Teori
Konservasi dan Fenomena Cuaca Ekstrem
Gentio Harsono, PENELITI
BIDANG PENERAPAN LINGKUNGAN LAUT
DINAS HIDRO-OSEANOGRAFI; KANDIDAT DOKTOR
PADA SEKOLAH PASCASARJANA IPB
Sumber
: SINAR HARAPAN, 17
Februari 2012
Meningkatnya frekuensi dan intensitas puting
beliung yang disertai hujan akhir-akhir ini telah banyak membawa korban baik
jiwa maupun materi.
Di Jakarta, pohon besar dan rindang bukan
lagi tempat yang nyaman untuk berteduh dan memperoleh udara segar, namun pohon
telah menjelma sebagai salah satu faktor pencabut nyawa yang paling ditakuti
warga ketika angin kencang berputar ini terjadi.
Data terakhir, bencana puting beliung di Jawa
dan Bali saja tercatat 14 jiwa tewas, 60 orang luka dengan kerugian materi
sebanyak 2.364 rumah rusak.
Gejala cuaca akhir-akhir ini menjadi makin
ekstrem, tidak menentu dan sukar untuk diprediksi (baca: tidak linear).
Gejala-gejala alam ekstrem ikutannya dalam
skala yang lebih luas pun muncul seperti musim kemarau lebih panjang dan musim
penghujan yang pendek, namun intensitas hujannya justru meningkat drastis. Atau
justru sebaliknya musim hujan panjang dan musim kemarau yang pendek dengan
peningkatan suhu atmosfer bumi di atas normal.
Meningkatnya kekuatan badai tropis dan efek
yang ditimbulkannya telah membuat sejarah baru, sekarang bukan saja implikasi
pada lalu lintas pelayaran dan penerbangan terganggu akibat meningkatnya
kecepatan angin dan tinggi gelombang laut, namun juga efek dari meningkatnya
intensitas hujan di atas normal.
Beberapa daerah kepulauan Indonesia mengalami
kekurangan bahan pokok dan energi akibat terputusnya jalur suplai bahan pangan
yang umumnya melalui laut, petani yang gagal panen karena tanamannya terendam
banjir, kerusakan infrastruktur sosial seperti jalan dan jembatan yang
memutuskan jalur distribusi dan perhubungan simpul-simpul kegiatan ekonomi
mengakibatkan tingginya harga bahan pangan dan kebutuhan pokok masyarakat
lainnya.
Dalam konteks kajian meteorologi-oseanografi
gejala alam yang demikian ini tidak lepas kaitannya dari apa yang disebut
sebagai interaksi lautan-atmosfer (air-sea interaction), di mana proses
yang berperan dominan dalam menentukan cuaca dan iklim adalah aliran massa air
yang terjadi dalam siklus air (siklus evaporasi-kondensasi-presipitasi) dan
proses perpindahan energi dalam bentuk bahang (heat) antara atmosfer dan
lautan melalui media angin dan arus laut yang disebut dengan ocean-atmosphere
coupling.
Teori Konservasi Energi
Hukum fisika ini menyatakan bahwa jumlah
total energi dalam suatu sistem terisolasi (baca: bumi dan atmosfer di atasnya)
adalah kekal sepanjang masa.
Dalam suatu sistem terisolasi, energi dapat
berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya dan dapat berubah bentuk dari
sifat satu ke sifat lainnya, namun energi tidak dapat diciptakan dan juga dimusnahkan,
karenanya dikatakan jumlah energi akan tetap (konservasi).
Jika dikaitkan fenomena yang terjadi di
atmosfer, terjadi berbagai perubahan bentuk energi seperti energi laten yang
terbentuk akibat perubahan fase air menjadi uap atau es, energi kinetik seperti
angin, siklon, pergerakan awan dan uap air, sedangkan energi potensial seperti
air yang jatuh sebagai hujan dan lain sebagainya.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, proses
interaksi lautan-atmosfer akhir-akhir ini menjadi terganggu akibat meningkatnya
suplai bahang di atmosfer dari sisa energi hasil pembakaran fosil (baca: minyak
dan batu bara) yang dibuang ke atmosfer. Meningkatnya suplai bahang ini
memberikan surplus energi pada atmosfer.
Jika semula sumber energi utama atmosfer
adalah radiasi matahari, sekarang ada peranan baru yang kekuatannya semakin
besar, yaitu energi dari sisa pembakaran fosil. Proses ini diyakini sebagai trigger
terhadap ketidakstabilan pola temporal iklim dan cuaca.
Sisa energi dari hasil pembakaran fosil yang
terbuang ke atmosfer juga akan membentuk gas-gas rumah kaca, menyerap energi
matahari dan menyimpannya di atmosfer. Energi panas yang tersimpan pada gas-gas
di atmosfer ini akan menambah panasnya atmosfer bumi.
Meskipun laut mempunyai kemampuan dalam
menyerap energi melalui proses fotosintesis pada tumbuhan pada lapisan atasnya,
namun laut juga mempunyai kemampuan yang terbatas bila energi berlebih ini
terus meningkat.
Proses ini diperparah dengan ketidakmampuan buffer
dalam menyerap surplus energi ini seperti berkurangnya luasan vegetasi
akibat alih fungsi hutan dan ekspansi budi daya manusia.
Sesuai dengan teori konservasi, energi yang
berlebih di atmosfer tersebut akan berubah bentuk menjadi energi lainnya. Salah
satu bentuk energi yang mungkin terjadi adalah perubahan menjadi energi kinetik
berupa angin kencang seperti halnya meningkatnya intensitas dan frekuensi
puting beliung.
Meningkatnya energi yang beredar di atmosfer,
memungkinkan terjadinya siklon tropis dengan energi yang lebih besar dari
kondisi normalnya baik intensitas maupun frekuensinya. Hal ini merupakan
konsekuensi logis agar jumlah total energi di atmosfer adalah tetap
(konservasi). Panjang ekornya pun menjadi lebih besar.
Meskipun jejak siklon tropis tidak mampu
mencapai pada lintang 10° LU/LS (sebagian besar wilayah Indonesia), limpasan
dari kekuatan energi ekornya sangat dirasakan di wilayah Indonesia dalam bentuk
angin kencang dan gelombang laut yang besar.
Kuatnya penyerapan uap air dan awan pada
lokasi sekitar siklon mengakibatkan pengurangan secara drastis jumlah awan dan
uap air pada daerah yang jauh dari lokasi siklon yang berakibat pada
berkurangnya hari hujan di daerah tropis.
Di daerah tropis hari hujan menjadi sedikit,
namun intensitas hujan menjadi lebih besar atau dengan kata lain jumlah hari
hujan turun, tetapi frekuensi hujan maksimum harian meningkat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar