Elang, Perubahan, dan DPR Kita
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan
|
KORAN
SINDO, 17 Desember 2015
Alam, dengan caranya, sesungguhnya
memberikan inspirasi yang berlimpah kepada kita. Contohnya bertebaran di
mana-mana. Misalnya, banyak jurus dalam ilmu bela diri yang terinspirasi oleh
gerak-gerik binatang saat mereka menyerang atau membela diri.
Itu sebabnya Anda pernah mendengar
nama-nama seperti jurus harimau, monyet, ular atau jurus bangau. Beberapa
negara juga menggunakan binatang sebagai simbol. Negara kita dan Thailand
memakai burung garuda. Dua negara tetangga kita, Singapura dan Malaysia, memakai
simbol singa dan harimau. Kalau Jerman, sebagai negara maju, memakai simbol
elang hitam. Australia menjadikan kanguru dan burung emu sebagai simbol
negaranya.
Sejumlah perusahaan kita juga
menjadikan binatang sebagai logonya. RCTI memakai simbol Rajawali. Atau
produk-produk farmasi memakai simbol ular yang melilit di gelas anggur.
Masih menggali inspirasi dari
binatang, saya akan mengulas agak panjang tentang elang. Mengapa?
Proses
yang Menyakitkan
Apakah Anda tahu bahwa elang
adalah unggas yang umurnya paling panjang di dunia, bisa mencapai 70 tahun.
Usia ini hanya sedikit lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata
harapan hidup penduduk Indonesia yang pada 2014 sudah mencapai 72 tahun.
Cerita yang ingin saya sampaikan,
usia sepanjang itu tidak diperoleh elang dengan cuma-cuma atau terjadi dengan
sendirinya. Mungkin Anda sudah pernah membacanya: ia harus melalui perjuangan
yang berat. Bahkan harus melalui perjalanan perubahan yang sangat
menyakitkan.
Sejatinya ketika elang sudah
mencapai usia 40 tahun, ia mulai menua. Ada ciri-ciri fisik yang
menyertainya. Misalnya, paruhnya tumbuh memanjang dan membengkok. Panjang
lengkungannya nyaris menyentuh dada. Ini membuat paruh elang sulit digunakan
untuk mematuk.
Ciri-ciri lainnya, bulu sayapnya
tumbuh semakin lebat dan kian tebal. Kondisi ini membuat elang sulit terbang.
Bahkan tak bisa terbang. Apa jadinya jika burung tak bisa terbang? Mungkin
ibarat petinju yang tangannya lumpuh. Atau ibarat pelari yang kakinya tak
bisa lagi dipakai untuk berlari.
Matikah
elang itu?
Jelas tidak. Alam mengajari kita
naluri untuk bertahan hidup. Jangan gampang menyerah. Begitu pula dengan
elang. Namun, untuk mencapai usia hingga 70 tahun, sang elang harus bersedia
melakukan transformasi.
Bertransformasi pada usia 40 tahun
jelas menyakitkan dan membutuhkan waktu yang panjang. Begini prosesnya.
Sang elang harus terbang terlebih
dahulu menuju puncak gunung. Di sana, ia akan membangun sarang di tepian
jurang. Begitulah dengan bulu-bulunya yang menebal dan sayap yang terasa
berat, elang harus naik menuju puncak gunung. Sangat melelahkan.
Di puncak gunung, elang akan
membangun sarang yang akan menjadi rumahnya selama 150 hari. Itulah waktu
yang ia butuhkan untuk melakukan proses perubahan.
Pada tahap pertama, elang akan mematuk-matukkan
paruhnya ke bebatuan sampai paruh itu lepas. Ia kemudian akan berdiam diri,
menunggu paruhnya yang baru tumbuh kembali. Lalu, dengan paruhnya yang baru,
elang tadi akan mencabuti satu per satu cakar-cakar yang ada di kakinya.
Lagi, setelah itu ia harus menunggu sampai cakar barunya tumbuh.
Kemudian, dengan cakar barunya,
elang akan mencabuti bulu-bulu tebal yang ada di tubuhnya dan menunggu sampai
tumbuh bulu-bulu yang baru. Proses ini memakan waktu lima bulan.
Begitulah, setelah melalui proses
yang panjang dan menyakitkan, elang tampil dengan wajah barunya. Paruhnya
kokoh dan sanggup digunakan untuk merobek mangsanya. Dengan sayap barunya,
elang bisa kembali terbang tinggi.
Cakar barunya juga tajam dengan
jari-jari yang kuat. Bisa untuk menerkam mangsanya. Dengan penampilan
barunya, elang akan menjalani 30 tahun kehidupan barunya sebagai remaja baru.
Segar, lincah, dan semakin berbahaya.
Inspirasi
dari Elang
Apa inspirasi yang bisa kita
pelajari dari elang? Banyak sekali. Kalau bisa, kita tentu ingin seperti
elang yang bisa panjang umur dan menjalani kehidupan kedua dengan semangat
”muda”. Hanya berapa banyak dari kita yang bersedia menjalani proses
perubahan yang menyakitkan tersebut?
Proses perubahan tadi adalah
keputusan besar. Untuk bisa melakukan itu, kita membutuhkan sejumlah hal.
Pertama, nyali. Sang elang harus mempunyai keberanian untuk menyakiti dirinya
sendiri demi menjadi elang baru yang lebih gagah. Beranikah kita
melakukannya?
Kedua, kesabaran. Perubahan tidak
terjadi seketika. Ada tahaptahapnya, persis seperti yang dilakukan elang
tadi. Begitu pun kita. Kalau ingin berubah, harus sabar menjalani tahap demi
tahap perubahan. Jangan maunya langsung lompat.
Ketiga, kesediaan meninggalkan comfort zone. Elang harus pergi
menyepi di puncak gunung yang harus didakinya dengan susah payah. Ia harus menjalani
150 hari yang tak nyaman. Kita ingin berubah. Maukah kita meninggalkan comfort zone? Dalam banyak kasus
perubahan, yang sering saya dengar terutama dari kalangan pimpinan adalah
silakan kalian semua berubah, asal jangan saya. Perubahan juga menyakitkan
bagi mereka yang sudah bergaji besar dan bergelimang kekayaan.
Keempat, visi. Elang
bertransformasi untuk menjadikan dirinya mudah kembali. Bukan sekadar berubah. Ini masalah
yang sering kita hadapi. Kadang kita berubah karena sekitar kita berubah.
Tapi, kita tak tahu apa tujuannya.
Kelima, kita mungkin ingin
berubah, tetapi ada sekelompok kecil dalam organisasi yang tidak mau. Mereka
bukan sekadar tidak mau meninggalkan zona nyaman, tetapi juga menyimpan
kepentingan yang lebih besar jika kondisi berada dalam keadaan status quo.
Maka perubahan juga harus
diperjuangkan. Ia membutuhkan perlawanan dan menuntut kita agar tidak mudah
menyerah.
Bicara soal ini, saya jadi
teringat kepada oknum para anggota DPR kita yang masih gemar menipu rakyat.
Saya tahu, banyak di antara anggota DPR kita yang sadar bahwa reputasi mereka
sudah berada di titik nadir. Mereka ingin berubah. Mereka ingin memulihkan
reputasi DPR yang sangat tercoreng oleh skandal ”Papa Minta Saham”. Tapi,
sayangnya, hanya sebagian kecil saja dari mereka yang mau bergerak untuk
melakukan perubahan. Sebagian besar memilih bersikap wait and see.
Padahal, Barack Obama sudah
menegaskan, ”Change
will not come if we wait for some other person or some other time. We are the
ones we’ve been waiting for. We are the change that we seek.”
Lalu, apa lagi sih yang mereka tunggu? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar