Yang Mulia
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan
|
JAWA
POS, 08 Desember 2015
DALAM persidangan, kita memanggil
hakim dengan sebutan penuh hormat: Yang Mulia. Mengapa? Sebab hakim adalah
orang yang diberi kuasa untuk menjalankan sebagian dari kewenangan Ilahi.
Ia diberi hak untuk menghukum atau
mengampuni. Maka, orang dengan kewenangan seperti itu, ia betul-betul menjadi
orang terhormat, dan karenanya layak dihormati.
Dalam kehidupan ini kita sering
diperkaya dengan kisah tentang hakim yang
adil dalam mengambil keputusan, tetapi penuh belas kasih terhadap mereka yang
teraniaya dan bicara tentang kebenaran. Salah satunya kisah klasik tentang
Hakim Bao.
Nama lengkapnya Bao Zheng. Ia
hidup pada zaman dinasti Song dan karena kejujurannya, ia mendapat julukan
Bao Qingtan atau Bao si biru langit.
Tapi, Bao bukan hanya jujur. Ia
pemberani. Suatu ketika Hakim Bao menjatuhkan hukuman mati untuk menantu
kaisar.
Keputusannya itu mendapat
penolakan keras dari permaisuri dan tentu saja para anteknya. Bao pun habis
dihujat mereka. Namun, Bao bersiteguh
dengan keputusannya.
“Keluarga kaisar dan rakyat punya
kedudukan yang sama di muka hukum. Jadi tetap harus tunduk pada hukum
negara,” katanya.
Akibatnya itu, ia babak belur
diintimidasi. Kalau di sini sekarang, barangkali ia sudah dipansuskan. Namun,
Semua ancaman ia hadapi. Sang menantu tadi tetap dieksekusi.
Saya bangga kita juga pernah punya
beberapa hakim yang begitu membanggakan, seperti Bismar Siregar dan Yahya
Harahap, yang keputusannya benar-benar mewujudkan rasa keadilan. Juga
Benyamin Mangkudilaga yang berani menolak suap.
Suap
dan Godaan
Kita tentu ingin punya hakim
seperti Hakim Bao, Bismar, Yahya atau Benyamin. Bukan cuma hakim, tapi juga
menteri, anggota DPR, guru, dosen, wartawan, CEO, pengusaha dan para penegak
kebenaran lainnya.
Berani, adil, tegas dan penuh
belas kasih terhadap yang lemah dan tertindas. Tak takut dengan intimidasi,
kehilangan apapun, apalagi cuma sekedar jabatan, tahan godaan serta tak bisa
disuap.
Bicara godaan atau suap, bulu
kuduk saya tiba-tiba meremang ketika kita menyebut kata Yang Mulia pada
hakim-hakim kita sekarang ini.
Sebab, belum lama berselang
seorang hakim PTUN di Sumatera Barat tertangkap ketika sedang “nyabu” bersama
dengan seorang oknum kepolisian setempat.
Di Bengkulu, seorang hakim juga ditahan
karena terbukti mengkonsumsi sabu. Bahkan di Sibolga, Sumatera Utara, seorang
hakim digerebeg warga saat tengah nyabu bersama selingkuhannya. Gila!
Lalu yang tak kalah gila, masih di
Sumatera Utara, seorang pengguna narkoba, sebut saja namanya Ucok, menjadi
hakim untuk mengadili perkara narkoba juga.
Kasus hakim Ucok ini sungguh
ruwet. Ia menerima narkoba dari terpidana yang kasusnya dia putuskan. Ucok
bukan hanya mengenal, tetapi juga “berhutang”pada terpidana itu.
Terpidana itulah yang
menyelamatkan Ucok dari amuk warga yang murka mendapati Ucok berduaan dengan
seorang wanita yang bukan istrinya di
rumah dinasnya.
Belakangan bahkan juga masih ramai
diberitakan tentang hakim yang menerima suap dari seorang pengacara kondang.
Ini juga ruwet karena banyak pejabat yang ikut terseret.
Apakah Anda rela memanggil Yang
Mulia untuk Ucok dan hakim-hakim yang menerima sesuatu untuk menangani kasus
kita?
Sekali lagi, apakah Anda rela
memanggil hakim-hakim itu dengan sebutan Yang Mulia?
Olok-olok
Tapi, rupanya itu pun belum cukup
rendah. Kata Yang Mulia belakangan betul-betul berada di titik nadir.
Mengapa?
Saya mendengarnya tak sengaja.
Salah satu stasiun radio di Jakarta punya acara reguler yang isinya menampung
komentar warga atas suatu isu tertentu.
Topik hari itu adalah sidang
Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang sudah berlangsung selama dua hari, Rabu
dan Kamis (2-3 Desember 2015).
Selama program tersebut
disiarkan, para pendengar dengan sukahati
menyebut pembawa acara dengan panggilan “yang mulia”.
Sebaliknya, sang penyiar juga
memanggil warga yang sedang mengemukakan pendapatnya dengan panggilan “yang
mulia”.
Nadanya, Anda tentu tahu, penuh
dengan olok-olok. Saya geli mendengarnya, tapi sekaligus prihatin.
Kalau sebalnya sudah tak alang kepalang,
seakan tak berdaya, masyarakat kita menjadi powerful dalam ber-olok-olok. Tapi saya yakin ini cuma
sementara, sampai akhirnya masyarakat akan berbuat sesuatu yang amat besar bila
mereka mendiamkannya.
Ekspresi populer lainnya adalah
meme (dibaca, mim). Cobalah klik, Anda akan dengan mudah menemukan meme yang
berisi olok-olok soal sidang MKD. Saya jamin, minimal Anda akan senyum-senyum
sendiri.
Meski tersenyum, hati saya pahit
sekali. Kata “yang mulia”, yang harusnya kita gunakan untuk mengungkapkan
rasa hormat kepada seseorang, sekarang
digunakan untuk menggambarkan kondisi sebaliknya. Sosok yang bebal,
menjijikkan, tak tahu malu, dan “murahan” mempertontonkan kebodohannya
sungguh tidak layak mendapatkan penghormatan dengan panggilan Yang Mulia.
Lebih memalukan lagi, mereka
diberi jubah berwarna merah putih. Saya sungguh tak rela warna bendera kita
dipakai oleh orang-orang seperti itu.
Saya berharap apa yang
dipertontonkan oleh para “yang mulia” dalam sidang MKD tidak membuat kita
skeptis dan akhirnya memandang rendah para hakim. Sebab masih banyak hakim
yang baik dan layak menyandang sebutan Yang Mulia.
Tapi, maaf ya, bukan yang asal
bicara di MKD tadi. Bukan salah sebutan Yang Mulia-nya, tetapi merekalah yang
tidak pantas memakai panggilan itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar