Senin, 21 Desember 2015

Menguatkan Politik Luar Negeri Indonesia

Menguatkan Politik Luar Negeri Indonesia

Hikmahanto Juwana  ;  Guru Besar Hukum Internasional UI
                                           MEDIA INDONESIA, 03 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

DI banyak negara meski sebuah negara memiliki politik luar negeri yang tunggal, setiap kali pemerintahan berganti politik luar negeri, negara tersebut akan mengalami penerjemahan ulang (reinterpretation). Indonesia bukan pengecualian.

Setelah Joko Widodo (Jokowi) menjabat sebagai presiden, politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif mendapat penerjemahan ulang. Tahun 2015 merupakan tahun diketahuinya bagaimana pemerintahan Jokowi menjalankan politik luar negeri. Ada sejumlah kebijakan luar negeri yang dapat digambarkan terkait dengan implementasi politik luar negeri bebas aktif.

Pertama, pemerintahan Jokowi menunjukkan ketegasan saat kedaulatan dan kepentingan nasional menjadi taruhan. Di awal tahun, ketika Indonesia hendak melakukan eksekusi hukuman mati atas terpidana narkoba, termasuk warga negara asing, sejumlah negara asal pelaku menekan Indonesia. Protes pun disampaikan, duta besar ditarik, sejumlah bantuan dihentikan, hingga Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa turut memberi pernyataan terhadap Indonesia.
Semua tidak digubris karena Indonesia hendak melaksanakan kedaulatan hukumnya.Indonesia sedang mengalami darurat narkoba dan Indonesia tidak ingin menjadi negara tujuan narkoba dari mancanegara. Berbagai tindakan dari negara sahabat akhirnya cair kembali pascadilakukan eksekusi hukuman mati. Hanya satu negara, yaitu Brasil, yang presidennya belum selesai kemarahannya. Tindakan di luar kewajaran dunia diplomatik berupa tidak menerima surat kepercayaan dari Duta Besar Indonesia saat segala sesuatu telah dipersiapkan, hingga kini belum jelas apakah akan diterima atau tidak.

Ketegasan pemerintahan Jokowi juga ditunjukkan saat dilakukannya penenggelaman sejumlah kapal berbendera asing yang tertangkap mencuri ikan (illegal fishing). Berbagai negara mengajukan keberatan atas kebijakan tersebut. Keberatan lebih karena peliputan media dari penenggelaman yang menyebut nama negara asal kapal maupun kewarganegaraan awak kapal. Nama negara terbawa-bawa meski mereka tidak bisa berbuat banyak karena kapal dan awak kapal asal negara mereka melanggar hukum di perairan Indonesia.

Bahkan, ketegasan Presiden Jokowi tecermin dalam pidatonya di Konferensi Asia Afrika yang mengkritik lembaga keuangan internasional, seperti Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF), yang memanfaatkan fungsinya sebagai kreditur untuk melakukan intervensi kedaulatan hukum negara penerima pinjaman.

Ada perbedaan

Dalam konteks ini, penerjemahan politik luar negeri bebas aktif di bawah pemerintahan Jokowi berbeda dengan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pada masa pemerintahan SBY, interpretasi politik luar negeri bebas aktif ialah seribu teman nol musuh (thousand friends zero enemy). Sementara di era pemerintahan Jokowi, penafsirannya menjadi semua negara adalah teman, hingga kedaulatan dan kepentingan Indonesia dirugikan (all nations are friends, until Indonesia's sovereignty and interest is jeopardized).

Penafsiran politik luar negeri pemerintahan Jokowi diapresiasi masyarakat Indonesia. Namun, tidak demikian dengan masyarakat internasional. Ketegasan Indonesia tak dapat dihindari, tidak saja untuk merefleksikan apa yang dikehendaki publik Indonesia, tetapi juga untuk mencerminkan Indonesia sebagai kekuatan menengah (middle power).

Ini yang harus dipertahankan pemerintahan Jokowi pada 2016 dan tahun-tahun selanjutnya. Bahkan, oleh siapa pun yang akan memegang tampuk pemerintahan di kemudian hari. Namun, demikian Indonesia, pada 2015 banyak dipertanyakan oleh sejumlah negara terkait dengan konsistensinya menjalankan politik luar negeri bebas aktif. Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi dianggap lebih condong dan dekat dengan Tiongkok. Berbagai proyek infrastruktur di Indonesia mendapat pinjaman dari Tiongkok, termasuk kereta cepat Jakarta Bandung.

Berbagai pinjaman ini sebenarnya menguntungkan Tiongkok. `Negeri Tirai Bambu' itu di samping dapat memutar uang yang dimilikinya, juga mensyaratkan tenaga kerja kasarnya untuk dapat bekerja dalam proyek-proyek yang dilakukan di Indonesia. Tiongkok memang harus memutar otak untuk dapat memberikan pekerjaan bagi angkatan kerjanya.

Kedekatan ini oleh Amerika Serikat dipertanyakan. Kunjungan Presiden Jokowi ke AS pun harus dilihat dalam perspektif hendak mengembalikan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif. Di tahun-tahun mendatang yang perlu dipastikan oleh pemerintahan Jokowi ialah politik bebas aktif tetap dijalankan secara konsisten. Perlu dipahami keberpihakan atau condong ke satu negara tidak hanya merugikan Indonesia, tetapi juga akan memunculkan reaksi dari negara lain.

Masalah lain yang menjadi topik pada 2015 ini ialah integrasi ekonomi. Dalam pertemuan puncak ASEAN ke-27 di Kuala Lumpur, Presiden Jokowi dan kepala pemerin tahan ASEAN lainnya menandatangani deklarasi sebagai pengumuman berdirinya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

Saat berkunjung ke AS, Presiden Jokowi pun menyampaikan niat Indonesia dalam Trans Pacific Partnership (TPP). Indonesia seolah tidak mau tertinggal dengan tren baru dunia berupa integrasi ekonomi. Padahal, pemerintah seharusnya melihat hal ini secara bijak. Dalam integrasi ekonomi ada dua unsur penting, yaitu pasar dan tempat berproduksi.

Memang Indonesia merupakan pasar yang sangat menjanjikan keuntungan bagi siapa pun pelaku usaha. Itu menjanjikan karena Indonesia memiliki jumlah penduduk yang besar dan kelas menengah yang terus berkembang, kesukaan (preference) konsumen Indonesia yang mudah diubah dengan iklan, serta tidak ada pelaku usaha lokal yang berarti untuk bersaing.

Hanya saja, bila pasar yang besar tidak berkolerasi dengan pembukaan lapangan pekerjaan, ini berarti barang impor justru membanjiri pasar Indonesia. Kalaulah pasar Indonesia sangat menjanjikan, sudah seharusnya lapangan pekerjaan terbuka di Indonesia. Lapangan pekerjaan di Indonesia tidak terbuka karena Indonesia di mata pelaku usaha bukanlah negara yang ideal untuk dijadikan tempat berproduksi. Iklim investasi di Indonesia banyak dikeluhkan pelaku usaha luar maupun dalam negeri. Keluhan mulai dari kelambanan birokrasi dalam mengeluarkan izin, berbagai pungutan liar dan semiliar, kepastian hukum dan kepastian berusaha, frekuensi, serta alasan berdemo para pekerja dan banyak lagi.

Berpotensi dirugikan

Keluhan ini bila tidak diperhatikan dan dibenahi akan membuat Indonesia dirugikan dalam MEA. Di samping itu, di era MEA, Indonesia berpotensi dirugikan karena adanya lembaga supranasional yang membuat kebijakan-kebijakan terkait dengan pasar tunggal ASEAN dan tempat berproduksi. Dirugikan karena bila para birokrat Indonesia tidak mampu memberi warna dalam pembuatan kebijakan. Bisa jadi, negara dengan pasar kecil seperti Singapura justru menentukan kebijakan ASEAN yang di dalamnya ada Indonesia yang memiliki pasar sangat besar.

Dalam konteks inilah pemerintah perlu memastikan bahwa MEA tidak akan merugikan Indonesia, terutama dalam pembukaan lapangan pekerjaan. Bila MEA ternyata membuat Indonesia sulit membuka lapangan pekerjaan, siapa pun yang akan menjadi presiden pada 2019 akan memaksa Indonesia keluar dari MEA. Ini tentu akan merepotkan posisi Indonesia sebagai pendiri ASEAN dan peserta dari Piagam ASEAN.

Iklim investasi yang tidak kondusif yang harus menjadi pertimbangan pemerintah ketika Indonesia benar-benar akan masuk TPP. Di sini, TPP tidak banyak memberi keuntungan bagi Indonesia. Terlebih, Indonesia tidak turut dalam perundingan perjanjian TPP. Tidak ada warna kepentingan Indonesia dalam TPP.

Terakhir, isu yang menghangat pada 2015 terkait dengan masalah luar negeri yang berdampak pada Indonesia ialah perekrutan warga menjadi anggota Islamic State (IS). IS pun telah melakukan aksi teror di Paris, Prancis. Aksi ini dikhawatirkan akan meluas ke negara lain. Tentu, ini harus menjadi kewaspadaan bagi pemerintah, dan harus mampu mencegah warga asal Indonesia untuk bergabung dengan IS. Saat mereka dapat digagalkan, tentu harus dipikirkan bagaimana memperlakukan mereka. Demikian pula bagi warga yang kembali. Bagaimana memastikan agar mereka tidak melakukan tindakan teror di Indonesia.

Di sini pentingnya kerja sama internasional antara Indonesia dan berbagai negara untuk memastikan penyebaran terhadap IS. Masyarakat perlu disadarkan tentang bahaya ikut dalam IS. Aparat penegak hukum pun harus menggunakan instrumen hukum yang tepat untuk dapat menjerat mereka yang kembali dari tempat pertempuran.

Hal lain yang perlu mendapat perhatian dari pemerintahan Jokowi ialah keterlibatan Indonesia dalam masalah-masalah regional, seperti Laut China Selatan dan multilateral. Pada era pemerintahan Jokowi, keterlibatan Indonesia dalam masalah regional dan multilateral dianggap kurang. Ini yang akan menjadi tantangan agar pemerintahan Jokowi tidak menurunkan standar yang telah dibuat pemerintahan SBY. Sejumlah hal di atas mendominasi politik luar negeri Indonesia serta harus mendapat perhatian pada 2016 dan tahun-tahun mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar