Indonesia, Quo Vadis?
Radhar Panca Dahana ; Budayawan
|
MEDIA
INDONESIA, 04 Desember 2015
TAHUN 2015, saat Indonesia dengan pasangan pemimpin
barunya, Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK), menggenapi setahun kendali
pemerintahnya, adalah waktu yang sangat gaduh dan hibuk, padat peristiwa
(umumnya negatif, sebagaimana headlines
media massa yang didasari adagium bad
news is a good news dan if bleeds it leads atau untuk televisi more sensational more financial),
polusi kata, tsunami retorika, keserakahan, bahkan kebengisan menyeruak galak
membuat pandangan, pikiran, bahkan jiwa kita keruh dan rusak.
Apalagi dan siapa lagi yang menjadi aktor semua peristiwa
itu, selain kriminal jalanan dan para gangster? Tidak lain ialah para pemuka,
pesohor, dan selebritas yang menjadi elite dari negeri ini, di semua
dimensinya. Tentu saja, elite politik dan ekonomi memberi kontribusi yang
tidak kecil, bahkan sangat signifikan juga di banyak perhitungan sangat
desisif dalam menentukan wajah bangsa kita, hingga masa depan bersama. Betapa
kita tidak cukup hanya mengurut dada, apalagi memaklumi, tapi mesti bertindak
mengatasi, tidak peduli, dan tergantung pada mereka yang ada di puncak
piramida sosial yang konon--adalah penggerak dan penentu sejarah.
Dengan berbagai sudut pandang, teori, asumsi, hingga
prasangka maupun logika yang obskur, bahkan mistik, semua kalangan -termasuk
para pengamat--menyampaikan pandangan, analisis hingga solusi untuk semua
persoalan yang kita merasa--ruwet, complicated,
dan sulit sekali. Tidak lain karena semua pandangan atau pendapat itu
sesungguhnya berkisar atau berkutat dalam dimensi teknis, bisa yang bersifat
institusional dan regulasional. Perdebatan (entah itu hukum, ekonomi,
politik, hingga akademis dan agama) mempersoalkan proses-proses yang ada
dalam kerja legislasi dan institusi.
Sementara, sebenarnya kedua dimensi itu hanyalah medium,
perangkat (software) atau kita sering
mengatakan sarana untuk mencapai tujuan. Sebagaimana kita mengetahui, bahwa
itu bisa pergi ke satu kota atau negara, banyak sarana (moda) yang kita
gunakan. Namun, apa gunanya moda (transportasi) bila kita tidak dapat
mengendarai atau mengoperasikannya? Dalam kalimat lain, untuk apa secanggih,
selengkap, atau serumit apa pun aturan dan lembaga kita buat serta dirikan,
jika pengendali atau operatornya ialah manusia yang invalid atau inkapabel?
Bila komprehensi sederhana, tak membutuhkan 16 tahun sekolah
atau gelar profesor, ini dapat kita terima dengan baik. Kita pun akan paham
bila sebuah teori besar dunia, ideologi besar dunia, hingga agama besar
dunia, tak dapat berbuat apaapa, menjadi keranjang kata, bahkan sampah saat
disikapi dan dijalankan oleh manusia yang isinya hanya keranjang nafsu dan
sampah kotoran badan serta pikirannya saja. Itu terlalu keras dan banal? Maaf tidak. Dengan ukuran yang teruji,
dengan mudah dapat dibuktikan pada tingkat (état), itulah sesungguhnya keberadaan kita (lebih khusus: mereka,
elite) sebagai manusia, sebagai bagian penting dari sebuah bangsa. Manusia
adalah substansi, pengembangan potensi, dan keilahiannya adalah upaya besar
manusia dalam sejarah, yang kemudian kita kenal sebagai: kebudayaan.
Di sinilah, saya akan sekali lagi, dan sekali
lagi....menegaskan bila benar pembangunan sebuah bangsa hendak dilakukan,
terlebih bila ia didasari Trisila-Soekarno, ia akan hampa, bahkan justru
menjadi destruksi-diri, jika dimensi atau `sila ke-3' tentang manusia yang
(ber)'kepribadian budaya' tidak diletakkan sebagai fundamennya. Alangkah
tidak beruntungnya kita karena justru dimensi itu yang tertinggal (baca:
ditinggal) oleh pace dan speed kencang dari pembangunan ekonomi
serta politiknya.
Manusia dan kebudayaan
Substansi masalah di atas tentu akan menimbulkan
pertanyaan besar, yakni di mana atau dengan apa, misalnya, persoalan manusia
itu diwujudkan dalam program-program pemerintah jangka pendek, menengah, atau
panjang? Sayang sekali saudaraku, hampir nil. Setidaknya secara komprehensif,
dan solusinya memberi output serta outcome
yang positif. Bahkan, lihat dalam elaborasi Nawa Cita yang menjadi `pedoman
ideologis' pem bangunan kita, kata budaya tidak disebut sama sekali.
Bagaimana manusia akan terbangun bila kebudayaan dinafikan atau dipinggirkan?
Bukankah kata `kepribadian' dalam Trisila tak lain menunjuk pada kualitas
manusia, dan `berkebudayaan' ialah basis utama dari kualitas itu?
Siapa yang bisa menolak adagium purba ini, terbentuk dan
tersadarinya eksistensi manusia karena ia berbudaya; kebudayaanlah yang
menentukan ek sistensi manusia. Artinya, pembangunan manusia itu adalah
bagian kerja utama (integrated
dalam) dinamika kebudayaan, tak bisa, bahkan lucu bila dipisahkan. Namun,
bagaimana kemudian kebudayaan dibangun dan dikembangkan dalam era baru ini
setelah di era sebelumnya (Orde Baru) kebudayaan dikerdilkan (jika tidak
dibunuh secara sistemik) dan berlanjut pada masa-masa berikutnya, ketika
para pemangku kepentingan cuek, meninggalkannya jauh di belakang gerbong
kemajuan (dan RAPBN), bahkan menganggapnya sekadar gangguan atau kecerewetan
yang menyu sahkan (kekuasaan)?
Apa yang kemudian (mungkin) dianggap sebagai realisasi
dari pembangunan manusia, dalam payung besar ide(alisme) atau konsep
`revolusi mental', yang diselenggarakan lembaga dan pejabat yang bersangkutan
dengan hal tersebut? Kita tahu begitu ramainya karena menggunakan
mikrofon-mikrofon besar, baik media massa maupun media luar ruang. Atau
menggunakan lembaga pendidikan, dengan menyelenggarakan program meningkatkan
`nasional isme' dengan kembali baris-berbaris, menyanyikan lagu-lagu
nasional, atau menghafal habis sila-sila atau pasal dalam ideologi atau
konstitusi.
Apa yang akan terjadi dengan praksis gouvermental seperti itu? Seperti sejarah mengatakan, semua itu
akan terjebak dalam proforma, santiaji, atau hujan kata-kata `ideal' yang tak
statis, bahkan bergaung pun tak. Selebihnya, polusi slogan yang menghabiskan
dana rakyat hanya untuk memberi untung para penyedia jasa. Kata-kata kita
mafhum, bahkan yang termuat dalam KUHP sekalipun, menjadi peluru kosong bagi
para pelaknat dan pengkhianat cita-cita bangsa kita. Dengan kecerdikan,
keculasan, dan pelintiran logika murahannya, mereka menepis serta menolak
semua sanksi dan percaya seolah rakyat dan sejarah dapat ditipunya demi
profit temporer yang didapatkannya. Sejuta slogan kosong pendapatan.
Semua hal itu diakibatkan oleh usaha pertama dari
kebudayaan gagal mereka, para obligor utama negara, selesaikan dengan
sempurna, yakni memahami lebih dulu manusia, `manusia Indonesia', itu apa dan
siapa? Itulah sesungguhnya tugas pembangunan pada fundamennya. Komprehensi
atau pemahaman utuh tentang `manusia Indonesia' itu sangat desisif dalam
menentukan bagaimana dan ke arah mana pembangunan harus diselenggarakan.
Sebabnya sederhana, yakni pembangunan bukan untuk institusi, regulasi bahkan
idealisasi belaka, melainkan tak lain untuk manusia. Manusialah yang menerima
atau menderita akibatnya. Manusialah tujuan kerja kita, personal, komunal,
hingga nasional.
Harus keras dan tegas
Namun, ke mana sebenarnya pembangunan saat ini
diselenggarakan ketika setahun ini, pada 2015, kita hanya disibukkan polah
lucu, tidak lucu, menjemukan, dan menggiriskan dari para elitenya. Setiap
hari, di tiap waktu. Bagaimana dengan kuasa ¬politik, ekonomi, hukum, dan
lainnya-para elite bukan hanya mempermainkan, bahkan mengkhianati rakyatnya
sendiri, para pendukung yang telah memberinya amanah, kedudukan, dan
fasilitas serba wah.
Pencapaian-pencapaian apa pun yang dihasilkan pemerintah,
apalagi dengan ukuran yang tidak gigantik sebagaimana kita diberi contoh yang
`membanggakan' dari bangsa-bangsa lain, seperti di Tiongkok, Korea Selatan,
India, bahkan Vietnam, terasa kemudian mejan atau melempem. Tidak mampu
menggugah rasa percaya diri dan kebanggaan, kecuali dalam ¬sekali lagi
bentuk--slogan.Akhirnya, ekses atau kekurangan yang juga dimiliki
pemerintahan mana pun di dunia, terekspos dan tereksploitasi menjadi amunisi
yang tajam ¬tidak kosong--bagi para penentang untuk mendelegitimasi
pemerintah yang sah, demi syahwat kekuasaannya sendiri. Tak peduli bila
eksploitasi menjadi kegaduhan destruktif yang melukai nurani publik.
Namun, kita maklum, dan seharusnya pemerintah memahami,
para penentang dan pengkhianat konstitusi itu tidak lagi membiarkan hati dan
nurani bercahaya, lalu bicara. Hati mereka hitam karena hijab syahwat
kebinatangan hingga menjadi kebal dari adab, etika, dan tradisi menjadi bebal
pikirannya yang sudah dikendalikan kuda liar kebinatangannya. Apa seharusnya
pemerintah lakukan pada manusia-manusia semacam itu, manusia-manusia yang
rajin mendestruksi semua konstruksi peradaban yang susah payah dibangun? Apa
yang wajib pemerintah tegas dan keraskan dalam perbuatan, menghindari
kesia-siaan dari niat dan program yang baik?
Dalam hemat saya yang rendah, kita tidak punya pilihan
lain: bertindak! Tentu saja dengan kata sifat atau keterangan berikutnya:
tegas dan keras. Tidak bisa lagi kita menoleransi atau mempermisikan apa pun
hal yang mengganggu, menghambat apalagi merusak semua usaha kita meraih
harapan bangsa. Segala pelintiran logika, dalam bentuk ide (a, ologi, dsb) apa pun harus diperiksa
kembali sesuai dengan adab, budaya, dan tujuan kita awal berbangsa. Demokrasi
dan kapitalisme, misalnya, sehebat atau seadekuat apa pun argumentasi
akademis (baca: ideologis)-nya harus diperiksa kembali dengan saksama dan
memosisikannya dalam fundamen kebudayaan cita-cita konstitusional kita.
Tidak...kita tidak terlambat. Masih ada waktu, ruang, dan
peluang untuk itu. Tidak perlu kita berletih hanya untuk mengidola hingga
mengidealisasikan negeri atau negara-negara lain yang sukses dengan cara dan
latar sejarah yang notabene sama sekali berbeda. Sebagai sebuah bangsa yang
mandiri, berdaulat, dan berkepribadian, kita harus menyusun kembali kepercayaan
diri kita untuk membasiskan seluruh masa depan serta segenap upaya (sistemik,
mekanik, atau programik) pada kualitas dan kapasitas kebudayaan serta sejarah
ribuan tahun bangsa ini. Tak bisa lagi.
Atau tetap ngotot
dan ngeyel dengan iman ideologis
yang berlaku (global) sekarang ini? Silakan. Peringatan sudah dinyatakan
berkali-kali. Seperempat miliar nasib dipertaruhkan. Apakah masih kita
menghamba pada mereka? Quo vadis,
Indonesia? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar