Sulit,
Berat, Butuh Waktu…
Teten Masduki, SEKRETARIS JENDERAL TRANSPARENCY INTERNATIONAL INDONESIA
Sumber
: KOMPAS, 16
Februari 2012
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam
pertemuan dengan para wartawan, Senin (13/2) malam, mengeluhkan pemberantasan
korupsi sangat sulit, berat, butuh waktu, dan kerja sama semua pihak. Harus
diakui, korupsi terus tumbuh cepat di tengah agenda pemberantasan korupsi yang terasa
berjalan lamban.
Tanpa mengabaikan kemajuan-kemajuan yang
diraih sejak era reformasi, munculnya generasi baru koruptor yang sekarang
diperlihatkan lewat perilaku kalangan politisi muda produk reformasi membuat
kita merasa miris, apakah arah pemberantasan sudah benar untuk membawa
Indonesia keluar dari cengkeraman kekuasaan koruptor.
Lumpuhnya
Pilar Demokrasi
Memang, kesulitan yang dihadapi dalam
memerangi korupsi secara kelembagaan bisa kita pahami karena dari empat pilar
utama demokrasi, hanya sebagian yang telah hadir di sini secara meyakinkan,
yaitu kebebasan pers atau kebebasan berpendapat dan berorganisasi. Sementara
itu, lembaga hukum, partai politik (parpol), DPR, dan birokrasi justru masuk
dalam peringkat utama lembaga-lembaga paling kotor.
Namun, dari situ kita bisa tahu sesungguhnya
belum ada keberanian dan strategi yang efektif untuk membersihkan korupsi,
mulai dari sektor hulu atau sering disebut babon korupsi, sebagaimana mestinya
kalau mau berhasil. Kecuali Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), penegakan hukum
hampir mati kutu menghadapi para bandit elite.
Begitu juga reformasi birokrasi, hukum dan
politik cuma berputar-putar di sekitar perbaikan sistem dan kompetensi
kelembagaan dalam perspektif tata kelola yang baik (good governance), yang hal
itu dengan mudah dapat dilumpuhkan oleh kekuatan korup yang tetap dibiarkan
menguasai semua kelembagaan pemerintahan.
Masyarakat sering menyaksikan birokrat dan
aparat hukum kotor dan berkinerja buruk terus naik pangkat dan menduduki
jabatan strategis di tengah program reformasi birokrasi dan hukum.
Pemerintah tanpa rasa malu melantik kepala
daerah di penjara, sesuatu yang sangat menyakitkan karena pemerintah tidak
berani mengabaikan hal normatif untuk menegakkan keadilan.
Padahal, justru kehadiran pemimpin adalah
untuk melakukan terobosan-terobosan untuk melahirkan perbaikan. Barangkali
ajaran filsafat moral Thomas Aquinas tentang epikeia harus berani diperluas
tidak sekadar intervensi presiden dalam pemberian grasi.
Presiden Soeharto sekalipun pada tahun 1985
pernah mengeluarkan instruksi yang cukup berani untuk memarkir ribuan pegawai
bea cukai dan menyewa Suisse Generale Surveyor (SGS) dari Perancis ketika
rangkaian upaya pembenahan tidak kunjung berhasil.
Sekitar 2.000 auditor Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebelumnya secara khusus dikerahkan untuk
memeriksa kantor pajak dan bea cukai ketika kasus-kasus korupsi di kedua
lembaga itu mulai mencuat.
Namun, coba apa yang dilakukan pemerintah
sekarang ketika kasus rekening gendut polisi dan pejabat daerah muncul?
Dibiarkan begitu saja hingga menjadi pembicaraan umum di media berlarut-larut
tanpa penyelesaian dari pemegang otoritas. Padahal, kasus itu bisa jadi hanya
puncak dari gunung es, yang semestinya direspons secara cepat dan sistematis.
Bukan hanya di pemerintahan,
pemimpin-pemimpin partai politik pun tidak terlalu peduli partai politiknya
sebagai pilar demokrasi penting diduduki politisi-politisi busuk. Sistem
rekrutmen dan pendanaan politik memang menjadi kendala utama sehingga perilaku
partai dibiarkan menyalahi prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri.
Parpol jarang mempromosikan kadernya atau
melamar orang baik dan berprestasi untuk menjadi pemimpin, tetapi lebih suka
dilamar oleh mereka yang berduit dan urusan integritas tidak penting.
Korupsi
di Partai Demokrat
Yang paling kontroversial adalah
peristiwa-peristiwa dugaan korupsi yang melanda Partai Demokrat (PD) belakangan
ini karena terjadi di tengah upaya Presiden SBY, sebagai pemimpin sesungguhnya
PD, berusaha keras membangun kepercayaan publik bahwa pemerintahannya punya
perhatian serius terhadap pemberantasan korupsi.
Selama pasokan koruptor baru terus dibiarkan
mengalir, semua program antikorupsi hanyalah omong kosong.
Presiden SBY mulai dari 2004 hingga 2011
telah mengeluarkan tiga instruksi untuk percepatan pemberantasan korupsi dan
yang terakhir telah menyelaraskan dengan kerangka kerja Konvensi Antikorupsi
PBB (United Nation Convention Against Corruption/UNCAC), yaitu meliputi
strategi pencegahan, penegakan hukum, peraturan perundang-undangan, kerja sama
internasional dan penyelamatan aset hasil korupsi, strategi pendidikan dan
budaya antikorupsi, serta mekanisme pelaporan.
Yang sering diragukan oleh masyarakat adalah
pada tingkat implementasinya, yang cenderung hanya direspons oleh kementerian
dan lembaga secara proforma. Pada forum dialog LSM antikorupsi dengan Presiden
SBY akhir Januari lalu, kekhawatiran itu mengemuka dan muncul desakan agar
Presiden lebih interventif dalam rencana aksi di setiap kementerian dan lembaga
untuk memastikan semua program reformasi betul-betul bisa mengubah kultur
birokrasi yang kotor.
Kita dengar dari berbagai pihak dalam suasana
informal acap Presiden mengeluhkan ketidakpuasannya atas kinerja penegakan
hukum selama ini. Namun, Presiden lebih memilih membentuk Satgas Mafia Hukum
ketimbang campur tangan langsung untuk membenahi kelembagaan Polri dan
Kejaksaan, termasuk memastikan pada jabatan-jabatan strategis diisi oleh
orang-orang yang baik.
Dalam hal lain, mungkin pengangkatan wakil
menteri dari kalangan ahli adalah untuk menghadirkan kabinet profesional karena
kabinet koalisi politik kurang fungsional, tetapi ingin dipertahankannya.
Pemberantasan korupsi memang membutuhkan
waktu kendati alasan waktu acap dijadikan alasan terselubung untuk menoleransi
perubahan yang tertunda. Dan, Indonesia bukan yang pertama dan satu-satunya
negara yang tengah menjalankan program reformasi.
Ada banyak negara yang telah berhasil keluar
dari cengkeraman korupsi sehingga kalau para pemimpin bangsa ini tidak punya konflik
kepentingan dengan sumber-sumber dana korupsi, barangkali bisa mengambil
pengalaman dari negara-negara itu dan rentang waktu bisa diperpendek.
Pemberantasan korupsi adalah proyek politik
yang menantang siapa saja untuk menjadi pemimpin besar yang sesungguhnya.
Sebab, korupsi terbukti merupakan penghambat utama pertumbuhan ekonomi,
demokrasi, dan kesejahteraan umum.
Dan, saat ini adalah waktu yang paling
krusial untuk meletakan fondasi kebijakan antikorupsi nasional ketika harapan
untuk menguatkan kelembagaan antikorupsi tengah menghadapi tantangan serius
dari rezim korupsi yang tengah bergerak ke arah sebaliknya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar