Sabtu, 18 Februari 2012

Saatnya Dipikirkan Undang-Undang Ormas Keagamaan


Saatnya Dipikirkan
Undang-Undang Ormas Keagamaan
Putu Setia, WARTAWAN DAN PENDETA HINDU, TINGGAL DI BALI
Sumber : KORAN TEMPO, 17 Februari 2012


Mungkinkah majelis-majelis agama bisa meredam aksi kekerasan yang dilakukan oleh organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan? Mungkinkah majelis agama yang dimiliki oleh hampir semua agama yang ada di Indonesia bisa mengayomi dan membina ormas keagamaan itu? Mengayomi di sini dalam maksud memberi bimbingan, tuntunan, dan juga perlindungan, karena organisasi kemasyarakatan itu jelas-jelas mencantumkan identitas agamanya. Membina tentu dalam arti yang luas. Mereka bisa menegur ormas keagamaan yang aksinya merugikan pemeluk agama lain, karena ini juga berarti menodai agamanya sendiri. Dalam keadaan terpaksa karena tak “mampu dibina”, majelis agama ini memberikan rekomendasi kepada pemerintah supaya ormas itu dibubarkan--jika sudah sangat meresahkan.

Mungkinkah hal itu? Pertanyaan ini sering mengganggu tidur saya, meskipun jawabannya sudah saya tahu: tak mungkin. Ini karena majelis agama bukanlah berada dalam satu struktur dengan ormas keagamaan. Ormas keagamaan tidak menjadi “bawahan” majelis agama. Ormas keagamaan bahkan sebutan yang salah kaprah, karena sejatinya dia itu hanyalah organisasi kemasyarakatan biasa yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3298). Hanya karena labelnya mencantumkan nama agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan lainnya), mereka lantas disebut ormas keagamaan. Jadi, Front Pembela Islam (FPI) sama kedudukannya dengan Forum Betawi Rempug dan berbagai ormas lainnya--dengan catatan, kalau ormas itu terdaftar di Kementerian Dalam Negeri, sebab ada ribuan ormas yang tak terdaftar.

FPI sering melakukan aksi-aksi yang meresahkan masyarakat. Bagaimana mungkin Majelis Ulama Indonesia (MUI) akan melakukan “pembinaan”, apalagi sampai merekomendasikan, supaya FPI dibekukan? Bukankah tak ada hubungan organisatoris? Kalau MUI saja tak bisa berbuat apa-apa, apalagi ormas Islam yang lainnya, bahkan juga pemuka-pemuka Islam yang gerah dengan ulah FPI itu. Artinya, meski sama-sama memakai label satu agama, tak ada saling mengingatkan, karena semuanya otonom dan semuanya berpegang pada konstitusi bahwa hal berserikat itu dijamin undang-undang.

Di luar Islam, hal itu juga terjadi. Tapi, karena jumlah umatnya tak sebesar Islam, gesekan itu tak sampai muncul di permukaan. Di Hindu, misalnya. Majelis agamanya bernama Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI). Organisasi massa yang menghimpun anggotanya dengan kesamaan agama Hindu, tak ada urusan dengan PHDI. Mereka bergerak dan membiayai dirinya sendiri. Cuma, dalam satu dasawarsa terakhir ini, PHDI mulai mendekati ormas-ormas ini, ibarat seorang bapak yang menasihati anaknya, diterima syukur, ditolak apa boleh buat. Nasihatnya: jika tetap menggunakan nama Hindu, tolong ajaran agama Hindu menjadi roh dari pergerakan itu, Hindu yang toleran dan Hindu yang damai. Tampaknya mereka bisa menerima, namun dalam hal tertentu, terutama berkaitan dengan bhisama (fatwa) yang dikeluarkan PHDI--dalam Hindu hanya pendeta PHDI yang bisa mengeluarkan fatwa--mereka sering mengabaikan.

Dan kami di PHDI--saya salah satu dari 33 pendeta yang kini duduk di PHDI--sangat menyadari bahwa adalah hak setiap orang untuk menafsirkan ajaran agama, dan PHDI tak mau memonopoli tafsir Weda sebagai satu-satunya tafsir yang harus diikuti. Karena itu, beberapa fatwa tak mulus di masyarakat Hindu, misalnya bhisama soal sabung ayam (yang bertentangan dengan Hindu karena ada judinya), bhisama soal Catur Warna (yang meluruskan soal kasta), bhisama dana punia (yang mewajibkan umat membayar sekian persen dari penghasilan bersih untuk agama). Sabung ayam tetap marak, pendeta Hindu (terutama di Bali) seperti masih tersekat oleh kelompok-kelompok. Tentu saja puluhan bhisama lain dilaksanakan dengan baik, karena bagaimanapun kami dianggap orang yang punya “pengetahuan lebih” dalam menelaah kitab suci.

Saya kira di Islam juga demikian, tak semua fatwa MUI diikuti oleh umatnya. Kalau begitu halnya, lalu apa sesungguhnya peran, tugas, dan kewajiban majelis-majelis agama dalam “menenteramkan” umatnya, belum lagi kita bicara “mensejahterakan” umatnya. Semuanya seperti mengambang, majelis agama seperti ada di menara gading. Kadang dianggap panutan, kadang berwibawa, tapi tak jarang juga dicuekin. Menegur saja tak berani, apalagi menjadi “polisi agama” untuk hal tertentu.

Dalam kasus FPI, orang melihat aksi mereka sudah tak bisa ditenggang, sehingga ormas ini perlu dibubarkan. Bagaimana mungkin pemerintah berani--dan bisa--karena hal itu bertabrakan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985. Dalam undang-undang ini disebutkan, ormas bisa dibekukan setelah tiga kali mendapat teguran tertulis berdasarkan wilayah: kabupaten/kota, provinsi, nasional. Contohnya, FPI bisa dibekukan di Cianjur jika sudah tiga kali melakukan aksi anarkistis di sana. Kalau sekali di Cianjur, sekali di Bogor, sekali di Pandeglang, itu tak bisa digabung.

Bahwa FPI sering melakukan aksi anarkistis, mungkin benar. Tetapi hal itu berada di wilayah yang berbeda-beda. Menteri Dalam Negeri menyebutkan, di tingkat nasional FPI baru dua kali mendapat teguran. Pertama, waktu menyerang aksi Kelompok Kebangsaan di Monas. Kedua, ketika merusak kantor Kementerian Dalam Negeri, bulan lalu. Perlu satu teguran tertulis lagi. Tetapi, kalau aksinya dilakukan di wilayah provinsi atau wilayah kabupaten/kota, tak bisa diakumulasi. Yang lebih njelimet lagi, setelah tiga teguran tertulis dilakukan, pembekuan atau pembubarannya menunggu fatwa Mahkamah Agung. Betapa panjangnya jalan “menuju Indonesia tanpa FPI” itu.

Tentu kita berharap, semoga FPI melakukan introspeksi terhadap ulahnya selama ini, setelah kasus di Palangkaraya itu. Namun, yang lebih penting, jika aksi dan penolakan terhadap FPI dijadikan pembuka wacana, perlu dipikirkan adanya undang-undang tersendiri yang mengatur ormas keagamaan dan sekaligus di sana diatur pula apa itu majelis agama dan apa itu Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Seperti diketahui, FKUB ini lahir dari Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri pada 2006 dalam kaitan dengan pembangunan tempat ibadah. Kenyataannya, banyak FKUB yang tak berfungsi, sehingga berbagai kasus pun bermunculan, seperti kasus Gereja Yasmin itu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar