Sabtu, 18 Februari 2012

Visi Agama tentang Buruh


Visi Agama tentang Buruh
Abu Rokhmad, DOSEN PASCASARJANA IAIN WALISONGO 
Sumber : SINDO, 18 Februari 2012



Setiap awal tahun, buruh selalu berjuang menaikkan upah minimum yang akan diterima. Demonstrasi dalam rangka menuntut kenaikan upah menjadi kegiatan rutin mereka. Yang memprihatinkan, perjuangan mereka kadang malah mengganggu kepentingan orang banyak.

Menyalurkan aspirasi adalah hak asasi setiap orang, tapi perlu dijaga jangan sampai mengganggu hak asasi orang lain. Nasib buruh memang memprihatinkan. Buruh tidak hanya pekerja pabrik. Semua orang yang bekerja di bawah perintah sejatinya adalah buru. Kehidupan sosial dan ekonomi buruh diliputi suasana ketidakadilan dan ketertindasan. Kelas buruh dianggap kasta paling rendah. Mereka tak memiliki status dan bargaining sosial dan bahkan lebih sering dicap sebagai biang keruwetan, karena demonstrasi untuk menuntut hak-haknya dipenuhi dengan menutup jalan.

Relasi Buruh-Majikan

Industri kapitalis membagi pemilik modal (pengusaha) dan pekerja (buruh) menjadi dua kelompok yang saling bertolak belakang.Keduanya memiliki kepentingan yang tidak bisa disatukan.Pengusaha berhajat memperoleh profit yang sebesar-besarnya dengan cara menekan biaya produksi, termasuk memberi upah yang kecil pada buruh. Sebaliknya buruh selalu menuntut upah yang tinggi untuk mengimbangi kerja kerasnya dan kebutuhan hidupnya yang semakin meningkat.

Itulah pola relasi buruh-majikan dalam ekonomi kapitalis yang didominasi konflik antar keduanya. Dalam Islam, relasi buruhmajikan diliputi jalinan persahabatan dan persaudaraan. Keduanya saling membutuhkan dan membantu. Pemodal tidak mungkin meningkatkan untungnya tanpa bantuan buruh. Sebaliknya,buruh tak bisa bekerja tanpa investasi dari para pengusaha. Sebab harus diakui, pengusahalah yang punya modal untuk membuka lapangan kerja bagi para pekerja.

Dalam konteks demikian, relasi buruh-majikan dipayungi suasana saling menghormati, saling percaya dan saling membutuhkan. Para pengusaha tidak diperkenankan menginvestasikan uangnya semata-mata untuk meraih margin saja. Pemodal perlu mendedikasikan usahanya untuk pengabdian kepada masyarakat demi mencapai rida Tuhan.

Corporate social responsibility (CSR) diejawantahkan secara lebih substansial, yakni senantiasa mengutamakan kebaikan masyarakat sekitar termasuk orangorang yang bekerja di dalamnya. Pekerja diberi upah dan fasilitas yang memadai sesuai kemampuan perusahaan, dan perusahaan tidak menyembunyikan neraca keuntungan yang diperoleh.

Jika perusahaan mau bertindak demikian, buruh diharapkan bekerja lebih produktif, jujur, dan punya rasa memiliki (sense of belonging). Pada akhirnya, perusahaan merupakan milik bersama antara majikan dan buruh. Sahamnya sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Saham pengusaha adalah modalnya dan buruh dengan tenaga dan pikirannya.

Upah Buruh

Salah satu sumber konflik tak berujung antara pengusaha dan buruh adalah masalah upah atau kesejahteraan buruh. Upah minimum regional yang diatur dalam undang-undang dianggap masih tetap menguntungkan pengusaha dan merugikanburuh. Buruh selalu menuntut upah sesuai standar kehidupan yang layak sementara perusahaan mengaku tidak mampu dan akan gulung tikar bila dipaksa untuk memenuhi seluruh hak-hak pekerja.

Ketentuan normatif Islam menyatakan bahwa upah buruh harus diberikan sebelum keringatnya kering (HR Ibn Majah). Rasulullah melarang mempekerjakan buruh tanpa menetapkan upahnya terlebih dahulu (HR Baihaqi). Bahkan, Rasulullah akan memusuhi tiga golongan manusia di hari pembalasan, yang salah satunya adalah pengusaha yang mempekerjakan seseorang secara penuh tapi tidak membayar upahnya.

Termasuk dalam kategori Sabda Nabi di atas adalah pekerja yang diberi upah di bawah standar minimum hidup layak. Pada prinsipnya, doktrin Islam selalu menyandingkan dua kepentingan agar seimbang. Islam memang konsen agar pekerja menerima upah dan berbagai fasilitas (kesehatan, perumahan dan jaminan hari tua) yang memungkinkan baginya menikmati kehidupan yang wajar.

Di sisi lain, Islam juga melindungi kepentingan pengusaha agar usahanya tetap profitable dan lancar hingga dapat terus berproduksi dan mempekerjakan banyak pekerja. Untuk itulah ruang dialog bipartit (pengusaha-buruh) atau tripartit (pengusaha-buruh-pemerintah) perlu dibuka lebar untuk menjembatani keinginan masing-masing pihak.Buruh dan majikan hendaknya tidak saling mematikan dengan cara melindungi kepentingan masing- masing dan enggan untuk berbagi.

Pekerja tidak dilarang untuk menyuarakan tuntutan kenaikan upah. Jika fakta bahwa buruh hanya digaji ala kadarnya atas cucuran keringat yang keluar, sementara keuntungan perusahaan dan pengusaha cukup besar, maka jerit perbaikan kesejahteraan buruh wajib didukung. Sebaliknya, buruh hendaknya tidak semena- mena meminta naik gaji bila keuangan perusahaan tidak cukup untuk memenuhi semua tuntutan. Dengan kata lain, buruh-pengusaha perlu bertindak proporsional dalam menyikapi upah dan kesejahteraan masing-masing pihak.

Islam dan Buruh

Jujur harus dikatakan bahwa mayoritas buruh adalah pemeluk Islam. Dari merekalah, industri bergerak dan ekonomi berkembang. Menghadapi realitas buruh yang terzalimi itu,agamawan seolah tak tersentuh nuraninya untuk mendorong dan mewacanakan bagaimana suara agama tentang kaum buruh. Lebih ironis lagi, agama malah disalahgunakan sebagai opium untuk meninabobokan buruh agar nrimo ing pandum, pasrah atas kebaikan pengusaha yang telah mempekerjakan mereka.

Moda interpretasi agama yang demikian itu masih jamak terjadi. Padahal agama mengkritik keras segala bentuk penindasan kelompok kaya terhadap kelompok miskin. Islam memandang bahwa buruh (pekerja) adalah sosok yang mulia. Mereka yang bekerja dengan pikiran dan tenaganya untuk mendapat imbalan yang pantas,posisinya jauh lebih mulia dari pada pemalas dan peminta-minta (HR. Bukhari).

Nabi tidak suka melihat seseorang yang berdiam diri, tidak memedulikan kehidupan dunia dan akhiratnya. Alquran sangat mengagungkan dan menjunjung kedudukan buruh dalam masyarakat. Rasulullah sungguhsungguh memuliakan buruh dan memberi tahu para sahabat bahwa setiap Rasul termasuk dirinya pernah kerja kasar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Status seseorang di mata Tuhan tidak ditentukan oleh jenis pekerjaan yang dilakoni, tapi semata-mata karena keimanan dan ketakwaannya kepada Tuhannya. Kehormatan buruh di mata Tuhan dan manusia diperoleh melalui kejujuran dan kesungguhan mereka dalam bekerja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar