Sabtu, 18 Februari 2012

Mengembalikan Martabat Hakim


Mengembalikan Martabat Hakim
Abdul Kadir, HAKIM PENGADILAN AGAMA KOTABARU KALSEL,
ALUMNI IAIN ANTASARI BANJARMASIN
Sumber : SUARA KARYA, 17 Februari 2012



Hakim adalah jabatan yang sudah ada sejak lama, sejak adanya peradapan itu sendiri. Dalam UU No 28 Tahun 1999, dalam pasal 2 ayat 5 disebutkan bahwa hakim juga bagian dari penyelenggara negara. Jabatan hakim merupakan bagian dari kekuasaan dalam masyarakat.

Tentunya agar hakim dihormati dan ditaati keputusannya, maka perlu juga ada norma-norma yang harus ditaati oleh hakim itu sendiri. Apalagi, sekarang ini jabatan hakim hanya dipandang sebelah mata. Ini tak terlepas akibat ulah sebagian (oknum) hakim yang tidak menunjukkan perilaku sebagai seorang hakim. Bagaimanapun sosok seorang hakim harus berlaku adil dan bijaksana hingga memuaskan kedua belah pihak yang berperkara, tanpa membeda-bedakan para pihak berperkara. Ini sejalan dengan muatan UU No 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan UU No 4 Tahun 2004 dalam pasal 5, ayat 1, "Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang."

Memang sulit, memuaskan semua pihak, karena salah satunya pasti ada yang merasa dirugikan. Namun, dengan sikap bijak dan adil, tanpa membeda-bedakan pihak-pihak yang berperkara, paling tidak, akan dapat meminimalisasikan gesekan antara para pihak.
Sebenarnya kalau kita memahami secara seksama, jabatan hakim merupakan wakil Tuhan Yang Maha Adil dan Maha Bijaksana. Memang, yang berhak mengadili itu hanyalah Allah, namun kewenangan tersebut didelegasikan kepada seorang hakim. Maka, seorang hakim sebagai pengemban misi Tuhan, semestinya dalam menjalankan kewajibannya, harus berlaku adil dan bijaksana, dan menyadari bahwa ia adalah penegak kebenaran. Dalam istilah lain, hakim adalah wakil Tuhan di dunia. Dan, semua perbuatannya selalu diawasi oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.

Ada buku panduan sebagai pegangan bagi para hakim agar berwibawa dan dihormati, yaitu: 'Pedoman Perilaku Hakim'. Butir-butir perilaku hakim ini pada pokoknya memuat hal-hal sebagai berikut: 1) berperilaku adil, 2) jujur, 3) arif dan bijaksana, 4) bersikap mandiri, 5) berinteritas tinggi, 6) bertangung jawab, 7) menjujung tinggi harga diri, 8) berdisiplin tinggi, 9) berperilaku rendah hati, dan 10) bersikap profesional.

Kalau para hakim bersikap dan berbuat sesuai dengan '10 Pedoman Perilaku Hakim', maka niscaya kemuliaan sebagai seorang hakim akan benar-benar terwujud.
Sebelum reformasi bergulir, hukum bagaikan pisau bermata dua, ke atas tumpul ke bawah tajam. Dalam istilah lain sering kita dengar 'tudingan' sementara orang bahwa hukum hanya untuk rakyat kecil. Sedangkan orang yang terhormat (orang yang berduit) atau pejabat tidak tersentuh hukum (kebal hukum).

Sebenarnya, semua warga negara tidak ada yang kebal hukum. Di mata hukum, semua warga berkedudukan sama. Hal ini tertuang dalam UUD 1945 dan perubahannya pada pasal 1 ayat (3). Namun, kenyataannya, hal itu hanya sebatas slogan. Kemudian, ketika memasuki era reformasi tahun 1998, rakyat pun berharap agar sistem penegakan hukum Indonesia diperbaiki.

Tuntutan dan harapan masyarakat ini tidaklah berlebihan. Karena, rakyat tampaknya sudah jenuh dengan jalannya penegakan hukum selama ini, yang cenderung menimbulkan ketidak-percayaan kepada penegak hukum, khususnya hakim. Yang perlu diingat, penegak hukum bukan hanya hakim, namun ada juga polisi, jaksa, dan pengacara. Tapi, mengapa hanya hakim yang sangat disoroti? Apalagi, setelah keluarnya UU No 48 Tahun 2009, yang paling disoroti adalah pasal 48 ayat 1.

Di lain pihak, masyarakat hanya melihat fasilitas yang dijanjikan oleh UU. Masyarakat tidak melihat beban dan tanggung jawab para hakim dan problema hidup mereka.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Bisa dipahami, kunci terakhir harapan para pencari keadilan terletak di tangan hakim. Karena, hakimlah yang akan menentukan hasil dari proses perjalanan suatu perkara. Hakimlah yang akan menentukan nasib para pencari keadilan. Hakim yang akan memutuskan. Jadi, wajarlah masyarakat lebih menyorot para hakim untuk berlaku adil dan bijaksana.

Tujuan diterbitkannya UU tersebut, untuk mengembalikan kemulian hakim, sebagai pejabat negara dan wakil Tuhan. Tuntutan agar hakim berlaku profesional, adil dan bijaksana dalam melaksanakan tugasnya terbentur oleh tuntutan hidup. Hakim juga perlu memenuhi kebutuhan keseharian keluarganya dengan tempat tinggal yang layak. Kenyataannya, kehidupan para hakim tidaklah semulia namanya. Masih banyak hakim hidup pas-pasan.

Tak heran, ada sebagian (oknum) hakim yang melakukan penyimpangan, yang pada gilirannya justru menjatuhkan martabat hakim secara keseluruhan. Ironisnya, masyarakat cenderung melihatnya bukan sebagai oknum, tetapi korps hakimnya. Padahal, tentu tidak semua hakim seperti itu, masih banyak hakim yang jujur dan masih memiliki idealisme tinggi.

Di samping para hakim perlu membenahi dirinya dengan berpegang teguh kepada "10 Pedoman Perilaku Hakim", mestinya ada timbal baliknya. Yaitu, terealisasinya janji UU, agar para hakim fokus ke pekerjaan saja, tidak lagi berpikir untuk mencari tambahan penghasilan. Dengan demikian diharapkan tidak ada lagi, atau paling tidak mengurangi, perilaku hakim yang menyimpang.

Pada dasarnya, gaji dan fasilitas itu perlu, tapi itu tidak mutlak. Karena, berapa pun gaji dan sebaik apa pun fasilitas yang tersedia, kalau iman dan moralnya sudah tidak baik tetap saja hakim tersebut akan menyimpang. Jadi, kunci utamanya adalah membangun fondasi yang kuat dengan iman dan moral yang baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar