Sabtu, 18 Februari 2012

Sarjana Kuadran Pertama


Sarjana Kuadran Pertama
Agus M. Irkham, KEPALA DEPARTEMEN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGURUS PUSAT FORUM TAMAN BACAAN MASYARAKAT; INSTRUKTUR LITERASI FORUM INDONESIA MEMBACA
Sumber : KORAN TEMPO, 17 Februari 2012


Beragam reaksi mengemuka menanggapi kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melalui Dirjen Pendidikan Tinggi, ihwal syarat kelulusan bagi mahasiswa. Mahasiswa, baik strata satu, dua, maupun tiga, diwajibkan membuat tulisan ilmiah dan menerbitkannya dalam jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan. Ketentuan yang tertuang dalam surat edaran bernomor 152/E/T/2012 itu mulai berlaku bagi mahasiswa yang akan lulus setelah Agustus 2012.

Reaksi penolakan salah satunya datang dari Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi). Aptisi menilai Surat Edaran Dirjen Dikti tersebut tergesa-gesa. Dalam pandangan Aptisi, jumlah jurnal terutama di Indonesia terbatas, sementara jumlah mahasiswa seluruh Indonesia sangat banyak. Jumlah di antara keduanya tidak berimbang. Atas dasar hitung-hitungan tersebut, dapat dipastikan jurnal yang ada tidak akan mampu menampung tulisan ilmiah semua mahasiswa.

Tulisan ini tidak akan memperpanjang alasan keberatan, kritik, dan penolakan terhadap kebijakan Dikti itu. Sebab, respons yang muncul dari banyak perguruan tinggi, entah bersifat reaktif, bertahan sambil menyerang, ataupun reflektif, justru dapat dinilai oleh publik sebagai cermin kualitas perguruan tinggi tersebut.

Berbicara tentang perguruan tinggi dalam konteks publikasi karya ilmiah, menurut saya, kuncinya ada di strata satu (S-1). Para calon sarjana S-1 ini harus difasilitasi, didorong, dan diberi teladan terutama oleh para dosennya agar saat menjadi sarjana tidak hanya memperoleh indeks prestasi kumulatif yang memukau, tapi juga “Indeks Peradaban Kumulatif” yang menggetarkan.

IPK (huruf besar) mencerminkan kecerdasan emosional/sosial, optimalisasi otak kanan, besaran bersifat kualitatif, berpusat pada ego semesta, bersifat jangka panjang, dan berorientasi pada proses. Sebaliknya, ipk (huruf kecil) mencerminkan kecerdasan intelektual/akademik, optimalisasi otak kiri, besaran bersifat kuantitatif, bersifat jangka pendek, berpusat pada ego diri, dan berorientasi pada hasil.

Termasuk dalam wujud luaran seorang sarjana yang memiliki IPK tinggi adalah kemampuan untuk memandang, melihat, mendengar, dan menghayati kehidupan semesta untuk kemudian ia formulasikan menjadi sebuah kajian/penelitian. Tidak hanya berhenti di situ, hasil penelitian itu ia komunikasikan kepada masyarakat melalui produk pengetahuan bernama jurnal ilmiah. Dengan begitu, karya tulis yang ia hasilkan tidak hanya aktual, tapi juga kontekstual.

Perolehan ipk dan IPK yang tinggi ini akan membantu seorang sarjana saat menempuh pembelajaran di program pascasarjana (S2) dan doktoral (S3) publikasi karya ilmiah di jurnal internasional, terlebih nasional--bukan lagi menjadi sesuatu yang di atas langit sana. Apa pasal perolehan ipk dan IPK di strata satu punya korelasi yang signifikan untuk proses pendidikan selanjutnya? Karena berimpitnya ipk dengan IPK akan memampukan seorang sarjana menjadi intelektual organik. Yakni intelektual yang tidak hanya mau dan mampu bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan bidang keilmuannya, tapi juga terlebih kepada kehidupan dan lingkungannya awal ia bermula.

Jika antara ipk dan IPK ini kita buat menjadi garis yang saling memotong, garis horizontal menunjukkan capaian ipk, sedangkan garis vertikal menunjukkan IPK, maka akan terdapat empat kuadran sarjana. Dalam bingkai cara berpikir di atas, ikhtiar menjadikan para mahasiswa mampu menulis karya ilmiah dan mempublikasikannya berada dalam gerbong yang sama dengan tujuan “mencetak” sarjana berindeks prestasi dan peradaban kumulatif tinggi: sarjana kuadran pertama.

Nah, pertanyaan kuncinya adalah apa saja yang harus dilakukan perguruan tinggi agar para mahasiswanya saat lulus menjadi sarjana kuadran pertama, terutama dalam konteks kebijakan Dikti berarti mahasiswa yang mampu menulis dan menerbitkan tulisan ilmiah di jurnal nasional dan internasional. Salah satunya adalah dengan “memaksa” para mahasiswa agar mau membaca buku.

Mengapa membaca penting? “Membaca ibarat tenaga dalam buat penulis,” tulis Prof Ismail Marahaimin dalam bukunya, Menulis Secara Populer (1996). “Sebuah tulisan memerlukan gizi, agar ia sehat dan tumbuh. Apalagi tulisan ilmiah,” kata Yasraf Amir Piliang (2011). “Tanpa gizi” Yasraf melanjutkan, “tulisan akan kering, dangkal, bersifat permukaan, dan penuh pengulangan (tautology).” Gizi bagi seorang penulis adalah pengetahuan, teori, atau konsep-konsep baru, yang bisa diperoleh dengan membaca buku. Lebih lanjut, Yasraf mengikhtisarkan bahwa pengetahuan, teori, atau konsep-konsep baru tersebut dapat menjadi inspirasi bagi penulisan, yang dengan kekayaannya dapat meningkatkan produktivitas ide, gagasan, atau tema-tema tulisan.

Sudah menjadi pengetahuan jamak bahwa minat baca mahasiswa kita masih tergolong rendah, baik membaca buku-buku yang masih ada hubungannya dengan mata kuliah (literasi fungsional) maupun terlebih buku-buku umum yang bersifat pengayaan (literasi budaya). Dengan demikian, kemampuan literasi mereka masih sebatas literasi teknis, dan sedikit fungsional. Sedangkan literasi budayanya masih rendah.

Maka, sudah seharusnya para dosen sering menugasi mereka secara individual, bukan kelompok menulis esai dan makalah minimal menggunakan referensi 10 buku berbahasa Indonesia, dan 5 buku berbahasa Inggris, misalnya. Selain itu, secara teratur dan terukur, para mahasiswa harus dites terus-menerus jangkauan kemajuan bacaannya. Dimulai dari bacaan wajib (required reading), bacaan yang dianjurkan (recommended reading), dan bacaan menyangkut pengetahuan umum (general knowledge). Sebagaimana layaknya yang telah berlangsung lama di perguruan-perguruan tinggi di luar negeri.

Idealnya memang “pemaksaan” untuk membaca itu juga terhubung dengan sistem pendidikan di tingkat dasar dan menengah. Sebab, membaca, berpikir kritis, dan menulis itu sepatutnya dimulai sejak siswa duduk di sekolah dasar. Bukan potong kompas, langsung di universitas. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar