Mengembalikan
Martabat Hakim
Abdul Kadir, HAKIM
PENGADILAN AGAMA KOTABARU KALSEL,
ALUMNI IAIN ANTASARI BANJARMASIN
ALUMNI IAIN ANTASARI BANJARMASIN
Sumber
: SUARA KARYA, 17
Februari 2012
Hakim
adalah jabatan yang sudah ada sejak lama, sejak adanya peradapan itu sendiri.
Dalam UU No 28 Tahun 1999, dalam pasal 2 ayat 5 disebutkan bahwa hakim juga
bagian dari penyelenggara negara. Jabatan hakim merupakan bagian dari kekuasaan
dalam masyarakat.
Tentunya
agar hakim dihormati dan ditaati keputusannya, maka perlu juga ada norma-norma
yang harus ditaati oleh hakim itu sendiri. Apalagi, sekarang ini jabatan hakim
hanya dipandang sebelah mata. Ini tak terlepas akibat ulah sebagian (oknum)
hakim yang tidak menunjukkan perilaku sebagai seorang hakim. Bagaimanapun sosok
seorang hakim harus berlaku adil dan bijaksana hingga memuaskan kedua belah
pihak yang berperkara, tanpa membeda-bedakan para pihak berperkara. Ini sejalan
dengan muatan UU No 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan UU No 4 Tahun 2004
dalam pasal 5, ayat 1, "Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak
membeda-bedakan orang."
Memang
sulit, memuaskan semua pihak, karena salah satunya pasti ada yang merasa
dirugikan. Namun, dengan sikap bijak dan adil, tanpa membeda-bedakan
pihak-pihak yang berperkara, paling tidak, akan dapat meminimalisasikan gesekan
antara para pihak.
Sebenarnya
kalau kita memahami secara seksama, jabatan hakim merupakan wakil Tuhan Yang
Maha Adil dan Maha Bijaksana. Memang, yang berhak mengadili itu hanyalah Allah,
namun kewenangan tersebut didelegasikan kepada seorang hakim. Maka, seorang
hakim sebagai pengemban misi Tuhan, semestinya dalam menjalankan kewajibannya,
harus berlaku adil dan bijaksana, dan menyadari bahwa ia adalah penegak
kebenaran. Dalam istilah lain, hakim adalah wakil Tuhan di dunia. Dan, semua
perbuatannya selalu diawasi oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
Ada
buku panduan sebagai pegangan bagi para hakim agar berwibawa dan dihormati,
yaitu: 'Pedoman Perilaku Hakim'. Butir-butir perilaku hakim ini pada pokoknya
memuat hal-hal sebagai berikut: 1) berperilaku adil, 2) jujur, 3) arif dan
bijaksana, 4) bersikap mandiri, 5) berinteritas tinggi, 6) bertangung jawab, 7)
menjujung tinggi harga diri, 8) berdisiplin tinggi, 9) berperilaku rendah hati,
dan 10) bersikap profesional.
Kalau
para hakim bersikap dan berbuat sesuai dengan '10 Pedoman Perilaku Hakim', maka
niscaya kemuliaan sebagai seorang hakim akan benar-benar terwujud.
Sebelum
reformasi bergulir, hukum bagaikan pisau bermata dua, ke atas tumpul ke bawah
tajam. Dalam istilah lain sering kita dengar 'tudingan' sementara orang bahwa
hukum hanya untuk rakyat kecil. Sedangkan orang yang terhormat (orang yang
berduit) atau pejabat tidak tersentuh hukum (kebal hukum).
Sebenarnya,
semua warga negara tidak ada yang kebal hukum. Di mata hukum, semua warga
berkedudukan sama. Hal ini tertuang dalam UUD 1945 dan perubahannya pada pasal
1 ayat (3). Namun, kenyataannya, hal itu hanya sebatas slogan. Kemudian, ketika
memasuki era reformasi tahun 1998, rakyat pun berharap agar sistem penegakan
hukum Indonesia diperbaiki.
Tuntutan
dan harapan masyarakat ini tidaklah berlebihan. Karena, rakyat tampaknya sudah
jenuh dengan jalannya penegakan hukum selama ini, yang cenderung menimbulkan
ketidak-percayaan kepada penegak hukum, khususnya hakim. Yang perlu diingat,
penegak hukum bukan hanya hakim, namun ada juga polisi, jaksa, dan pengacara.
Tapi, mengapa hanya hakim yang sangat disoroti? Apalagi, setelah keluarnya UU
No 48 Tahun 2009, yang paling disoroti adalah pasal 48 ayat 1.
Di
lain pihak, masyarakat hanya melihat fasilitas yang dijanjikan oleh UU.
Masyarakat tidak melihat beban dan tanggung jawab para hakim dan problema hidup
mereka.
Mengapa
hal itu bisa terjadi? Bisa dipahami, kunci terakhir harapan para pencari
keadilan terletak di tangan hakim. Karena, hakimlah yang akan menentukan hasil
dari proses perjalanan suatu perkara. Hakimlah yang akan menentukan nasib para
pencari keadilan. Hakim yang akan memutuskan. Jadi, wajarlah masyarakat lebih
menyorot para hakim untuk berlaku adil dan bijaksana.
Tujuan
diterbitkannya UU tersebut, untuk mengembalikan kemulian hakim, sebagai pejabat
negara dan wakil Tuhan. Tuntutan agar hakim berlaku profesional, adil dan
bijaksana dalam melaksanakan tugasnya terbentur oleh tuntutan hidup. Hakim juga
perlu memenuhi kebutuhan keseharian keluarganya dengan tempat tinggal yang
layak. Kenyataannya, kehidupan para hakim tidaklah semulia namanya. Masih
banyak hakim hidup pas-pasan.
Tak
heran, ada sebagian (oknum) hakim yang melakukan penyimpangan, yang pada
gilirannya justru menjatuhkan martabat hakim secara keseluruhan. Ironisnya,
masyarakat cenderung melihatnya bukan sebagai oknum, tetapi korps hakimnya.
Padahal, tentu tidak semua hakim seperti itu, masih banyak hakim yang jujur dan
masih memiliki idealisme tinggi.
Di
samping para hakim perlu membenahi dirinya dengan berpegang teguh kepada
"10 Pedoman Perilaku Hakim", mestinya ada timbal baliknya. Yaitu,
terealisasinya janji UU, agar para hakim fokus ke pekerjaan saja, tidak lagi
berpikir untuk mencari tambahan penghasilan. Dengan demikian diharapkan tidak
ada lagi, atau paling tidak mengurangi, perilaku hakim yang menyimpang.
Pada
dasarnya, gaji dan fasilitas itu perlu, tapi itu tidak mutlak. Karena, berapa
pun gaji dan sebaik apa pun fasilitas yang tersedia, kalau iman dan moralnya
sudah tidak baik tetap saja hakim tersebut akan menyimpang. Jadi, kunci
utamanya adalah membangun fondasi yang kuat dengan iman dan moral yang baik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar