Rasanya tak ada yang berlebihan dengan kata-kata lama yang menarik bahwa “demokrasi itu riuh”. Bahkan sering kali harus diimbuhi dengan frasa kata “amat sangat”. Semua keriuhan itu memiliki nada berbeda, mengikuti setiap tahapan. Pasca-pemilu dan putusan Mahkamah Konstitusi, salah satu keriuhan utama adalah membangun koalisi dan adanya oposisi bagi pemerintahan. 

Semuanya bermuara pada permintaan bagi-bagi kursi kabinet Joko Widodo-Ma’ruf Amin (Jokowi-Ma’ruf). Baik partai-partai pendukung Jokowi dalam pemilu maupun partai-partai yang berlawanan dengannya di pemilu, meminta jatah kursi menteri sebagai syarat untuk berkoalisi.
Partai pendukung Jokowi dalam pemilu pasti memiliki logika yang berbeda dalam alasannya meminta jatah menteri dan berkoalisi jika dibandingkan dengan alasan partai pendukung Prabowo dalam pemilu. Jika kesemua partai menghendaki berkoalisi bersama pemerintahan yang terpilih, maka siapa oposisinya? Pentingkah membangun koalisi dan oposisi yang kuat dalam pemerintahan?
Sistem pemerintahan
Sejujurnya, salah satu yang paling penting dibicarakan dalam perdebatan tentang membangun koalisi dalam pemerintahan adalah keniscayaan berkaitan dengan sistem pemerintahan. Pasalnya, kebiasaan yang terbangun dalam sistem pemerintahan presidensial sebenarnya berbeda dengan langgam yang biasa terjadi dalam sistem parlementer. Tradisi keduanya memang berbeda jauh, bahkan mungkin secara diametral.
Dalam sistem parlementer, khususnya Westminster system, koalisi menjadi amat sangat penting, terkhusus jika partai gagal memperoleh dukungan lebih besar dari 50 persen. Karena setelah sistem pemilu tunggal —yang hanya pemilu legislatif — melahirkan parlemen, maka perdebatan utamanya adalah bagaimana membangun pemerintahan, apalagi ketika tak ada penguasaan mayoritas partai.
Maka, siapa primus interpares yang akan didaulat sebagai kepala pemerintahan (perdana menteri/PM) sangat bergantung kemampuan membangun koalisi. Kegagalan membangun koalisi sangat mudah berujung pada kegagalan mendapatkan kursi PM. Begitu pun ketika menjalankan kekuasaan selaku PM.
Alat ukur yang “hanya” dari kebijakan, membuat PM amat sangat mudah jatuh, kecuali jika didukung sangat kuat oleh koalisi yang dibangun.
Makanya, dalam sistem parlementer, baik koalisi dalam membentuk pemerintahan maupun dalam menjalankan pemerintahan, menjadi sangat penting. Walaupun sebenarnya, bahasa mengganti PM dalam sistem parlementer, sering bukan karena tarik-menarik politik semata tetapi juga untuk menguatkan kepercayaan publik pada pemerintahan. Makanya, selain Margareth Thatcher di Inggris, rasanya tak ada perdana menteri yang bisa bertahan dengan rentang waktu yang sangat lama.
Berbeda dengan parlementer, dalam sistem presidensial, presiden dan anggota parlemen terpilih secara terpisah dalam dua pemilu (legislatif-eksekutif) yang berakibat daulat kuasa antara keduanya relatif sama secara langsung lahir dari rakyat. Karena setara lahir dari rakyat secara langsung, untuk menjatuhkannya juga tidak “sesederhana” sistem parlementer. Presiden tidak dijatuhkan karena pilihan kebijakan, tetapi lebih karena pelanggaran atas impeachment articles yang dicantumkan di dalam konstitusi.
Oleh karena presiden berposisi cukup kuat, serta dipilih langsung oleh rakyat, tidak ada kewajiban membangun koalisi dalam membentuk pemerintahan. Karenanya, koalisi dalam membentuk pemerintahan nyaris tidak perlu. Sedikit berbeda dengan ketika menjalankan pemerintahan.
Biasanya, geliat politik dan perimbangan checks and balances, membuat dan menuntut Presiden harus membangun hubungan mesra dengan parlemen, dan disitulah mengapa biasanya para ahli politik dan hukum ketatanegaraan mengatakan ada keperluan untuk membangun koalisi dalam rangka memuluskan kerja-kerja Presiden.
Semisal, dalam penyusunan anggaran yang dilakukan oleh presiden, sangat sulit berhasil dengan mudah jika tak didukung partai-partai pendukung pemerintah di parlemen. Bahkan, jika tak ada dukungan itu, akan mudah berakibat pada cita-cita kerja yang ditawarkan oleh presiden bisa berantakan karena tidak didukung oleh politik anggaran di parlemen.
Koalisi di sistem presidensial
Artinya sebenarnya sangat jelas, tak ada kebutuhan mendasar Presiden untuk membangun koalisi dalam membentuk pemerintahan. Wilayah prerogatif Presiden dalam menunjuk menteri-menteri kabinet tidaklah perlu dikaitkan dengan dukungan pada pemilu. Ini sebabnya, mengapa sedari awal sebenarnya kita harus menolak model threshold yang mengada-ada ala presidential threshold.
Selama ini, ambang batas bagi partai atau gabungan partai untuk mengajukan capres atau cawapres (presidential threshold) dipakai dengan seakan-akan menyamakan kepentingan koalisi dalam membentuk pemerintahan dan menjalankan pemerintahan. Jebakan logika ini sangat terlihat, sehingga bahkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.53/PUU-XV/2017 dalam perkara pengujian presidential threshold pun mengikuti tabuhan genderang kepentingan politik ini. Sehingga menyamakan pengajuan syarat menjadi capres dengan cita-cita sistem presidensial.
Padahal, logika tersebut tak berhubungan secara langsung. Hal ini bahkan dibahas secara sangat baik dalam dissenting opinion pada putusan itu. Hakim Saldi Isra dan Suhartoyo mengatakan, rezim ambang batas dalam pencalonan yang menggunakan hasil pemilu legislatif sesungguhnya tidak relevan, dan logika mempertahankan dukungan besar pada presiden malah bisa menjadi perangkap menjadi pemerintahan otoriter.
Sekali lagi, ada kebutuhan berbeda antara koalisi menjalankan pemerintahan dan membentuk pemerintahan. Jika pun ada kebutuhan membangun koalisi untuk menjalankan pemerintahan maka tak berarti harus dipaksa dan dikaitkan dengan membentuk kabinet pemerintahan. Biarkan kebutuhan berbeda itu dijawab Presiden dengan jawaban tak tunggal melalui bagi-bagi kursi menteri. Lagi pula dalam bagi-bagi menteri, kesan kualitas akan sangat mungkin ditinggalkan.
Dan tanpa terasa, logika seperti itu sebenarnya merusak kepercayaan publik atas pemerintahan, terlebih atas janji-janji yang selama ini dibahasakan oleh Presiden dengan keinginan membangun kabinet yang zaken. Dan rongrongan partai untuk meminta jabatan menteri sebenarnya adalah gangguan atas prerogatif itu sendiri.
Lagi pula, hal yang tak mungkin dilupakan adalah bahaya implikatif dari sistem presidensial jika dikaitkan dengan dukungan di parlemen. Logika sistem presidensial sebenarnya berjalan di jalur yang tak boleh mendapatkan dukungan terlalu tinggi di parlemen, walau pada saat yang sama tak layak juga mendapatkan dukungan terlalu rendah di parlemen.

Sederhananya, dukungan terlalu rendah di parlemen, sangat mungkin membuat akan mati gaya dan tidak dapat melaksanakan kebijakan-kebijakannya dengan mudah. Persis yang dicontohkan di atas, semisal dalam wilayah penganggaran. Tanpa dukungan mayoritas sederhana, sulit bagi pemerintah untuk bisa dengan mudah menjalankan cita-cita pembangunan yang diidamkan.
Presiden sangat mudah diganggu dengan berbagai tindakan tidak perlu sebagai akibat dari sistem pengawasan di Indonesia yang memang bercorak terlalu kuat, memiliki kekuatan pengawasan dalam sistem presidensial. Kita punya contohnya. Presiden Gus Dur yang dengan mudah dijatuhkan saat itu.
Memang, sistem ketatanegaraan berubah dan lebih memperkuat sistem Presidensial sehingga presiden tak semudah itu lagi untuk dijatuhkan. Tetapi, ingatan kita juga bisa dengan mencontohkan Presiden Jokowi di awal pemerintanan 2014-2019 yang untungnya dapat dengan cepat memeluk beberapa partai oposisi lainnya yang diubah menjadi koalisi mayoritas sederhana dalam menjalankan pemerintahan.
Sebaliknya, jika dukungan terlalu besar ke presiden, secara mayoritas absolut atau lebih, presiden sangat tergoda untuk menjadi tak terawasi dengan baik serta berpeluang jadi otoriter. Trauma kita pada sejarah Orde Baru sebenarnya memperlihatkan ini.
Soeharto menguasai birokrasi, partai dan tentara membuatnya tergoda menjadi otoriter sungguhan. Mengapa demikian? Oleh karena sistem presidensial memang dibangun dengan nuasa pendulum kekuasaan yang berayun amat jauh dan sangat kuat bagi Presiden.
Alexander Hamilton dalam The Federalist Paper ketika membentuk konstitusi Amerika Serikat sudah menyatakan bahwa presiden dalam sistem presidensial ini mirip kuasa daulat raja yang hanya kemudian coba kita batasi melalui konstitusi. Ia menjamak kekuasaan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.
Dengan kuasa yang besar dan ditopang dukungan yang sangat besar oleh lembaga yang seharusnya menjadi pengawas, akan sangat mudah membuat presiden tak akan terkawal dengan baik. Apalagi jika ada gejala dukungan TNI dan Kepolisian yang amat kuat.
Sangat mungkin, apapun yang dikehendaki presiden akan dengan mudah dijalankan bahkan dengan menggunakan kekuasaan hukum dalam menegakkan ketertiban dan kedaulatan negara. Di tengah sudah dikeluarkannya Peraturan Presiden No 37 Tahun 2019 tentang Jabatan Fungsional TNI yang sudah seakan membangkitkan “Dwi Fungsi” ABRI, mestinya ketakutan akan ancaman godaan menuju otoritarian harus dihindarkan dengan lebih dini.
Dan memang, itulah “penyakit” utama dalam sistem presidensial yakni relasi antara presiden dan parlemen yang diukur dengan kadar pengawasannya. Artinya, koalisi tak boleh kuat-kuat amat sehingga membunuh konsep pengawasan melalui oposisi. Pada saat yang sama oposisi tak boleh terlalu kuat sehingga presiden tak dapat bergerak leluasa.
Koalisi “pas terbatas”
Oleh karena itu, jika pun akan dibangun koalisi, koalisi yang terukur secara “pas terbatas” jauh lebih baik dibanding memaksakannya menjadi gemuk dan tak terkendali. Bagaimana “pas terbatas” itu, sesungguhnya sangat mungkin diukur dengan jaminan adanya jumlah kuantitas dan kualitas oposisi yang memadai.
Kualitas-kuantitas oposisi yang masih dapat menentukan berjalannya konsep-konsep pengawasan seperti interpelasi, angket dan hak menyatakan pendapat. Jika semua merapat ke Presiden, maka dapat dipastikan bahkan untuk kuorum mengajukan hak-hak tersebut bisa-bisa tidak terpenuhi.
Menteri yang dipilih harus memiliki integritas, kapabilitas dan akseptabilitas. Integritas dengan rekam jejak yang jelas tanpa keraguan. Kapabilitas berupa kemampuan dan kemauan bekerja dengan keahliannya. Pada saat yang sama juga akseptabel di hadapan publik dan politik. Ketiga unsur itu jauh lebih penting dibicarakan dibanding hanya sekadar bersandar pada partai mana ia bernasab, dan ke mana ia melabuhkan koalisi kepartaiannya.
Bahwa ada kebutuhan membangun keharmonisan pasca-keriuhan pilpres, sebenarnya tidaklah wajib ditunjukkan dengan bagi-bagi kursi jabatan menteri dan memaksa masuk ke kabinet. Terlebih lagi kita semua paham, keriuhan politik di Indonesia tidaklah sama dengan keriuhan di akar rumput.
Politik jauh lebih cepat menemukan kesetimbangan di banding di akar rumput. Kerja-kerja Presiden dalam membangun republik ini lebih dibutuhkan untuk merekatkan kembali keharmonisan akar rumput.  Jika pun harus membangun koalisi, bangunlah secara pas demi menyokong cita-cita pembangunan, dan terbatas yang tetap bisa membuat Presiden leluasa dan tak tergoda menuju otoriter.
Jika memaksakan koalisi gemuk yang semuanya bergabung dengan pemenang pemilu, sekali lagi, pemerintah akan mudah terperosok ke otoriter. Jika kata otoriter dianggap berlebihan, maka setidaknya bisa menjebak ke rezim zonder kontrol. ***