Pekerjaan dan Kerja
Dinna Wisnu ; Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder & Director
Paramadina Graduate School of Diplomacy
|
KORAN
SINDO, 16 Desember 2015
Kerja dan kerja adalah moto atau
slogan yang selalu diucapkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam setiap
kesempatan berpidato di muka umum. Slogan ini kemudian juga menjadi slogan
Ayo Kerja Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke-70 pada Agustus lalu. Kendati
demikian, tidak semua kerja membawa hal yangpositif. Ada kerja-kerja yang
justru negatif. Kerja negatif itu antara lain seperti buruh anak, perbudakan,
pekerjaan di bawah upah minimum, pekerjaan di lingkungan yang tidak
menghargai hak asasi manusia (HAM) dan pekerjaan lain yang tidak memanusiakan
manusia.
Keterangan tersebut adalah salah
satu dari definisi Human Development Index 2015. Laporan ini membedakan
antara kata jobs (pekerjaan) dan work (kerja). Kerja memiliki arti yang lebih
luas dari pekerjaan. Apabila pekerjaan lebih diukur dalam konteks indikator
ekonomi, maka makna kerja mencakup pekerjaan yang tidak dibayar seperti
sukarelawan, pekerjaan merawat orang tua lanjut usia, atau pekerjaan di akar
rumput.
Dengan kata lain, kerja dapat
menjadi alat atau sarana untuk mengurangi kesenjangan sosial, menjamin
keberlangsungan hidup dan memberdayakan manusia. Oleh sebab itu, berbeda
dengan tahun-tahun sebelumnya, laporan pada tahun ini memiliki
indikator-indikator yang diperbarui sehingga urutan negara dalam laporan
terbaru ini tidak bisa dibandingkan dengan laporan sebelumnya kecuali
beberapa indikator seperti kelahiran dan pekerjaan.
Yang secara implisit menarik dari
laporan ini adalah penegasan bahwa investasi dan pertumbuhan ekonomi adalah
sarana untuk membangun kualitas manusia yang lebih baik. Pertumbuhan ekonomi
tidak boleh hanya sebatas diukur dari banyaknya investasi yang masuk, uang
yang berputar atau lapangan pekerjaan yang dibuka.
Namun, yang lebih penting apakah
pertumbuhan itu telah menciptakan keadaan-keadaan yang dapat mendorong warga
untuk lebih terlibat dalam pembangunan, terjamin hak asasinya, tercapai rasa
keadilan dan kesetaraannya, memiliki kesehatan yang lebih baik, berpendidikan
dan memiliki standar hidup yang layak.
Mengacu pada batasan atau kriteria
tersebut maka tidak heran apabila China sebagai negara dengan ekonomi terkuat
di dunia yang GNI per kapitanya sebesar USD12.547 ternyata lebih rendah
prestasi pembangunan manusianya daripada Kuba yang hanya memiliki GNI per kapita
USD7.301.
Salah satu alasannya, angka
harapan hidup penduduk di Kuba lebih tinggi daripada penduduk di China
walaupun di China pendapatannya lebih tinggi. Memang tidak berarti bahwa
negara dengan pendapat perkapitayanglebihrendahtetapi memiliki indeks HDI
lebih tinggi itu lebih baik. Apabila memperhatikan dengan saksama,
negaranegara yang mencapai tingkat HDI paling tinggi adalah juga
negara-negara yang memiliki pendapatan per kapita yang tinggi.
Negara-negara tersebut hampir
memiliki pendapatan per kapita di atas USD20.000. Hal ini berarti bahwa
pekerjaan yang dilahirkan dari investasi jutaan dolar harus berkesinambungan
dengan pembangunan manusianya. Saat ini tidak dipungkiri bahwa pertumbuhan
ekonomi di dunia memang telah menghasilkan perubahan-perubahanyang baik.
Pendapatan negara-negara negara berkembang lebih baik pada tahun ini
dibandingkan tahun 1990.
Masyarakat yang hidup di bawah
garis kemiskinan tahun ini telah turun sepertiga dibandingkan tahun 1990,
yaitu dari 1,9 miliar menjadi 836 juta orang. Angka kematian bayi juga telah
turun setengah dari 12,7 juta menjadi 6 juta bayi. Namun demikian, kemajuan
itu ternyata juga disertai oleh ketimpangan pembangunan manusianya. Misalnya
angka kematian pascakelahiran di negara-negara Asia Selatan masih lebih
tinggi dibandingkan dengan negara-negara OECD yaitu 183 dan 21 untuk per
100.000 kelahiran.
Dari sisi gender, pendapatan
perempuan masih 24% lebih rendah dari pendapatan laki-laki untuk jenis
pekerjaan yang sama. Untuk mengatasi masalah itu, para ekonom umumnya hanya
melihat perlunya modal atau investasi lagi untuk membuka lapangan pekerjaan
agar dapat memberikan pendapatan yang lebih banyak kepada masyarakat. Namun,
solusi ini telah dijalankan dan terbukti tidak mampu mengatasi ketimpangan
tersebut.
Faktor lain yang sering kali luput
atau dihindari adalah keberpihakan dari negara terhadap kelompok masyarakat
yang terpinggirkan tersebut. Negara harus menutupi ketimpangan tersebut
dengan kebijakan politik yang melindungi masyarakat yang rentan terhadap pertumbuhan
ekonomi itu sendiri, misalnya memberikan upah layak agar para pekerja dapat
menabung apabila terdapat ancaman PHK, atau memberikan akses kesehatan yang
mudah dan murah bagi kelas menengah agar tidak menjadi jatuh miskin ketika
mengalami penyakit kronis seperti jantung atau stroke. Bagaimana dengan
Indonesia?
Laporan itu menempatkan Indonesia
dalam urutan 110 bersama negara-negara lain yang masuk dalam kategori medium
human development. HDI membagi pembangunan manusia negaranegara di dunia menjadi
empat bagian, Very High Human Development, High Development, Medium Human
Development, dan Low Human Development. Negaranegara ASEANlainyangadadalam
kategori sama dengan Indonesia adalah Filipina (115), Vietnam (116), dan
Kamboja (143).
Sementara itu Singapura (11) dan
BruneiDarussalam(31) termasuk dalam kategori Very High Human Development;
lalu Malaysia (62) dan Thailand (93) berada di High HumanDevelopment.
Pencapaian HDI Indonesia sudah cukup baik apabila dibandingkan dengan
rata-rata negaranegara yang masuk dalam kategori MediumHDI. Namunapabila kita
bandingkan di tingkat regional Asia-Pasifik, posisi Indonesia masih
tertinggal.
Di satu sisi, laporan ini dapat
kita gunakan sebagai daya dorong untuk lebih memperbaiki kualitas pembangunan
di Indonesia. Tujuan, gagasan, dan konsep yang melatarbelakangi laporan ini
adalah untuk memperbaiki kualitas pembangunan ekonomi di dunia. Di sisi lain,
laporan ini semoga membangkitkan dialog akademik tentang bagaimana indeks
penilaian ”sangat tinggi”, ”tinggi”, ”medium”, dan ”rendah” ditentukan.
Jika dicermati, sejumlah negara
yang dikenal kurang menghargai kebebasan HAM justru berada di klasifikasi
sangat tinggi atau tinggi, misalnya sejumlah negara di Timur Tengah atau
Eropa Timur. Cukup ganjil jika menjadikan kasus-kasus tersebut sebagai model
pembangunan yang patut dirujuk.
Selain itu, laporan ini belum
memberikan pencerahan tentang caranya mengejar pertumbuhan ekonomi yang
tinggi sambil memperbaiki kualitas pembangunan karena bagi mayoritas ekonom,
kedua hal ini tidak bisa berjalan beriringan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar