Belajar Menerima Perbedaan
Susi Ivvaty ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
17 Desember 2015
“Demokrasi
membutuhkan persiapan dan kesiapan. Sementara selama berpuluh tahun demokrasi
hanya digembar-gemborkan. Kita, misalnya, tidak pernah diajari berbeda. Maka,
orang pun terkaget-kaget setiap melihat perbedaan. Lalu mereka yang berbeda
pun saling memutlakkan pendapat dan kecenderungannya masing-masing". (KH A Mustofa Bisri).
Pernyataan Gus Mus dalam buku Islam Nusantara: Dari Ushul Fiqh hingga
Paham Kebangsaan (Mizan, 2015) itu memang niscaya. Itulah dasar dari
semua kasus kekerasan berlatar belakang perbedaan agama. Orang sulit menerima
perbedaan, merasa paling benar dalam beragama sehingga-sedihnya- menjadi
intoleran dan menghalalkan kekerasan terhadap mereka yang berbeda. Mayoritas
merasa berhak mengatur minoritas. Makin parahlah keadaan karena hukum tidak
bergigi.
Pada akhir tahun 2014 lalu, muncul
harapan agar peristiwa-peristiwa intoleransi di Indonesia bisa berkurang pada
2015 ini. Ibarat mencari jejak di air, harapan itu tak terwujud. Kasus-kasus
intoleransi, baik antaragama maupun antar "aliran" dalam satu
agama, ternyata masih terus terjadi, bahkan mencuat dua kejadian besar,
bentrok antarwarga di Aceh Singkil dan di Tolikara, Papua.
Kejadian di Tolikara sungguh
melukai hati semua umat beragama. Keterangan dari Polri menyebutkan,
keributan pada Idul Fitri itu dipicu surat edaran dari Dewan Pekerja Wilayah
Gereja Injili di Indonesia (GIDI) Tolikara yang tidak ditandatangani oleh
Presiden GIDI. Surat edaran menyebutkan, GIDI akan berkegiatan pada 13-19
Juli di Tolikara dan meminta umat Islam tidak mengundang massa pada tanggal
itu. Karena Idul Fitri jatuh pada 17 Juli, umat Islam tetap menjalankan
ibadah shalat Id, atas seizin kepolisian setempat. Bentrok pun tak
terhindarkan.
Kasus seolah berbalas kasus. Tiga
bulan kemudian, tepatnya pada 12 Oktober, gereja di Aceh Singkil dibakar
massa. Mulanya warga setempat mendesak pemerintah untuk menertibkan 21 gereja
tak berizin. Akan tetapi, sebelum pemerintah mengeksekusi kesepakatan, massa
telah bergerak, membakar gereja. Menurut Kepala Polri Jenderal (Pol) Badrodin
Haiti, polisi telah menjaga 21 gereja itu, tetapi karena letaknya menyebar,
satu gereja hanya bisa dijaga oleh 20 personel.
Dua peristiwa yang terjadi di
provinsi paling barat dan paling timur Indonesia itu secara kasatmata
menunjukkan dominasi kelompok mayoritas atas minoritas. Warga pemeluk agama
mayoritas merasa memiliki kekuatan dan hak untuk menindas umat minoritas.
Pemerintah seperti tidak berdaya untuk menegakkan peraturan. Atau, pemerintah
justru turut andil membuat dan menyokong peraturan yang dinilai atau
ditafsirkan diskriminatif.
Selain dua peristiwa besar itu,
kasus perselisihan rumah ibadah juga masih terjadi. Konflik GKI Yasmin,
Bogor, dan HKBP Filadelfia, Bekasi, Jawa Barat, belum juga usai. Masjid
Ahmadiyah di Tebet, Jakarta Selatan, disegel massa. Sebelumnya, kelompok
Syiah di Yogyakarta diserang. Setara Institute mencatat, masih ada lebih dari
300 tempat ibadah di Indonesia yang diganggu. Kelompok minoritas selalu
merasa terancam.
Jarak
pandang, cara baca
Menarik, pendapat Ketua Umum
Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir di acara Maarif Institute pada
Agustus lalu. Zaman modern yang gaduh saat ini membuat orang ingin kembali
kepada hal yang sublim, kepada agama. Jalannya berbeda-beda dan tergantung
pada jarak pandang dalam melihat sesuatu. Mereka yang jarak pandangnya dekat,
hanya akan menemukan serpihan-serpihan ilmu yang membuat Islam menjadi
eksklusif.
Pernyataan Haedar itu tepat, jika
dikaitkan dengan bagaimana kelompok intoleran pun merujuk dan mengutip kitab
suci untuk menghalalkan kekerasan.
Metode yang akurat untuk membaca
kitab suci Al Quran dan hadis, menurut Guru Besar Universitas Islam Negeri
(UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta Amin Abdullah, adalah problem sosial dan
akademik terbesar umat Islam.
Cara baca
kitab suci bisa secara qira'ah
taqlidiyyah (tekstual dan semi tekstual), bisa juga secara qira'ah tarikhiyyah-ilmiyyah
(kontekstual). Cara baca tekstual membentuk aliran, kelompok, dan mazhab. Qira'ah taqlidiyyah ini tanpa sadar
menggiring cara baca yang bercorak kelompok aliran pemikiran dan golongan
sosial. Para pembaca mengikuti para pendahulunya.
Adapun cara baca kontekstual
mempertimbangkan sungguh- sungguh dinamika sejarah dan sosial budaya secara
cermat keilmuan. Tidak hanya berhenti di situ, tetapi juga dilandasi semangat
untuk memprioritaskan tujuan utama beragama.
Kedua corak bacaan ini berdampak
pada pembentukan hubungan sosial di internal umat Islam serta eksternal
dengan dunia luar. (Amin Abdullah dalam Fikih
Kebinekaan, penerbit Maarif Institute dan Mizan, 2015).
Cara baca boleh berbeda, asal
jangan saling ganggu. Menjadi persoalan ketika perbedaan cara baca kitab suci
itu lantas melahirkan sikap intoleran. Pengajar Falsafah dan Agama
Universitas Paramadina Jakarta, Novriantoni Kahar, menyebut hal itu sebagai
penyebab laten intoleransi. Lembaga pendidikan yang kurang menunjang semangat
toleransi dan wawasan umat beragama yang umumnya masih looking inward (melihat ke dalam), juga menjadi
akar intoleransi. Ditambah lagi dengan kurangnya komitmen dan wawasan para
pemimpin lokal dan nasional dalam menyikapi kasus intoleransi.
"Ada
lagi sebab manifes atau hal yang membuat intoleransi menjadi aksi, salah
satunya pembiaran ujaran kebencian. Kalau pun ada tindakan, sasarannya hanya
terhadap kelompok yang lemah," kata Novri.
Negara
belum hadir
Ketua Umum Serikat Jurnalis untuk
Keberagaman (Sejuk) Ahmad Junaidi mencatat, tidak ada perbedaan berarti dalam
penanganan kasus-kasus intoleransi, meski pemerintahan berganti. Kekerasan
sesama pemeluk Islam, terutama terhadap Syiah, diperkirakan akan berlanjut,
jika melihat kasusnya yang meningkat belakangan ini. Ia menilai, banyak
pejabat pada pemerintah daerah yang masih belum berani menerjemahkan spirit
toleransi pada Nawacita yang digaungkan Presiden Joko Widodo.
Hal senada dikatakan Komisioner
Komnas HAM Muhammad Nurkhoiron. Banyak menteri tidak bisa menjalankan
Nawacita. Sejauh ini, negara belum hadir melindungi kelompok minoritas,
termasuk minoritas agama. Kelompok minoritas belum mendapatkan penikmatan
atas regulasi dan kebijakan yang ada. "Tidak
usah bicara 'aliran impor'. Kita punya agama etnis, seperti Sunda Wiwitan,
Kaharingan, Parmalin, yang tidak mendapatkan pelayanan," katanya.
Menurut Novri, unsur-unsur elite
turut memperkeruh suasana dengan menyewa kelompok penyuka kekerasan untuk
tujuan-tujuan tertentu serta berkompromi politik dengan organisasi intoleran
untuk tujuan yang tidak mulia. "Intelijen
negara perlu bekerja keras untuk mendeteksi potensi munculnya intoleransi.
Kalau sudah dapat info akan ada aksi, jangan bengong sehingga terjadi kasus
di Tolikara dan Aceh Singkil," katanya.
Di tengah deraan kasus intoleransi,
indeks toleransi di 94 kota di Indonesia yang disiarkan Setara Institute,
terasa menyejukkan. Mayoritas kota di Indonesia masih masuk kategori kota
toleran. Kondisi itu bisa dimanfaatkan sebagai modal sosial untuk menghadapi
masalah intoleransi, bahkan di dunia internasional. Jangan sampai harapan
pada 2016 kembali redup, seperti pepatah langit runtuh, bumi telah terbang.
Jangan! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar