Rabu, 10 Juli 2019

Menggantung Asa di Sekolah

Menggantung Asa di Sekolah

Oleh : Anggi Afriansyah ; Peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Penelitian Kependudukan LIPI
MEDIA INDONESIAPada: Rabu, 10 Jul 2019, 03:45 WIB
KURANG dari satu minggu ke depan anak-anak sudah kembali bersekolah. Bagi sebagian besar ­orang, bersekolah ialah salah satu ikhtiar untuk menjemput mimpi. Sudah banyak kisah sukses yang berkisah tentang keberhasilan orang-orang yang tak beruntung secara ekonomi kemudian hidup sukses karena berhasil mengarungi dunia persekolahan yang keras. Kita tak bisa menutup mata, banyak yang menginvestasikan beragam upaya hanya untuk bersekolah, tetapi menuai kegagalan. 

Ada begitu banyak jalan menuju sukses dan sekolah ialah salah satunya karena memang tidak ada jalan pintas menuju keberhasilan hidup. Meski demikian, secara pragmatis, sebagian besar masyarakat masih mengganggap bersekolah tinggi berarti berkorelasi dengan kehidupan yang lebih baik dan bersekolah tinggi berarti lebih dihormati masyarakat.
Begitu banyak asa tertanam di sekolah. Hingga kita berlebih­an memberikan beban bagi sekolah. Membuat orang pintar secara akademis, berkarakter baik, hingga memperoleh pekerjaan. Semua orang berharap pada sekolah. Kita semua berharap agar anak-anak kita menjadi lebih baik setelah mereka bersekolah.
Perburuan terhadap sekolah favorit ialah contoh nyatanya. Sekolah negeri favorit masih menjadi rebutan, setidaknya itu yang masih kita lihat dalam polemik zonasi beberapa waktu ini. Orangtua masih terus berlomba-lomba memasukkan anaknya ke sekolah-sekolah terbaik. Untuk orangtua kelas menengah atas tak segan merogoh koceknya untuk memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anak mereka.
Sekolah menjadi arena pergulatan karena banyak orang yang memercayakan asa pada lembaga ini. Mereka berjuang sepenuh hati demi mengubah nasibnya di masa depan. Bahkan ada yang harus terpisah dengan orangtuanya, pergi me­rantau di usia yang sangat belia karena memang tak ada sekolah di dekat rumah mereka.
Orangtua mereka harus berutang sana-sini untuk membiayai sekolah. Ada asa digantungkan di goresan pena yang dituliskan pada kertas-kertas dan pada bacaan-bacaan yang ditekuni. Mereka berjuang demi ilmu pengetahuan demi kemajuan dan masa depan yang lebih cerah.
Isu pragmatis
Setelah sekolah kamu bisa apa, menjadi apa, atau memiliki apa? Itu kira-kira beberapa pertanyaan yang diajukan masyarakat kepada mereka yang bersekolah tinggi. Pertanyaan tersebut menunjukkan betapa masyarakat berharap sekolah memiliki daya dobrak untuk mengubah nasib seseorang.
Sekolah juga kadung diposisikan sebagai salah satu pabrik penghasil tenaga kerja. Oleh karenanya, pemerintah pun turut masuk ke arena pragmatis tersebut. Dibuatlah sekolah menengah kejuruan (SMK) yang memang difokuskan untuk menciptakan lulusan yang siap kerja. Minat masyarakat terhadap SMK pun begitu besar.
Namun, kita pun tahu masih banyak lulusan SMK yang tak terserap ke pasar kerja. Tiga tahun terakhir (2017-2019) meskipun secara statistik terdapat penurunan (9,27%, 8,92%, dan 8,63%), merujuk pada data BPS (2019) pemegang urutan pertama tingkat pe­ngangguran terbuka berdasar tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan merupakan lulusan SMK.
Tak ayal ada juga masyarakat yang sudah antipati terhadap pendidikan formal karena investasi besar yang dilakukan untuk bersekolah baik dari segi waktu dan biaya tidak terbayarkan ketika anak-anak mereka lulus. Toh sudah sekolah tinggi pun masih harus menganggur. Atau jika bekerja tidak relevan dengan ilmu yang dipelajari ketika sekolah. Atau sudah bekerja tapi tidak mendapatkan penghasilan yang memadai. Buat apa sekolah tinggi jika tetap menganggur?
Kemampuan setiap anak yang di awal masuk ke dunia persekolahan tidaklah sama. Ada anak yang sudah matang secara emosional dan siap secara akademik, juga sebaliknya. Anak-anak yang matang ini ditempa keluarganya. Ada habitus, jika merujuk Bourdieu, yang dibangun di keluarga. Karakter, penguasaan bahasa, kemampuan berkomunikasi, pengenalan terhadap buku dan lain sebagainya sehingga mereka biasanya tidak mengalami kesulitan yang berarti ketika masuk dunia sekolah karena itu dunia yang biasa mereka hadapi.
Sementara itu, untuk siswa yang memiliki banyak ke­terbatasan harus beradaptasi di dunia persekolahan. Penyesuai­an pada beragam aspek harus dilakukan. Mereka belum memiliki kemampuan yang sama dengan anak yang matang secara emosional maupun akademik, tetapi mendapatkan perlakuan yang sama.
Apalagi kultur penyeragam­an masih begitu laku keras di dunia pendidikan kita, padahal anak-anak itu jelas beragam. Maka dari itu, pendekatan bagi mereka pun perlu memerhatikan keberagaman. Tak bisa gebyah-uyah disamaratakan. Sayangnya, melakukan pendekatan pendidikan yang meng­anggap setiap anak sebagai se­suatu yang unik memang belum menjadi perhatian bersama.
Cap malas, tak mau berubah, tak mau bekerja keras sering kali mudah disematkan kepada siswa. Tanpa berupaya untuk menelusuri secara cermat mengapa mereka berperilaku seperti itu. Tanpa bertanya dan mencoba untuk tahu. Hanya menghakimi tanpa mengetahui sebab sesungguhnya.
Padahal, jika merujuk padatemuan Howard Gardner (1993) tentang kecerdasan jamak, setiap anak memiliki kecerdasannya sendiri-sendiri. Kita harus menghargai kecerdasan tiap anak-anak tersebut. Ini memang sulit karena sejak lama orientasi pendidikan kita memang lebih menghargai kecerdasan akademik. Ukuran penilaian lebih pada aspek kognitif, dari seleksi masuk sekolah sampai penghargaan terhadap siswa yang memiliki akademisi yang tinggi.
Dalam kondisi ini upaya keras untuk membangun sekolah yang menghargai ragam peserta didik menjadi sangat utama. Setiap anak memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang memadai sesuai dengan potensinya. Juga perhatian terhadap aspek sosial budaya yang mana sekolah itu ada menjadi sangat penting.
Pada titik inilah seharusnya sekolah dibangun menjadi rumah nyaman yang setiap anak diterima apa adanya. Di sekolah, mereka mendapatkan perhatian yang intensif. Diperhatikan secara seksama apa bakat dan potensinya, juga kekurangannya. Ditemani sampai mereka mampu memiliki pilihan-pilihan hidup yang mereka inginkan. Menjadi orang-orang yang bermanfaat bagi kehidupan.
Tentu kita tidak ingin kerja keras anak-anak bangsa yang mendampak hidup lebih baik itu dikhianati karena negara tidak dapat sepenuhnya menjamin upaya pencerdasan yang dijanjikannya itu. Begitu banyak asa digantungkan pada sekolah, maka tugas negara ialah menunaikannya. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar