Untuk
Siapa Menteri Bekerja?
M. Sobary, ESAIS, ANGGOTA PENGURUS MASYARAKAT BANGGA
PRODUK INDONESIA
Sumber
: SINDO, 6
Februari 2012
Tempo hari,di zaman Orde Baru, ketika
dengan kebanggaan kosong ada jenderal yang mengatakan bahwa ABRI berwarna
kuning, kontan perdebatan terjadi di media, karena rasa tersinggung yang tak
mungkin disembunyikan dengan diam-diam.
Tak dapat disangkal, sangat mungkin ada anggota ABRI sendiri yang merasa malu mendengar pernyataan itu. Orang dengan sendirinya berkata, ABRI ya ABRI. Identitas ke-ABRI-an itu sudah lebih dari cukup.Apalagi anggota ABRI yang pangkatnya jenderal. Di republik yang ABRI-nya sangat berkuasa, dan orang bisa mengatakan negeri ini terasa sangat militeristik, apa kurang hebatnya seorang jenderal? Tapi,cara pandang politik yang kedungu-dunguan selalu ada.Maka,entah bagaimana prosesnya waktu itu, orang bicara tentang komitmen dan loyalitas para anggota DPR.
Tak mengherankan, karena ABRI yang merasa dirinya kuning itu seorang jenderal yang sekaligus anggota DPR.Sebagai anggota DPR,dia mewakili sebuah kepentingan politik. “Kepada siapa loyalitas dan komitmen diberikan?” begitu kira-kira pertanyaannya. Jawabnya, yang bisa disebut “kedungu-dunguan” tadi mengatakan,“kepada DPR dan kepada partai”. Andaikata jawaban itu diberikan di suatu forum diskusi, yang banyak audiensnya atau di suatu studio televisi yang ditonton bocah-bocah berjaket dari berbagai perguruan tinggi, niscaya jawabnya: “huuuuuuu”.
Sebuah “huuuuu” panjang, yang mengejek,dan meremehkan, bahwa orang dengan identitas seperti itu ternyata begitu naif kesadaran maupun pemikiran politiknya. Jangan heran bila sikap mereka— juga DPR hari ini—begitu elitis, dan tak peduli akan nasib rakyat,bukan hanya yang memilihnya, melainkan yang diwakilinya. Rakyat tak pernah mampir ke dalam kesadaran mereka. Sampai hari ini mereka bekerja untuk partai, dan untuk DPR karena setahu mereka,dua organisasi itu yang membuat mereka hidup dalam kelimpahan materi. Orientasi sangat berjangka pendek, dan kepada golongannya sendiri,begitu kuat.Mereka lupa, sekali lagi, pada rakyat.
Mereka tahu apa arti “consituence”, tapi itu hanya pengetahuan, yang hidup dalam dunia ideal mereka,dan bukan sesuatu yang melekat di dalam jiwa dan menjadi “suluh” dalam segenap langkah perjuangan mereka. Ini kalau mereka berjuang. Di masa itu, cendekiawan terkemuka kita, Dr Nurcholish Madjid atau Cak Nur, sangat gencar bicara bahwa orientasi kita, apa pun kedudukan kita, dan di wilayah mana pun kita berdomisili, bukan kelompok, bukan golongan,bukan partai, bukan DPR/MPR, melainkan nilai. Hidup dipandu oleh orientasi nilai, yaitu nilai keindonesiaan.
Kita tahu, Indonesia ini belum “jadi”, belum merupakan suatu kenyataan sosio-politik dan kultural yang solid. Indonesia ini masih rapuh. Atau masih “in the making”. Maka nilai itu dijaga dan diperhatikan dengan baik. Dalam kaitan dengan pemikiran yang lebih besar, dalam skala nasional, yang bersifat lintas kelompok,lintas golongan, lintas partai,dan lintas kekuatan apa pun, kita bicara mengenai rakyat. Maka, pertanyaan “kepada siapa loyalitas dan komitmen” anggota DPR diberikan,jawabnya jelas kepada rakyat.
Rakyat Indonesia. Orang-orang yang bekerja untuk rakyat dan atas nama rakyat sebagai mandat konstitusi, tapi dalam kehidupan sehari- hari mereka “membunuh” kata rakyat dan “makna”kata itu jelas bahwa mereka selingkuh dalam politik dan moral, yang konsekuensinya tak bisa dibayangkan betapa beratnya. “Kepada siapa komitmen dan loyalitas menteri diberikan? Atau lebih teknis: untuk siapa menteri bekerja?” Ini pertanyaan yang lahir sekarang, ketika kita melihat para menteri bergentayangan ke sana ke mari,tanpa mengingat rakyat dalam perilaku maupun dalam kebijakan yang dibuatnya.
Jawaban kedungu-dunguan pasti akan muncul juga. Ada saja yang kemungkinan besar menjawab: Menteri bekerja untuk presiden, karena menteri pembantu presiden.Dalam bahasa teknis organisasional hal itu bisa saja dianggap benar.Tapi,mari kita cek betapa konyolnya, kalau dilihat pada kenyataan bahwa presiden juga ketua suatu partai. Maukah para menteri dari banyak partai yang berbeda orientasi politiknya, mendukung satu partai, yang dipimpin sang presiden? Tafsir ini menjadi begini karena presiden juga hanya bekerja demi partainya.
Lalu sebuah “pemerintah” dengan begitu berarti bekerja untuk sebuah partai, yakni partai sang presiden tadi. Inilah wujud kekonyolan nasional kita karena memang begitu kenyataannya. Kalau mereka bekerja untuk rakyat dan tak peduli sang presiden menangis jejeritan karena orientasi politik mereka sudah benar––komitmen dan loyalitas mereka hanya diberikan kepada rakyat jadi jelas bukan kepada presiden, pertanyaannya,“apa buktinya menteri bekerja untuk rakyat? Ada bukti yang kuat mendukung omongan ini jika mereka tak mau disebut hanya omong kosong?” Tidak ada.
Menteri pertanian membela petani? Termasuk petani tembakau yang seharusnya dia bela? Menteri pertanian yang menguyo-nguyo petani tembakau agar berganti menanam jenis tanaman lain, tanpa melihat begitu banyak faktor yang tak memungkinkannya. Apa bedanya di sini antara menteri dan petugas penertiban kota, yang kerjanya menggusur pedagang kaki lima,yang mandiri dan tak pernah minta dukungan pemerintah? Pedagang kaki lima itu sektor informal yang sangat mandiri, dan sektor informal itu merupakan fenomena perekonomian Indonesia.Tapi, kedunguan kebijakan dan tindakan telah mengusirnya.
Apa bedanya menteri dan petugas penertiban yang bekerja hanya dengan otot dan kemarahan? Mereka sama persis dilihat dari segi mana pun. Menteri perdagangan membela petani tembakau? Tidak. Menteri bekerja untuk orang lain. Melindungi kepentingan bangsa lain. Di zaman Mari Pangestu mengimpor garam, lima tahun lamanya, pertanyaannya, untuk siapa Mari bekerja? Orang bisa kaku kejang-kejang dan step, karena tak bisa menjawab pertanyaan ini dengan baik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar