Sabtu, 18 Februari 2012

Teori Konservasi dan Fenomena Cuaca Ekstrem


Teori Konservasi dan Fenomena Cuaca Ekstrem
Gentio Harsono, PENELITI BIDANG PENERAPAN LINGKUNGAN LAUT
DINAS HIDRO-OSEANOGRAFI; KANDIDAT DOKTOR PADA SEKOLAH PASCASARJANA IPB
Sumber : SINAR HARAPAN, 17 Februari 2012


Meningkatnya frekuensi dan intensitas puting beliung yang disertai hujan akhir-akhir ini telah banyak membawa korban baik jiwa maupun materi.
Di Jakarta, pohon besar dan rindang bukan lagi tempat yang nyaman untuk berteduh dan memperoleh udara segar, namun pohon telah menjelma sebagai salah satu faktor pencabut nyawa yang paling ditakuti warga ketika angin kencang berputar ini terjadi.
Data terakhir, bencana puting beliung di Jawa dan Bali saja tercatat 14 jiwa tewas, 60 orang luka dengan kerugian materi sebanyak 2.364 rumah rusak.
Gejala cuaca akhir-akhir ini menjadi makin ekstrem, tidak menentu dan sukar untuk diprediksi (baca: tidak linear).
Gejala-gejala alam ekstrem ikutannya dalam skala yang lebih luas pun muncul seperti musim kemarau lebih panjang dan musim penghujan yang pendek, namun intensitas hujannya justru meningkat drastis. Atau justru sebaliknya musim hujan panjang dan musim kemarau yang pendek dengan peningkatan suhu atmosfer bumi di atas normal.
Meningkatnya kekuatan badai tropis dan efek yang ditimbulkannya telah membuat sejarah baru, sekarang bukan saja implikasi pada lalu lintas pelayaran dan penerbangan terganggu akibat meningkatnya kecepatan angin dan tinggi gelombang laut, namun juga efek dari meningkatnya intensitas hujan di atas normal.
Beberapa daerah kepulauan Indonesia mengalami kekurangan bahan pokok dan energi akibat terputusnya jalur suplai bahan pangan yang umumnya melalui laut, petani yang gagal panen karena tanamannya terendam banjir, kerusakan infrastruktur sosial seperti jalan dan jembatan yang memutuskan jalur distribusi dan perhubungan simpul-simpul kegiatan ekonomi mengakibatkan tingginya harga bahan pangan dan kebutuhan pokok masyarakat lainnya.
Dalam konteks kajian meteorologi-oseanografi gejala alam yang demikian ini tidak lepas kaitannya dari apa yang disebut sebagai interaksi lautan-atmosfer (air-sea interaction), di mana proses yang berperan dominan dalam menentukan cuaca dan iklim adalah aliran massa air yang terjadi dalam siklus air (siklus evaporasi-kondensasi-presipitasi) dan proses perpindahan energi dalam bentuk bahang (heat) antara atmosfer dan lautan melalui media angin dan arus laut yang disebut dengan ocean-atmosphere coupling.
Teori Konservasi Energi
Hukum fisika ini menyatakan bahwa jumlah total energi dalam suatu sistem terisolasi (baca: bumi dan atmosfer di atasnya) adalah kekal sepanjang masa.
Dalam suatu sistem terisolasi, energi dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya dan dapat berubah bentuk dari sifat satu ke sifat lainnya, namun energi tidak dapat diciptakan dan juga dimusnahkan, karenanya dikatakan jumlah energi akan tetap (konservasi).
Jika dikaitkan fenomena yang terjadi di atmosfer, terjadi berbagai perubahan bentuk energi seperti energi laten yang terbentuk akibat perubahan fase air menjadi uap atau es, energi kinetik seperti angin, siklon, pergerakan awan dan uap air, sedangkan energi potensial seperti air yang jatuh sebagai hujan dan lain sebagainya.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, proses interaksi lautan-atmosfer akhir-akhir ini menjadi terganggu akibat meningkatnya suplai bahang di atmosfer dari sisa energi hasil pembakaran fosil (baca: minyak dan batu bara) yang dibuang ke atmosfer. Meningkatnya suplai bahang ini memberikan surplus energi pada atmosfer.
Jika semula sumber energi utama atmosfer adalah radiasi matahari, sekarang ada peranan baru yang kekuatannya semakin besar, yaitu energi dari sisa pembakaran fosil. Proses ini diyakini sebagai trigger terhadap ketidakstabilan pola temporal iklim dan cuaca.
Sisa energi dari hasil pembakaran fosil yang terbuang ke atmosfer juga akan membentuk gas-gas rumah kaca, menyerap energi matahari dan menyimpannya di atmosfer. Energi panas yang tersimpan pada gas-gas di atmosfer ini akan menambah panasnya atmosfer bumi.
Meskipun laut mempunyai kemampuan dalam menyerap energi melalui proses fotosintesis pada tumbuhan pada lapisan atasnya, namun laut juga mempunyai kemampuan yang terbatas bila energi berlebih ini terus meningkat.
Proses ini diperparah dengan ketidakmampuan buffer dalam menyerap surplus energi ini seperti berkurangnya luasan vegetasi akibat alih fungsi hutan dan ekspansi budi daya manusia.
Sesuai dengan teori konservasi, energi yang berlebih di atmosfer tersebut akan berubah bentuk menjadi energi lainnya. Salah satu bentuk energi yang mungkin terjadi adalah perubahan menjadi energi kinetik berupa angin kencang seperti halnya meningkatnya intensitas dan frekuensi puting beliung.
Meningkatnya energi yang beredar di atmosfer, memungkinkan terjadinya siklon tropis dengan energi yang lebih besar dari kondisi normalnya baik intensitas maupun frekuensinya. Hal ini merupakan konsekuensi logis agar jumlah total energi di atmosfer adalah tetap (konservasi). Panjang ekornya pun menjadi lebih besar.
Meskipun jejak siklon tropis tidak mampu mencapai pada lintang 10° LU/LS (sebagian besar wilayah Indonesia), limpasan dari kekuatan energi ekornya sangat dirasakan di wilayah Indonesia dalam bentuk angin kencang dan gelombang laut yang besar.
Kuatnya penyerapan uap air dan awan pada lokasi sekitar siklon mengakibatkan pengurangan secara drastis jumlah awan dan uap air pada daerah yang jauh dari lokasi siklon yang berakibat pada berkurangnya hari hujan di daerah tropis.
Di daerah tropis hari hujan menjadi sedikit, namun intensitas hujan menjadi lebih besar atau dengan kata lain jumlah hari hujan turun, tetapi frekuensi hujan maksimum harian meningkat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar