potret kekacauan dari kebijakan luar negeri AS.
Lebih jauh Darroch lewat memo itu kepada pemerintahan Inggris menuliskan Trump tidak memiliki filter, gelisahan, tak mendengar, dan hanya ingin mendengar nasihat yang menguntungkannya. Darroch mengatakan, dunia di bawah AS pimpinan Trump sedang menuju keambrukan. Trump tidak kompeten dan pemerintahan tidak berfungsi.
Trump mengatakan tidak akan mau lagi berhubungan dengan Darroch. Trump menambahkan tak mengenal Dubes Inggris itu walau pernah beberapa kali bertemu di Gedung Putih. Maka seperti bagian lain pada memo Darroch, Trump suka membuat pernyataan salah.
Masalah melebar
Darroch benar. Kebijakan Trump soal Iran menjadi blunder dan akhirnya melebar. Ini bukan lagi masalah antara AS dan Iran, dimana Israel dan Inggris ada bersama AS. Ini kemudian berkembang menjadi urusan dunia sebab memunculkan perlawanan dari Rusia dan China terkait kebijakan AS atas Iran.
Saat Presiden Barack Obama mengotaki JCPOA, dia menegaskan bahwa AS tidak sendirian di dunia ini dan karenanya harus bekerja untuk solusi global.
Pada 22 Mei 2019, James Mattis, Menhan AS di bawah Trump yang telah mengundurkan diri, berbicara di Uni Emirat Arab. “AS harus sabar dan memelihara perdamaian, stabilitas, serta mengizinkan para diplomat menjalankan diplomasi ….”
Mattis menekankan kerja sama global penting untuk mengalahkan radikalisme di seluruh dunia. “Kita harus bekerja sama dan sebagai negara-negara harus menghargai setiap perbedaan sembari tetap saling bergandeng tangan, terlibat satu sama lain,” lanjut Mattis.
Mattis setuju dengan pendekatan Obama untuk terlibat diskusi dengan Iran. “Kita harus bertahan dengan itu,” kata Mattis di hadapan Kongres AS pada Oktober 2017.
Opini ini membuat Mattis berseberangan dengan Trump. AS tidak peduli pada opini Uni Eropa, tak mengindahkan kepentingan dan aspirasi Rusia dan China. Sikap ini membuat AS repot sendiri. Tekanan AS lewat kata-kata dan sanksi atas Iran tidak mampu membungkam Iran. Negara ini turut meningkatkan perang psikologi dan memancing Trump, yang mudah tersingggung dan reaktif. Aksi Iran ini logis sebab mereka tidak sudi dengan semua tekanan yang berefek pada pelemahan ekonomi.
Kerja sama diam-diam
Di tengah kekurangannya, untunglah Trump memperlihatkan celah baik. AS memperlihatkan kesediaan berkolaborasi dengan Rusia. Penasihat Keamanan Nasional Rusia Nikolai Patrushev bertemu di Jerusalem pada 25 Juni 2019 dengan Penasihat Keamanan AS John Bolton dan Penasihat Keamanan Nasional Israel Meir Ben Shabbat.
Dalam pertemuan ini Patrushev membela Iran. Rusia menyebut Iran sebagai sekutu. Tidak jelas hasil dari pertemuan ini tentang solusi masalah Iran tetapi ini mengindikasikan kesediaan AS mendengar dunia.
AS juga memperlihatkan indikasi untuk melibatkan China, yang selalu menekankan yurisdiksi hukum AS tidak berlaku untuk negara lain. Dengan demikian sanksi AS atas Iran tidak berlaku bagi China, seperti dikatakan Menlu China Wang Yi.
China bisa menjadi kartu truf bagi AS untuk menjinakkan Iran yang sedang memancing-mancing AS. Seperti diberitakan harian The Wall Street Journal, Iran melakukan tekanan balik atau pancingan dengan tujuan agar tekanan ekonomi AS dicabut.
Iran bukan sebuah negara yang pelik. Iran sebuah negara yang normal dan biasa diajak berdiskusi meski ditekan sekian lama oleh Barat. Iran siap membuka dialog. Kantor berita Reuters pada 4 Juli 2019 mengutip IRNA, kantor berita Iran, bahwa negosiasi dengan AS terbuka jika sanksi dicabut.
Hal menarik lagi, walau lewat jalan berliku, AS secara implisit ingin melepas sanksi ekonomi ke Iran. Ini dilakukan AS dengan pemberian izin bagi China untuk mengimpor minyak Iran hingga satu juta barrel per hari.
Imbalannya, China mulai mendekati Iran. Menlu China Wang Yi sudah mengatakan agar Iran tidak mengembangkan senjata nuklir. Pada 2 Juli 2019, China menyesalkan Iran yang menyatakan telah meningkatkan uranium yang diperkaya. Ini nada dari China yang pasti disukai AS.
Akan tetapi, China tetap meminta komunitas internasional menghargai kedaulatan Iran dan perjanjian nuklir 2015. Lagi, China melapisi kalimatnya dengan mengatakan perlawanan verbal Iran berakar dari tekanan AS yang berlebihan, kata jubir Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang. Meski demikian, China adalah kekuatan yang bisa mengatasi krisis Iran.
Melengkapi itu, Susan Rice menuliskan agar Presiden Trump menjaga jarak dari para hawkish. Dia meminta Trump memanfaatkan tokoh-tokoh di AS yang lebih paham soal Iran dan memiliki relasi baik dengan Iran. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar