Kesiapan Sektor Ketenagakerjaan Menghadapi MEA
Agus Herta Sumarto ; Peneliti Institute for Development of
Economics and Finance
|
MEDIA
INDONESIA, 18 Desember 2015
DI tengah
masa recovery ekonomi pascahantam
an badai pelemahan nilai tukar beberapa waktu lalu, Indonesia akan kembali
dihadapkan pada ancaman sekaligus peluang yang hampir bisa dipastikan kembali
memengaruhi perekonomian nasional. Dalam beberapa hari ke depan Indonesia
akan memasuki babak baru dalam persaingan ekonominya. Pasar tunggal ASEAN,
ASEAN Economic Community (AEC) atau yang lebih dikenal dengan sebutan
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), akan efektif diberlakukan mulai 1 Januari
2016.
Pemberlakuan
pasar tunggal ini akan dilakukan secara bertahap dimulai dari pembukaan pasar
untuk 12 sektor perdagangan baik barang maupun jasa, yaitu perawatan
kesehatan, pariwisata, jasa logistik, E-ASEAN, jasa angkutan udara, produk
berbasis agro, barangbarang elektronik, perikanan, produk berbasis karet,
tekstil dan pakaian, otomotif, dan produk berbasis kayu.
Selain
pembukaan pasar untuk produk barang dan jasa, pasar tenaga kerja untuk
kelompok tenaga kerja terdidik dibuka lebar, yaitu insinyur, arsitek,
perawat, tenaga survei, tenaga pariwisata, praktisi me dia, dokter gigi, dan
akuntan.Dengan pembukaan untuk tenaga kerja terdidik, pasar tenaga kerja
terdidik semakin luas dan kompetitif.
Namun, bagi
Indonesia, pembukaan pasar tenaga kerja terdidik (free flow of skilled labor) terdapat tantangan dan permasalahan
yang cukup besar. Bahkan bisa dikatakan Indonesia memasuki pasar bebas tenaga
kerja ini dalam kondisi yang kurang ideal.
Menurut
catatan Badan Pusat Statistik (BPS), persentase jumlah pengangguran terdidik
sejak Agustus 2014 terus mengalami peningkatan. Menurut data BPS per Agustus
2014, dari total angkatan kerja terdidik, 11,79% masuk kelompok pengangguran
terbuka. Dalam rentang waktu enam bulan, persentase pengangguran terbuka yang
berasal dari kelompok terdidik itu mengalami peningkatan menjadi 12,83%. Pada
November 2015, BPS kembali merilis data pengangguran terbuka di Indonesia
untuk periode Agustus 2015 dengan persentase pengangguran terdidik kembali
mengalami peningkatan menjadi 13,94%.
Ketidaksepadanan
Dengan kata
lain, Indonesia memasuki pasar bebas tenaga kerja terdidik di tengah tren
penambahan angka pengangguran terdidik yang menjadi objek dari pasar bebas
tersebut. Selain masalah pengangguran terdidik, sektor ketenagakerjaan
Indonesia masih bergulat dengan beberapa masalah lainnya. Selama ini tenaga
kerja terdidik masih menjadi `kaum minoritas' yang jumlahnya masih sangat
sedikit.
Ada
ketidaksepadanan (missmatch) antara
penawaran (supply) dan permintaan
(demand) tenaga kerja. Permintaan atau kebutuhan tenaga kerja terampil sudah
semakin banyak seiring dengan pertumbuhan ekonomi, industri, dan sektor
ekonomi lainnya.Namun, tenaga kerja yang tersedia belum sesuai dengan apa
yang diminta yang tecermin dari tingkat pendidikan dan keterampilan yang
rendah. Pada satu sisi suplai tenaga kerja tidak terampil berlebih (excess supply) dan pada sisi lain
permintaan tenaga kerja terampil lebih banyak dari yang tersedia (excess demand).
Selain missmatch antara supply dan demand
tenaga kerja, missmatch kualifikasi
tenaga kerja juga masih menjadi masalah klasik yang belum terselesaikan.
Sampai saat ini masih terjadi ketidaksinkronan kualitas lulusan perguruan
tinggi dengan kualifikasi yang dibutuhkan pelaku usaha dan pelaku industri.
Masalah
lainnya yang menghinggapi sektor ketenagakerjaan Indonesia ialah kualitas
sumber daya manusia (SDM) yang masih rendah.Kondisi kualitas SDM dan
ketenagakerjaan yang kurang berkualitas itu tecermin dari peringkat indeks
pembangunan manusia/human development index (HDI) Indonesia yang dikeluarkan
Lembaga PBB untuk Pembangunan atau United
Nations Development Programme (UNDP).
Berdasarkan
laporan UNDP yang dirilis akhir 2015, HDI Indonesia berada pada peringkat
ke-110 dari 188 negara, atau turun dua peringkat jika dibandingkan dengan
2014.Namun, walaupun turun dua peringkat, Indonesia masih tetap berada pada
kelompok HDI `sedang'.
Di antara
negara-negara ASEAN, peringkat Indonesia ini masih kalah jika dibandingkan
dengan Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand yang secara
berturutturut menduduki peringkat 11, 31, 62, dan 93. Indonesia hanya unggul
atas Filipina, Vietnam, Timor Leste, Kamboja, Laos, dan Myanmar.
Program sertifikasi
Karena itu,
pemerintah harus berupaya keras untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja
Indonesia dalam waktu singkat. Salah satu cara yang dapat dilakukan
pemerintah untuk meningkatkan kualitas SDM dan ketenagakerjaan Indonesia
dalam waktu singkat ialah melalui pendidikan vokasi. Dengan pendidikan
vokasi, pemerintah bisa meng-upgrade
kapabilitas SDM dan ketenagakerjaan Indonesia dalam waktu yang relatif tidak
terlalu lama. Dengan pendidikan vokasi, kualitas SDM dan tenaga kerja
Indonesia akan lebih sesuai dengan kebutuhan dunia usaha.
Pendidikan
vokasi untuk pendidikan tinggi setingkat diploma akan menjadi solusi jangka
pendek yang bisa dilakukan pemerintah untuk menghadapi persaingan MEA nanti.
Namun, pendidikan vokasi ini bukanlah solusi yang berdiri sendiri. Di tengah
persaingan MEA, kualitas tenaga kerja harus `diakui' dan `dijamin' sehingga
dunia usaha benar-benar yakin bahwa mereka telah merekrut the right man. Untuk menjamin kualitas
tenaga kerja ini sebenarnya Indonesia sudah memiliki Badan Nasional
Sertifikasi Profesi (BNSP) yang tugas dan fungsinya memberikan penjaminan kualitas
tenaga kerja Indonesia.
Namun, dalam
hal sertifikasi ini Indonesia kembali tertinggal. Kurangnya kesadaran dari
para tenaga kerja dan dunia usaha mengakibatkan sertifikasi di Indonesia
berjalan lambat, padahal kebutuhan akan sertifikasi ini semakin meningkat.
Bila berkaca pada kondisi sertifikasi di Indonesia sampai akhir 2014,
terlihat jelas bahwa kondisi sertifikasi di Indonesia masih jauh dari kata
optimal. Tenaga kerja yang sudah disertifikasi baru sekitar 2,08 juta atau
sekitar 1,7% dari total angkatan kerja Indonesia saat ini.
Jumlah
lembaga sertifikasi profesi (LSP) baru mencapai 142 unit atau jika
dibandingkan dengan angkatan kerja Indonesia, satu LSP harus bisa menampung
sekitar 858 ribu angkatan kerja. Jumlah asesor pun bisa dikatakan sangat
minim karena bila dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja, satu asesor saat
ini mengover sekitar 6.396 tenaga kerja.
Karena itu,
diperlukan langkah cepat dan tepat untuk meningkatkan kualitas SDM dan
ketenagakerjaan Indonesia. Pendidikan vokasi yang dibarengi dengan penerapan
standar kompetensi kerja nasional Indonesia (SKKNI) untuk tenaga kerja
Indonesia mutlak harus dilakukan dalam waktu dekat sehingga tenaga kerja
Indonesia bisa jauh lebih kompetitif dalam persaingan di era MEA nanti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar