Sabtu, 19 Desember 2015

Janganlah Dendam Dilestarikan

Janganlah Dendam Dilestarikan

Taufiq Ismail  ;  Sastrawan
                                                  REPUBLIKA, 17 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sehabis saya membacakan makalah di Frankfurt Book Fair (FBF), 14 Oktober 2015, beberapa peserta datang dan menyalami saya. Makalah disampaikan dalam bahasa Indonesia, dengan terjemahan serentak Jerman dan Inggris. Mereka menghargai gagasan perdamaian total.

Dalam diskusi, saya tanyakan bagaimana kelanjutan sisa-sisa ideologi Nazisme Hitler, 70-80 tahun yang silam. Itu sudah lama lewat dan selesai, jawab mereka. Memang betul ada kelompok-kelompok Neo-Nazi dengan warisan dendam lama, tapi kecil, menjengkelkan dan tidak laku lagi di masyarakat.

Peserta acara FBF 14-18 Oktober 2015 itu 7.000 penerbit dari 100 negara lebih, pengunjung mencapai 270 ribu orang, diliput oleh 1.000 wartawan dari seluruh dunia. Yang utama di FBF adalah buku, nomor dua pengarangnya. Kuliner, musik, dan tari juga ditampilkan.

Indonesia adalah Tamu Kehormatan yang jadi primadona Pekan Raya Buku Frankfurt itu. Mestinya dan pantasnya, tema yang dipilih adalah Islam di Indonesia, tapi ternyata Peristiwa 1965. Salah satu faktor utama adalah film "Joshua Oppenheimer" yang menarik perhatian publik Eropa yang suka mengungkit-ungkit trauma lama. Namun, ungkitan trauma lama 1965 dalam film itu tidak komplet.

Supaya trauma lama lengkap, Oppenheimer mestinya mengulangi adegan penyembelihan dan penjagalan di 24 kota dan desa, September-Oktober-November 1948, di sekitar Madiun yang dilakukan Moeso. Adegan 19 September 1948, sehari sesudah Proklamasi Republik Soviet Indonesia, ketika kiai, santri, dan pamong praja, berpuluh-puluh digiring ke blumbang, lubang besar di luar Kota Madiun dan disembelih di sana, bakal dahsyat sekali.

Bikinlah adegan rapat raksasa di alun-alun Madiun, yang memperkenalkan Moeso (yang tak dikenal rakyat karena dia lari pada 1927-1948 ke Moskow) sebagai titisan Nabi Musa sehingga dia jadi populer karena pembohongan itu. Akan lebih menarik lagi film ini kalau diperlihatkan dua dekade kehidupan Moeso di Moskow sebagai anak buah kepercayaan Stalin, yang menjagal enam juta bangsanya sendiri yang antikomunis, dan kelak akan ditirunya di Madiun.

Kalau Oppenheimer membuat film keduanya dengan tema Pengkhianatan Madiun ini, maka dia tidak terjebak dalam teori "ujug-ujug", wacana "tiba-tiba" yang dianut Komunis Gaya Baru sejak masa reformasi ini. Ujug-ujug rakyat antikomunis membunuhi orang komunis, tanpa sebab. Tiba-tiba mereka menzalimi tanpa sebab.

Teror PKI 1962-1965 dielak-elakkan, pengkhianatan dan pejagalan 1948 ditutup-tutupi tak disebut sama sekali. Film berikutnya Oppenheimer ini akan membuat film pertamanya seimbang, memihak kepada sejarah, bukan kepada KGB. Kembali kepada FBF.

Penampilan Indonesia dalam pesta buku ini kiri sekali. Tidak terasa nuansa Pancasilanya. Kidung dengan cerita dalam pembukaan yang dinyanyikan sinden sangat tidak nyaman bagi perasaan umat Islam. Sesudah saya mendapat daftar nama 70 pengarang yang diundang, saya kirim surat mengusulkan 30 nama pengarang Islam yang pantas menghadiri FBF. Surat saya tidak pernah dijawab, tertulis ataupun lisan.

Sesi Putu Oka Sukanta (sastrawan Lekra/PKI), berlangsung 18 Oktober 2015 dalam suasana 1964-1965, mengulangi klise-klise ideologi dengan nuansa dendam tak kunjung padam. Tiga kali saya mengacungkan tangan minta waktu bicara, tidak diberi moderator.

Saya tidak melihat Putu Oka hadir dalam sesi saya tiga hari sebelumnya, ketika gagasan perdamaian total saya kemukakan. Dia juga tidak hadir sebagai panelis 15 tahun yang lalu (seminar di Fakultas Sastra UI, 9 Juni 2000), ketika gagasan perdamaian pertama kali saya sampaikan, yang disambut baik oleh Pramoedya Ananta Toer.

Pelaksanaan indah gagasan ini dimulai oleh Batara Hutagalung (Ketua KUKB) pada 2003 dengan mengumpulkan putra-putri patriot bangsa yang dijagal PKI pada 30 September 1965 (tujuh Pahlawan Revolusi), putra-putri tokoh-tokoh PKI dan Darul Islam yang sudah berpulang, untuk berdamai dan menghapus dendam dalam program Forum Silaturahim Anak Bangsa (FSAB).

Setelah 12 tahun, gagasan ini terlaksana dengan baik sekali. Ini merupakan titik mula penting teladan penghapusan dendam kesumat secara nasional.

Demikianlah, maka kita terkejut mendengar dilaksanakannya sidang-sidang Mahkamah Internasional di Den Haag, 10-14 November 2015, yang mengadili pelanggaran hak asasi manusia, 1965, dan selanjutnya. Ini sangat aneh dan tak masuk akal waras.

Pelanggaran hak asasi manusia 1948, ketika di 24 kota dan desa sekitar Madiun dilaksanakan pembantaian oleh Moeso dengan anak buahnya, tidak disebut sama sekali. Padahal, itu yang menjadi penyebab utama paling awal peristiwa 17 tahun sesudah itu.

Sebagai bangsa kita merasa tersinggung berat dengan dimulainya kegiatan itu pada 10 November, hari sangat mulia dalam perjuangan kemerdekaan kita. Dengan dipilihnya Hari Pahlawan tersebut, untuk kegiatan yang dengan congkaknya akan mengadili apa yang dituduhkan sebagai "pelanggaran HAM 1965", benar-benarlah itu penghinaan besar dan tidak beradab. Saya sangat tersinggung dan merasa Hari Pahlawan kita diludahi oleh bekas penjajah.

Di belakang layar, kolonialis-kolonialis Belanda yang menyutradarai ini, tertawa terkekeh-kekeh karena masih saja ada inlander yang bisa mereka tipu. Inlander-inlander ini tak tahu, atau lupa, bahwa negara seluas satu provinsi RI itu belum mengakui kedaulatan RI secara de jure dan baru menerima kedaulatan RI de facto secara lisan (pada 2005).

Tidak malukah kalian mengemis-ngemis meminta ruangan di sebuah gedung Den Haag, kepada bekas penjajah yang sesudah 70 tahun masih enggan belum mengakui kedaulatan kita secara de jure itu, untuk "mengadili" sesama bangsa sendiri?

Kolonialis itu tertawa terbahak-bahak di belakang dinding sana, menertawakan kalian karena mereka berhasil lagi mengadu domba kita. Adu domba kolonial kuno semacam ini melestarikan dendam berkepanjangan. Dendam ini yang harus kita habisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar