Senin, 21 Desember 2015

Jaminan Relasi Anak-Orangtua

Jaminan Relasi Anak-Orangtua

Reza Indragiri Amriel  ;  Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne
                                           MEDIA INDONESIA, 05 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

TAHUN 2015 merupakan samudra air mata anak-anak Indonesia. Berbagai kemalangan yang mereka alami mengukuhkan hati banyak kalangan untuk mendeklarasikan Indonesia dalam situasi darurat kejahatan seksual. Pemerintah pun meresponsnya dengan langkah luar biasa berupa pengebirian bagi predator seksual. Betapa pun sanksi itu dikhawatirkan akan membuat predator semakin berbahaya dan berpotensi menggerus anggaran negara (baca: “Jangan Kebiri, tapi Injeksi Mati“, Media Indonesia, 26/10), tetapi kesigapan pemerintah tetap patut dihargai.

Persoalannya, ada satu penderitaan anak-anak yang terpinggirkan dari perhatian publik. Kendati tidak menampilkan pemandangan vulgar semisal banjir darah ataupun hilangnya nyawa, situasi perceraian antara suami dan istri yang berlanjut dengan terpisahnya antara anak dan orangtua hampir bisa dipastikan akan mendatangkan suasana yang tidak menyenangkan bagi-utamanya--anak. Menyedihkan, sistem peradilan perdata yang berwenang menyidangkan perkara pengasuhan anak pascaperceraian, kerap tidak berhasil menangkal tindakan semena-mena orangtua pemegang hak asuh yang menyumbat akses anak untuk menjalin hubungan yang hangat dengan orangtua yang tidak memegang hak asuh. Putusan pengadilan yang menyerahkan hak asuh kepada salah satu pihak (umumnya ke ibu), lalu pihak tersebut melakukan pengasingan sehingga anak tidak dapat bertemu dengan orangtuanya yang lain, menjadi masalah berikutnya dengan dampak buruk yang kian bertubi-tubi menyiksa anak.

Data KPAI memberikan dasar bagi kerisauan ini. Sejak 2011 hingga 2014, jumlah kasus perebutan kuasa asuh terus meningkat. Begitu pula dengan jumlah anak korban pelarangan akses bertemu orangtua, naik dari 132 (tahun 2011), 166 (2012), 256 (2013), 282 (2014), ke 266 (perhitungan belum sampai akhir 2015). Angka-angka tersebut melebihi jumlah anak yang menjadi korban eksploitasi dan perdagangan manusia, dan hanya dikalahkan oleh jumlah anak korban kekerasan seksual.

Makna hak asuh anak

Kendala paling awal yang menghalangi terlindunginya anak pascaperceraian ialah pemahaman tentang terma hak asuh itu sendiri. Istilah `hak asuh', acap saling dipertukarkan dengan `kuasa asuh', hingga kini lebih diimplementasikan sebagai bahasan tentang siapa orangtua yang berhak untuk mengasuh anak. Pemahaman sedemikian rupa akan mengarahkan hakim untuk lebih berfokus pada apa yang dimiliki oleh setiap orangtua yang dapat diberikan kepada anak.
Pemaknaan tersebut perlu diluruskan.Hak asuh sesungguhnya merupakan hak anak untuk diasuh oleh pihak yang dinilai paling mampu merealisasikan kepentingan terbaik anak. Pemahaman lebih jernih seperti itu akan memosisikan anak pada kedudukan yang semestinya, yakni sebagai pihak yang sesungguhnya paling berkepentingan dalam penyusunan putusan tentang kehidupan anak pascaperceraian kedua orangtuanya. Pemahaman sedemikian rupa akan mengalihkan hakim untuk lebih berkonsentrasi mengidentifikasi kondisi anak, termasuk kebutuhan anak, problem perkembangan spesifik anak, dan aspirasi anak itu sendiri. Jadi, agenda persidangan akan lebih banyak dialokasikan pada upaya assessment terhadap anak ketimbang terhadap orangtua sebagaimana praktik persidangan yang masih berlangsung hingga dewasa ini.

Hakim niscaya tidak akan mampu melakukan assessment pengasuhan itu tanpa melibatkan amicus curiae yang berlatar keilmuan terkait perkembangan anak. Imbasnya, biaya dan waktu bagi proses persidangan penentuan hak asuh anak memang akan menjadi sangat tinggi sehingga terkesan bertentangan dengan prinsip bahwa proses hukum harus berlangsung seekonomis mungkin. Bertitik tolak dari keinsafan bahwa anak merupakan aset bangsa yang amat sangat berharga, dan kehidupan mereka pascaperceraian menghadirkan problem berlipat ganda. Bisa dikatakan proses persidangan yang semakin panjang dan bertambah rumit itu justru merupakan konsekuensi alamiah yang lebih dapat dipertanggungjawabkan. Hal itu jauh lebih baik ketimbang persidangan yang berlangsung singkat, tetapi menyepelekan kompleksitas multidimensional terkait pemenuhan kepentingan terbaik anak korban perceraian.

KHI versus UUPA

Di samping pelurusan persepsi tentang terma hak asuh atau kuasa asuh, masalah berikutnya datang dari norma hukum. Khusus terhadap kasus-kasus perceraian di lembaga peradilan agama, Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan salah satu--bahkan boleh jadi--acuan utama yang digunakan majelis hakim saat akan menjatuhkan putusan mengenai hak asuh anak.

KHI seolah merupakan instrumen yang memberikan legitimasi terhadap putusan yang dihasilkan oleh hakim pengadilan agama. Tanpa mencantumkan pasal-pasal KHI, putusan hakim agama seolah kehilangan landasan paling fundamentalnya. Itu, disadari atau pun tidak, memunculkan rasa tak nyaman pada hakim untuk mencermati adanya perbedaan filosofis yang sangat tajam antara KHI (aturan agamais) dan Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA, ketentuan `sekuler').

KHI berfilosofi tender years yang eksplisit melihat ihwal hak asuh sebagai previlese ibu. Filosofi ini memandang ibu by default sebagai pengasuh kelas satu. Berbeda 180 derajat, pasal-pasal UUPA yang eksplisit menempatkan ayah dan ibu pada posisi setara. Tidak ada satu orangtua yang lebih superior daripada orangtua yang lain. UUPA juga menegaskan bahwa anak berhak diasuh oleh kedua orangtuanya. Dengan kata lain, KHI menganut asas pengasuhan tunggal (single custody), sedangkan UUPA mengondisikan terciptanya pengasuhan bersama (joint custody).

Merespons perbedaan yang sangat prinsipil itu, hakim seharusnya semaksimal mungkin mengupayakan dihasilkannya putusan bahwa setelah terjadi perceraian, anak diasuh bersama (joint custody) oleh kedua orangtuanya.

Abai putusan

Setelah hakim menjatuhkan putusan berupa pengasuhan tunggal kepada salah satu orangtua, maka sesuai UUPA, kesempatan anak untuk menjalin hubungan dengan orangtua yang tidak memperoleh hak asuh harus tetap terbuka. Namun, realitasnya, sebagaimana data Komisi Perlindungan Anak-Indonesia (KPAI), semakin lama semakin banyak orangtua yang mengadukan hambatan yang mereka alami untuk berjumpa dengan anak me reka. Penghambatan secara fisik juga sering kali disertai dengan stigmatisasi terhadap mantan pasangan agar anak menaruh kebencian kepadanya. Kelakuan jahat itu dilakukan oleh mantan pasangan yang secara ironis menggunakan `atas nama kasih sayang' sebagai dalihnya.

Pemisahan sedemikian rupa tidak dapat dipandang sebelah mata. Setumpuk riset menyimpulkan bahwa fenomena pemisahan anak oleh salah satu orangtua terhadap orangtuanya yang lain (parental alienation) berpotensi besar memunculkan problem fisik, psikis, dan sosial yang serius. Juga bukan hanya satu dua studi yang menemukan bahwa efek pemisahan justru lebih buruk daripada perceraian itu sendiri. Begitu parahnya kondisi anak-anak yang menderita PAS sehingga banyak profesional dan akademisi yang dimotori Dr Richard Gardner mengusulkan parental alienation syndrome (PAS) dicantumkan sebagai klasifikasi spesifik di dalam referensi tentang gangguan mental.

Anak-anak yang menderita PAS itulah yang sangat mungkin akan semakin banyak muncul seiring dengan kian meningginya angka perceraian di Tanah Air. Atas dasar itu, menimbang sisi intensitas dan kuantitas fenomena pengasingan anak yang luar biasa mengkhawatirkan, otoritas hukum dan lembaga perlindungan anak sudah sepatutnya mengambil langkah seribu guna menemukan jalan keluar atas masalah tersebut.

Tindakan secepatnya

Beberapa penyikapan yang perlu diambil: pertama, harus digarisbawahi bahwa kepemilikan akan hak asuh tidak menjustifikasi orangtua untuk mengasingkan anak dari orangtuanya yang lain. Untuk mencegah terjadinya pengasingan tersebut, hakim patut menambahkan ke dalam putusannya satu poin tambahan yang mewajibkan kedua orangtua untuk memberikan laporan berkala perihal disediakannya dan dimanfaatkannya akses anak untuk tetap menjalin tali asih dengan orangtua yang tidak mendapat hak asuh. Integrasi antara kerja lembaga peradilan dan lembaga kesejahteraan sosial juga dapat dibangun untuk keperluan pelaporan maupun pemantauan tersebut.

Kedua, manakala diketahui bahwa pemutusan relasi telah terjadi, lembaga peradilan tidak boleh tinggal diam. Agar muruah Dewi Yustisia tetap terpelihara dan demi menjamin terejawantahkannya keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, tindakan penutupan akses harus dipandang sebagai pelecehan terhadap putusan pengadilan. Secara spesifik, sebagaimana praktik yang berlangsung di banyak negara, kelakuan semacam itu dapat diperkarakan dengan tuduhan penghinaan tidak langsung terhadap lembaga peradilan (indirect contempt of court). Ini menjadi agenda legislasi ke depan, yakni menyusun perundang-undangan tentang penghinaan terhadap lembaga peradilan.

Paralel dengan itu, ketiga, tindakan pengasingan terhadap anak harus disikapi sebagai bentuk kekerasan psikis dan sosial yang dilakukan oleh orangtua terhadap anak yang berada dalam kuasa asuhnya. Itu merupakan persoalan pidana. Konsekuensinya agar sistem peradilan pidana lebih memiliki kemantapan hati dalam melindungi hak anak, revisi UUPA dan UU KDRT maupun penyusunan UU baru mengenai pengasuhan patut mengelaborasi lebih konkret dan deskriptif pasal-pasal tentang penganiayaan semacam itu.

Tidak begitu optimistis untuk berharap bahwa angka perceraian pada 2016 akan menurun. Namun, betapa pun binasanya perkawinan tak terelakkan, satu jaminan harus tetap bisa dibangun bahwa tidak ada mantan anak dan mantan orangtua. Allahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar