Selamatkan
Integrasi Sosial Bangsa
Fajar Riza Ul Haq, DIREKTUR EKSEKUTIF MAARIF INSTITUTE FOR CULTURE AND HUMANITY
Sumber
: KOMPAS, 16
Februari 2012
Pelantikan pengurus Front Pembela Islam
Palangkaraya gagal dilaksanakan. Ratusan orang dari Dewan Adat Dayak dan
Gerakan Pemuda Dayak Indonesia Kalimantan Tengah menolak kedatangan pengurus
DPP FPI yang akan melantik, Minggu (11/2). Masyarakat sangat resah terhadap
perilaku kekerasan organisasi pimpinan Rizieq itu.
Aksi serupa dilakukan Angkatan Muda Nahdlatul
Ulama Kudus saat membubarkan pengajian dan pelantikan pengurus Majelis Tafsir
Al Quran di ”Kota Menara” tersebut, 28 Januari.
Pada April tahun lalu, sejumlah ulama NU
menyampaikan keberatan atas aktivitas dakwah organisasi asal Kota Solo itu di
Purworejo karena menilai pendekatan dan muatan dakwahnya memprovokasi. Tercatat
pula, sikap intoleransi masyarakat di Blora terhadap anggota MTA pada tahun
2003 telah memaksa mereka hidup bertahun-tahun di pengungsian di Solo.
Situs VOA-Islam melaporkan, masyarakat Muslim
di Ternate Utara mengusir warga Syiah Jerbes, 25 Januari. Langkah ini dilakukan
sebagai respons terhadap aksi warga Sampang, Madura, yang menyerang permukiman
Syiah pada akhir tahun lalu.
Menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI)
setempat, warga Syiah lebih baik meninggalkan kampung halamannya sebelum
menjadi sasaran kemarahan masyarakat Muslim. Perbedaan ajaran pemicu utama.
Kasus-kasus ini merupakan fakta berserak dari potret kekerasan sektarian yang
kian mengancam ruang publik kita.
Konflik Sektarian
Semakin meningkatnya intensitas konflik
berlatar belakang agama, terlebih yang bersifat internal, di Tanah Air
mengonfirmasi tesis Joseph Nye Jr. Menurut dia, salah satu tantangan terpenting
di era multipolar kekuatan politik global adalah ”perang sipil di tubuh umat
Islam” yang dipicu oleh fundamentalisme agama dan ekstremisme.
Bukan benturan peradaban (2011:232).
Perjumpaan kesenjangan sosial-ekonomi dengan perbedaan pandangan keagamaan
sering kali menjadi kondisi mendasar yang rentan terhadap konflik sektarian.
Memakai perspektif Ashutosh Varshney, aksi kekerasan yang berkecambah merupakan
dampak kegagalan negara mengelola konflik sektarian dan komunal (2002: 172).
Ia menemukan, pemerintah lokal dan polisi
akan dapat bekerja efektif membina hubungan damai antarkelompok jika ditopang
oleh peran masyarakat sipil yang kuat di ruang publik. Keterlibatan
partisipatif kelompok-kelompok sipil dalam menciptakan norma budaya bersama
sangat krusial.
Mekanisme
Pencegahan
Pada persoalan ini, paling tidak ada dua
komitmen yang harus dikerjakan guna meredam merebaknya aksi kekerasan
sektarian-agama di ruang publik. Pertama, pemerintah daerah dan kepolisian
harus merumuskan kebijakan yang berdaya pencegahan konflik, khususnya memutus
mata rantai kesenjangan sosial-ekonomi dan ketidakadilan hukum. Setiap daerah
hendaknya memetakan potensi konflik sektarian sehingga memiliki sistem
peringatan dini.
Kedua, kelompok-kelompok keagamaan harus
terlibat dalam proses integrasi budaya bangsa. Mereka harus menjelmakan
semangat kesalehannya ke dalam jasad keindonesiaan yang meyakini kebinekaan
sebagai platform bersama.
Proses ini akan mengantarkan semua kelompok
keagamaan pada nilai-nilai bersama dalam bermasyarakat dan berbangsa.
Rendahnya kadar integrasi nilai-nilai budaya
ini membuat setiap kelompok keagamaan tidak mampu memediasi konflik perbedaan
pandangan keagamaan di ruang publik berdasarkan nilai-nilai toleransi dan norma
etika publik nirkekerasan. Jika kondisi semacam ini terus berlangsung,
integrasi sosial kita dalam bahaya serius. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar