Sejahtera tanpa Kegaduhan
Mohammad Nuh ; Dosen Teknik Elektro ITS; Ketua PB NU
|
JAWA
POS, 10 Desember 2015
MENYIMAK pemberitaan ”papa minta saham” atau penyertaan
modal sementara (PMS) Freeport di berbagai media, terutama media sosial, tanda-tandanya
masih akan berlangsung lama. Paling tidak sampai akhir tahun 2015. Bahkan,
menurut analisis spekulatif, ada empat tahapan desain skenario kasus ini,
yaitu (i) pertemuan para pelaku, sudah terjadi, (ii) pelaporan dan pembahasan
di MKD, (iii) aksi dan eksekusi politik, serta (iv) konfigurasi politik
pasca-eksekusi politik.
Tahap (ii) dan (iii) bukan tahapan konsekutif, tetapi bisa
overlap atau paralel. Menurut analisis tersebut, bila tidak terjadi transaksi
politik baru dan besar, skenario itu akan dirawat menjadi episode per episode
bak sinetron Tukang Bubur Naik Haji (simbolisasi ketidakmungkinan menjadi
kemungkinan dan kenyataan).
Pelajaran apa yang bisa diambil? Kalau direnungkan dengan
baik, dan bebas dari kepentingan politik praktis, serta masa depan bangsa
sebagai orientasi utama, bisa diambil beberapa pelajaran, yaitu sebagai
berikut.
Pertama, pentingnya memahami posisi sebagai pejabat
publik, termasuk pejabat negara. Sebagai pejabat publik, tidak cukup hanya
berpegang pada prinsip kebenaran yang didasarkan atas logika, tetapi juga
prinsip kebaikan yang didasarkan pada etika.
Jadi, bukan sekadar benar-salah, tapi pada saat yang
bersamaan aspek baik-buruk, kepatutan dan kepantasan, harus menjadi
pertimbangan. Karena itu, kasus PMS yang sedang ditangani Mahkamah Kehormatan
Dewan (MKD) lebih pada etika, karena objek otoritasnya pada wilayah etika.
Namun sayangnya, MKD justru terjebak pada wilayah logika,
bukan etika. Bahkan, pertarungan kepentingan politiknya lebih menonjol. Aneh
memang! Ya, memang akan menjadi aneh kalau politik dan etika dipisahkan.
Itulah tontonan paling vulgar dan tidak mendidik tentang
politik tanpa etika. Bahkan, oleh media massa tertentu, opini publik dibangun
untuk membuat polarisasi sehingga media massa pun kehilangan fungsi mulianya,
yaitu sebagai pendidik dan pencerah masyarakat.
Kedua, kasus PMS tidak hanya menyedot perhatian publik
yang luar biasa, tetapi juga menimbulkan kegaduhan dan kontraproduktif.
Berlarut dan liarnya kasus PMS dan membiarkan penyelesaiannya melalui hukum
rimba politik justru akan melemahkan fungsi presiden sebagai kepala negara.
Ingat, presiden Republik Indonesia adalah kepala
pemerintahan sekaligus kepala negara. Bisa saja, sebagai kepala pemerintahan
(eksekutif), posisinya sama dengan pimpinan legislatif dan yudikatif. Namun,
sebagai kepala negara, presiden memiliki kedudukan superioritas dibanding
yang lain.
Ketiga, kita perlu mengingatkan kembali bahwa kita
memiliki agenda utama sebagai mata pelajaran wajib (kurikuler). Energi
(sosial, ekonomi, dan politik) yang kita miliki sangat terbatas. Karena itu,
energi yang kita miliki harus difokuskan untuk menyelesaikan mata pelajaran
wajib tanpa mengabaikan ekstrakurikulernya. Apa itu mata pelajaran wajibnya?
Antara lain menurunkan angka kemiskinan, meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, serta mengura ngi pe ngangguran dengan membuka lapangan
kerja baru. Itu adalah janji presiden dan wakil presiden yang terucapkan,
tertulis, dan masih tersimpan dengan baik dalam memori publik.
Di antara semua janji tersebut, belum ada yang tercapai.
Mempertahankan prestasi tahun sebelumnya saja sudah bagus, malah yang terjadi
adalah penurunan. Tentu dengan berbagai alasan. Data-data kuantitatif sengaja
tidak disampaikan karena sudah menjadi pengetahuan publik.
Merahnya mata pelajaran wajib tersebut justru yang harus
menjadi diskursus, perhatian, dan kehebohan publik. Jangan sampai opini
publik kita mengalami pengalihan sehingga hanya sibuk mencermati
ekstrakurikuler dan mengabaikan kurikulernya.
Keempat, pentingnya membangun budaya cerdas menuju
masyarakat cerdas. Seseorang, organisasi, masyarakat, atau bangsa yang cerdas
selalu dicirikan dengan empat hal. (a) Problem
solving oriented: setiap menghadapi persoalan, orientasinya hanya satu,
yaitu bagaimana menyelesaikan persoalan tersebut. Bukan justru mempersoalkan
persoalan, karena yang dibutuhkan persoalan adalah jawaban. (b) Cost-effectiveness: biaya yang
dibutuhkan dalam menyelesaikan persoalan sangat murah dan efektif. Baik biaya
sosial, ekonomi, maupun politik. (c) Timely
propper: ketepatan dan kecermatan waktu dalam menyelesaikan persoalan.
Tidak membiarkan persoalan sehingga melebar ke mana-mana atau hilang ditelan
waktu (gone with the wind). Biarkan
saja, toh nanti akan hilang sendiri. (d) Ethical
corridor: dalam menyelesaikan persoalan tidak boleh melanggar-menabrak
aturan dan etika.
Dilihat dari empat ciri tersebut, kita bisa menilai
derajat kecerdasan diri, masyarakat, dan bangsa kita. Kecerdasan tidak harus
dikaitkan dengan tingkat pendidikan formal, akan tetapi lebih pada kematangan
jiwa dan berpikir. Dalam ranah kematangan jiwa dan berpikir itulah bersemai
wisdom sebagai puncak dari hierarki pengetahuan. Meminjam istilah Gus Ali
Masyhuri, kiai itu harus cerdas, pintar saja tidak cukup.
Kalau mengikuti tahapan analisis spekulatif tersebut,
masih ada upaya mengubah konfigurasi politik. Dan ini berpotensi muncul
kegaduhan baru sehingga penanganan PMS secara khusus merupakan jalan terbaik.
Bangsa ini memiliki momentum yang luar biasa untuk menjadi
bangsa besar, yang semakin sejahtera, adil, dan berperadaban unggul, yaitu
momentum 100 Tahun Indonesia Merdeka (2045) dan kebangkitan Asia.
Medan yang kita tempuh bukan lari jarak pendek, melainkan
maraton, lari jarak jauh. Dalam maraton diperlukan energi besar dan cerdas
serta canggih mengatur ritme. Untuk itu, kita harus berhemat energi (sosial,
ekonomi, dan politik) serta menghindari pemborosan. Tidakkah kegaduhan
merupakan bagian dari pemborosan energi?
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar