Memikirkan (lagi) Pendidikan bagi Difabel
Agus Wibowo ; Pemerhati Pendidikan; Dosen Fakultas
Ekonomi UNJ
|
MEDIA
INDONESIA, 07 Desember 2015
SETIAP Desember, kita memperingati
Hari Penyandang Disabilitas Sedunia. Sudahkah kaum penyandang disabilitas,
atau difabel, mendapat pendidikan yang layak di negeri ini? Sudahkah
pemerintah membuka akses pendidikan seluas-luasnya bagi mereka? Pertanyaan
ini menjadi penting mengingat peringatan Hari Penyandang Disabilitas lebih
sering sekadar rutinitas dan seremonial tanpa makna. Buktinya, diskriminasi
bagi penyandang disabilitas masih sering terjadi di dunia pendidikan negeri
ini.
Data teranyar yang dirilis
Kementerian Sosial (2014) menyebut jumlah penyandang disabilitas masih
sekitar 11% dari total penduduk Indonesia. Tingginya angka penyandang
disabilitas itulah yang membuat prihatin Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Bahkan, Presiden Jokowi berjanji akan mengeluarkan kebijakan yang memihak
penyandang disabilitas; baik di bidang pendidikan, sosial, maupun kesehatan.
Janji Presiden Jokowi itu patut diapresiasi positif, sekaligus ditunggu
realisasi dan eksekusinya.
Difabel, atau penyandang
disabilitas, menurut The American with
Disabilities Act (2014) merupakan sebutan bagi mereka yang mengalami
cacat, baik bawaan sejak lahir (given),
atau lantaran bencana, kecelakaan, dan sebagainya. Menjadi penyandang
disabilitas itu bukan pilihan.
Aneka kebijakan dengan maksud
memperlakukan penyandang disabilitas secara manusiawi memang sudah
dicanangkan. Misalnya Gerakan Aksesibilitas Umum Nasional (GAUN, 2000)
sebagai penerapan UU No 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Namun,
kenyataannya, UU itu belum efektif mengubah nasib penyandang disabilitas di
akar rumput. Itu terlihat dengan sikap masyarakat yang masih menganggap
penyandang disabilitas sebagai `sampah' yang layak menerima ketidakadilan.
Di dunia pendidikan, diskriminasi
bagi penyandang disabilitas masih kental terasa. Pada tahun akademik
2014/2015 misalnya, masih ada beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) yang mensyaratkan
mahasiswa baru tidak menyandang disabilitas; netra, rungu, dan buta warna
total. Ada lagi jurusan yang mensyaratkan calon mahasiswa tidak tunanetra,
tunarungu, tunawicara, tunadaksa, dan buta warna total.Kebijakan tersebut
anehnya justru direspons positif oleh pemerintah waktu itu.
Lepas
kewajiban
Bagi penyandang disabilitas
perempuan, nasib lebih mengenaskan karena ditolak mengikuti pendidikan di
sekolah, bahkan di perguruan tinggi. Alasannya sekolah tidak memiliki guru
khusus, kekurangan fasilitas, dan sebagainya.
Diskriminasi di perguruan tinggi
terjadi, selain masyarakat yang cenderung memandang rendah terhadap perempuan
difabel, karena pimpinan sekolah/universitas dan staf akademisnya tidak
mempersiapkan dan memperhitungkan bahwa ternyata terdapat beberapa calon
mahasiswa penyandang disabilitas yang memiliki kemampuan akademis cukup baik,
bahkan terkadang lebih baik jika dibandingkan dengan kemampuan orang normal.
Kebijakan diskriminatif terhadap
penyandang disabilitas pada persyaratan masuk pendidikan dasar hingga
perguruan tinggi mengisyaratkan negara lepas kewajiban. Menurut UUD 1945 dan
UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, khususnya Pasal 12, kewajiban negara
ialah memberikan pendidikan bagi warganya tanpa diskriminasi. Sudah
seharusnya pemerintah segera mencabut aneka aturan yang kontradifabelitas.
Benar ada program studi tertentu
yang tidak bisa diikuti penyandang disabilitas. Bukan karena tidak boleh,
melainkan karena tidak mungkin. Kendati demikian, ketika membuat keputusan
diterima-tidaknya penyandang disabilitas sebagai peserta didik/mahasiswa, itu
tidak dilakukan secara sepihak. Artinya, komunikasi dengan calon peserta
didik/mahasiswa penyandang disabilitas mesti dilakukan dengan baik, bukan
asal tolak! Pun begitu dengan kurikulum, materi pelajaran, dan model
evaluasi, mesti sesuai dan dapat diakses peserta didik/mahasiswa penyandang
disabilitas (Agus Wibowo, 2014).
Belajar dari beberapa negara maju,
mereka justru menga komodasi dan memberikan fasilitas khusus bagi warganya
yang menyandang disabilitas. Di Amerika Serikat (AS) misalnya, ada UU khusus
untuk melindungi kaum penyandang disabilitas yang bernama The American with Disabilities Act. UU
itu berisi kewajiban negara untuk memberikan perlindungan bagi penyandang
disabilitas di bidang pendidikan. AS bahkan melengkapi perlindungan untuk
mahasiswa/mahasiswi penyandang disabilitas dengan yayasan yang bernama The Learning Disabilities Association of
Amerika. Dengan adanya perlindungan itu, di beberapa kampus AS seperti St
Francis Xavier University dan juga University of Washington, melindungi dan
membantu mahasiswa/mahasiswi penyandang disabilitas untuk menuntut ilmu
setinggi-tingginya.
University of Washington sejak
1978 sudah memodifikasi sedemikian rupa lingkungan kampus mereka agar ramah
penyandang disabilitas. Misalnya kondisi jalanan yang rata dan tidak
berbukit-bukit, serta fasilitas mobil jemputan khusus untuk memudahkan
penyandang disabilitas yang memiliki kesulitan mobilitas, kemudahan dalam
mengakses teknologi baik di laboratorium maupun perpustakaan khusus yang
membantu penyandang tunanetra dan tunarungu, parkir khusus, dan konseling
akademis. Bahkan, DSO ini juga membuka dan membantu tersedianya sukarelawan
yang dengan sukarela membantu mahasiswa penyandang disabilitas untuk
menuliskan catatan dan sebagainya.
Terlihat jelas kampus di
negara-negara maju memang sudah didesain seramah mungkin bagi penyandang
disabilitas. Akses pendidikan juga dibuka seluas-luasnya tanpa ada
diskriminasi. Pendek kata, di negara-negara maju, penyandang disabilitas
diperlakukan secara ramah, diberi akses seluas-luasnya untuk mendapat
pendidikan, dan dilindungi hak-haknya tanpa terkecuali sebagaimana warga negara
yang normal.
Memihak
penyandang disabilitas
Di Indonesia sampai saat ini masih
sedikit kampus yang benar-benar ramah dan tidak menyulitkan bagi penyandang
disabilitas. Gedung-gedung tinggi menjulang, orang normal saja masih
kesulitasn mengaksesnya, apalagi penyandang disabilitas?
Sudah saatnya aneka kebijakan yang
membatasi akses pendidikan penyandang disabilitas dihapus. Mereka juga warga
negara yang berhak memilih pendidikan sesuai dengan bakat dan potensi
masingmasing. Negara sudah semestinya mengakomodasi dan memberikan kesempatan
yang luas.Di sisi lain perlu segera dihapus paradigma yang menyudutkan
penyandang disabilitas dengan menganggap rendah, terbatas, dan tak perlu
diperhitungkan kemampuannya.
Kemendikbud dan Kemenristek-Dikti
dituntut segera membentuk dan menerapkan UU pendidikan khusus, yang
melindungi dan memberikan kesempatan kepada penyandang disabilitas untuk
mengakses pendidikan secara layak. Pendidikan yang layak itu bukan bertujuan
menjadikan penyandang disabilitas superior di antara warga negara lain.
Kelayakan yang penulis maksud ialah suatu sarana, prasarana, dan fasilitas
pendukung pen didikan yang meminimalkan adanya hambatan bagi penyandang
disabilitas untuk dapat belajar di perguruan tinggi.
Mulai SD hingga perguruan tinggi
pembelajaran di kelas juga mesti memihak penyandang disabilitas. Selama
memberikan tugas perkuliahan misalnya, para dosen hendaknya memberikan
perhatian khusus. Itu dilakukan agar para mahasiswa penyandang disabilitas
bisa mengikuti perkuliahan dan mengerjakan tugas sesuai dengan keterbatasan
mereka. Para dosen dan mahasiswa lain juga diajak untuk peduli dan turut
membantu mahasiswa penyandang disabilitas.
Para guru di sekolah baik umum
maupun inklusi hendaknya memiliki empati dan kesabaran lebih. Kesediaan untuk
senantiasa mendampingi dan menjadi orang terdekat untuk berbagi memang bukan
perkara mudah. Jika tidak sabar, bisa jadi guru akan kesulitan memperlakukan
anak didik penyandang disabilitas. Perlu ditanamkan komitmen bahwa anak
penyandang disabilitas butuh perhatian khusus, tetapi jangan berlebihan. Itu
menjadi penting agar tidak timbul kesan anak penyandang disabilitas
dimanjakan sehingga membuat mereka `terasing' di kelas. Perlakuan dan
perhatian yang kesannya berlebihan justru akan membatasi anak didik penyandang
disabilitas bergaul dengan teman-teman mereka.
Sudah saatnya segenap pihak memikirkan lagi pendidikan
bagi penyandang disabilitas. Sangatlah tidak manusiawi dan tentu saja berdosa
jika kita terus membiarkan penyandang disabilitas menjalani hidup dengan
penderitaan yang menumpuk lantaran kita membatasi akses pendidikan mereka.
Pendidikan sebagai salah satu kunci bagi penyandang disabilitas menatap indah
dunia, dan bekal untuk menghadapi aneka tantangan zaman. Selamat Hari Penyandang Disabilitas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar